Hidung ~ Ryunosuke Akutagawa - Linkkoe Jurnal

Jumat, 02 Agustus 2019

Hidung ~ Ryunosuke Akutagawa













[1] 


Di kota Ikeno, tak ada seorangpun yang belum pernah mendengar kisah tentang hidung Zenchi Naigu. Hidungnya terjuntai memanjang sekitar duabelas sampai empatbelas sentimeter ke bawah dagunya, dengan ketebalan yang sama dari ujung hingga pangkalnya. 


Selama lima puluh tahun, sejak hari-hari di masa mudanya ketika ia masih menjadi seorang pelayan hingga ia mendapatkan posisi yang cukup dihormati sebagai pendeta, hati Zenchi Naigu tersiksa oleh bentuk hidungnya. Ia mencoba terlihat tidak peduli terhadap bentuk hidungnya, bukan karena memperhatikan hidung adalah hal yang tak layak dilakukan oleh seseorang yang tugasnya adalah mengabdikan diri dengan kesungguhan dalam doa, tapi karena ia berharap agar orang lain tidak mengetahui bahwa ia sungguh-sungguh mengkhawatirkan bentuk hidungnya. Yang ia jaga adalah harga dirinya, dan hal yang paling mengerikan bagi Zenchi Naigu adalah mendengar kata hidung diucapkan dalam percakapan sehari-hari. 


Hidungnya, tentu saja, adalah gangguan yang tidak bisa dimaklumi. Ia kesulitan makan tanpa dibantu. Jika mencoba untuk makan. ujung hidungnