Linkkoe Jurnal: teori ekspresivisme
Tampilkan postingan dengan label teori ekspresivisme. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label teori ekspresivisme. Tampilkan semua postingan

Selasa, 05 Oktober 2021

Teori-Teori Ekspresivisme: Munculnya Paham Individualisme dan Otonomi

Teori-Teori Ekspresivisme: Munculnya Paham Individualisme dan Otonomi




Teori-Teori Ekspresivisme: Munculnya Paham Individualisme dan Otonomi



Teori ekspresivisme muncul bersamaan dengan perubahan-perubahan sistem sosial dan filsafat yang menempatkan manusia sebagai makhluk otonom yang memiliki kebebasan dan keutuhan sebagai individu. Karya-karya manusia sepe­nuhnya dipandang sebagai pengucapan kreatif pribadi individu tersebut. Dalam bidang karya sastra: pencurahan perasaan dan pikiran, bahkan kejiwaan yang berasal dari dalam diri individu tersebut.

Teori ekspresif sastra (The expressive theory of literature) adalah sebuah teori yang memandang karya sastra terutama sebagai pemyataan atau ekspresi dunia batin pengarangnya. Karya sastra dipandang sebagai sarana pengungkap ide, angan-angan, cita-cita, cita rasa, pikiran dan pengalaman pengarang. Dalam ungkapan yang lain, sastra adalah proses imajinatif yang mengatur dan menyintesiskan imajinasi-imajinasi, pemikiran-pemikiran, dan perasaan-perasaan pengarang (Abrams, 1987: 20). Studi sastra dalam model ini berupaya mengungkapkan latar belakang kepribadian dan kehidupan (biografi) pengarang yang dipandang dapat membantu memberikan penjelasan tentang penciptaan karya sastra. Oleh karena itu, teori ini seringkali disebut pendekatan biografi.



Teori ini merupakan studi yang paling mapan dan tertua dalam sejarah studi sastra (Wellek & Warren, 1993: 82). Teori ini dapat dianggap sebagai studi yang sistematis tentang psikologi pengarang dan proses kreatifnya. Dalam teori ini unsur 'manusia' sebagai pencipta mendapat perhatian serius. Ditinjau dari segi perkembangan pemikiran manusia, teori ini dapat dianggap tonggak sejarah baru yang membebaskan manusia dari gagasan lama yang mengungkung, bahwa banya Tuhanlah Sang Pencipta dan manusia banyalah peniru-peniru belaka.

Teori Ekspresivisme sering disebut pula sebagai teori pendekatan biografis karena tugas utama penelaah sastra adalah menginterpretasikan dokumen, surat, laporan saksi mata, ingatan, maupun pernyataan-pernyataan otobiografis pengarang. Teori ini banyak mendapat kritikan karena mengalihkan pusat perhatian dari karya sastra ke pribadi dan psikologi pengarang.

Sulit sekali menetapkan kapan teori ekspresivisme muncul pertama kali dalamjagat studi sastra. Teeuw (1988) dan Abrams (1987) menyebut Longinus, seorang negarawan dan ahli kritik sastra yang hidup dalam abad ke-3 M, sebagai pelopor teori ini. Dalam bukunya berjudul Peri Hypsous (Yun.= Tentang Keluhuran) Longinus mengungkapkan bahwa ciri khas dan ukuran seni sastra adalah keluhuran (yang luhur, yang mulia, yang unggul) sebagai sumber utama pemikiran dan perasaan pengarang. Sumber keluhuran itu antara lain: daya wawasan yang agung, emosi atau nafsu (passion) -yang mulia, retorika yang unggul, pengungkapan (diksi) dan penggubaban yang mulia. Unsur terpenting dalam penciptaan seni sastra adalah kreativitas dalamjiwa pengarang. Sumber­ sumber keagungan itu mengilhami dan merasuki kata-kata dengan semangat ilahi.

Pandangan Longinus ini untuk kurun waktu yang lama tidak banyak mempengaruhi pertumbuhan teori ekspresionisme. Baru sekitar tahun 1800 (pada jaman Romantik, abad 18-19) teori ekspresivisme mendapat perhatian dan berkembang dengan pesat. Tahun 1800 disebut oleh Abrams (1987) mengingat dalam tahun itu Wordsworth (seorang penyair lnggris terkenal) menulis sebuah dokumen penting yang menandakan awal pergantian teori sastra dari sudut pandang mimetik dan pragmatik kepada sudut pandang ekspresif.

Pergantian sudut pandang ini jelas tidak terjadi dengan tiba-tiba dalam sekejap. Ide tentang 'manusia individu sebagai pencipta' merupakan basil perkembangan yang munculnya tersendat-sendat dalam kebudayaan Barat (lihat Teeuw, 1988: 157-172). Dalam abad Pertengahan (abad 14, 15, 16), suatu kurun waktu yang disebut juga sebagai Abad Kegelapan, kebudayaan Eropa seolah­ olah tenggelam oleh kuatnya ikatan agama, teologi, clan filsafat Kristen yang menegaskan bahwa hanya Tuhanlah Pencipta sejati, sedangkan kegiatan manusia hanyalah meniru kembali. Manusia yang menyejajarkan diri dengan Tuhan dianggap berdosa. Manusia adalah hamba yang harus takluk pada Tuhan, dan hanya Tuhanlah yang menentukan masa depan manusia.


Perbandingan pandangan antara Agustinus dan Rousseau berikut ini memperlihatkan sudut pandang yang sangat berbeda mengenai diri pengarang dalam abad yang berbeda. Agustinus adalah uslup Roma yang hidup dalam abad kelima. Setelah mengalami pertobatan batin yang radikal, dia menjadi manusia saleh dan pemimpin agama terkemuka. Dia jugalah yang meletakkan dasar sistem filsafat Kristen. Bagi Agustinus, Tuhanlah yang menjadi pusat dunia. J .J. Rousseau adalah tokoh romantik yang terkenal karena menolak peradaban rasionalis dan lebih mengagungkan kemuliaan alam dan hati nurani. Bagi dia, manusia individuallah yang menjadi pusat dunia, yang bebas .menciptakan kehidupannya sendiri.

Ada empat pokok pertentangan antara Agustinus dan Rousseau dalam melihat  kedudukan manusia dan sejarahnya. Keempat pokok pertentangan itu sebagai berikut (Jaus, 1977: 85; Teeuw, 1984: 160-162).


Pandangan Agustinus


l) Dalam bukunya Confessiones (Pengakuan), Agustinus menggambarkan manusia sebagai hamba yang takluk pada Tuhan. Cerita mengenai sejarah hidup manusia harus larut dalam cerita tentang Tuhan. Riwayat manusia hanya bertujuan untuk menghilangkan dirinya.

2) Agustinus mempertentangkan Tuhan yang tidak berubah, abadi, dan kekal; Tuhanlah yang mengubah segala sesuatu dalam alam semesta. Manusia hanya ciptaan yang fana, riwayat hidupnya tidak utuh, terpecah-belah akibat dosa (asalnya). Keterputusan dengan masa lampau adalah ciri khas riwayat hidup manusia.

3) Tuhan yang abadi itu adalah sempurna. Dia tidak terikat pada waktu dan tempat. Manusia hanyalah makhluk yang tidak sempuma dan terikat pengalaman hidupnya menurut tempat dan waktu tertentu. Ingatan dan pengetahuannya tidaklah sempurna.

4) Hanya Tubanlah yang Mahatahu, sedangkan manusia bahkan tidak menge­tahui dan memahami dirinya sendiri. Jadi dalam menulis riwayat hidupnya, manusia tidak sanggup mengungkapkan siapa dirinya yang sebenamya sehingga lebih baik berdiam diri saja. Yang dapat dilalrukan hanyalah memuji dan memuliakan Tuhan selaku Penciptanya yang Mahaagung.


Pandangan Rousseau

l) Dalam bukunya Les Confessions (Pengakuan), Rousseau menekankan bahwa manusia adalah otonom. Dia hanya takluk pada hukumnya sendiri. Sebagai individu dia justru mewakili sifat universal yang tidak takluk pada apa dan siapa pun. Tujuan riwayat hidup manusia adalah penemuan dan pengungkapan dirinya yang unik. Manusia individu adalah pusat kehidupan dan pengalamannya sendiri.

2) Rousseau menekankan keutuban dan kesatuan riwayat hidup manusia. Menurut dia, pada dasamya manusia tidak berdosa dan eksistensinya tidak terputus. Situasi sosial masyarakat itulah yang merusak dunia manusia.

3) Manusia sebagai individu mempunyai pengalaman dan penghayatan diri yang total dan menyeluruh. Melalui daya imajinasinya manusia dapat mem­ bayangkan keunikannya sebagai individu sehingga dia harus bangga akan dirinya sendiri.

4) Manusia juga mahatahu. Dia dapat membenarkan dirinya sendiri. Dengan menuliskan riwayat hidupnya, manusia dapat memecahkan masalah keselamatan dan pembenaran dirinya.

Dari perbandingan di atas tampak jelas bahwa manusia semakin mengarahkan dirinya pada otonomi dan individualitasnya. Dia tidak lagi takluk dan terikat pada pandangan supranatural yang terasa kabur dan asing.

Sejalan dengan perubahan pandangan tersebut, juga dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, khususnya di bidang teknik (tekhne), pandangan bahwa manusia hanya sebagai peniru berangsur-angsur memudar. Pada abad ke-16, kepandaian dan kesanggupan manusia untuk mencipta, mengetahui, dan mema­hami mulai diakui dan berkembang pesat. Manusia mulai diakui sebagai kokreator. Dia mendasari penciptaannya pada otonomi dan individualitasnya. Perkembangan ini tidak dapat dilepaskan dari gerakan intelektual dan atmosfer kebudayaan yang berkembang di Eropa Barat yang dikenal dengan nama "Gerakan Pencerahan" (Enlightenment, Aujkliirung) (Abrams, 1981: 49-52).

Unsur terpenting dalam Gerakan Pencerahan itu adalah: menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan manusia atas kemampuan pikirannya dalam menangani dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan. Manusia sendirilah yang menetapkan norma-norma substansial bagi hidupnya sendiri. Gerakan ini menyurutkan pandangan-pandangan yang dianggap sebagai tipuan seperti takhyul (the darkness of superstition), prasangka (prejudice), dan kebiadaban (barbarity) yang membuat manusia takut untuk mengambil sikap otonom. Rasionalitas dipercaya mampu membawa manusia kepada sebuah dunia yang ideal.

Dalam bidang teori sastra, pandangan tentang seniman sebagai pencipta mencapai puncak perkembangannya pada zaman yang dikenal sebagai zaman Romantik, suatu periode yang berkisar antara tahun 1789 (sejak dimulainya Revolusi Perancis) dan berakhir tahun 1832 (yang ditandai dengan munculnya era Victorian) (Abrams, 1984: 165). Istilah Romantik dalam sastra mengacu pada suatu gerakan pemikiran dan penulisan karya sastra di seluruh Eropa dan Amerika yang menunjukkan karakteristik tersendiri, yang menganggap imajinasi lebih penting daripada aturan formal dan fakta. Romantisisme merupakan aliran yang meunjukkan minat yang besar pada keindahan alam, kepercayaan asli (agama hati nurani dan alam gaib), dan cara hidup yang sederhana sebagai pemberontakan terhadap gaya hidup teratur kaum borjuis. Mereka sangat menekankan spontanitas dalam mengungkapkan pikiran dan tindakan.

Copyright

Review

Food

pendidikan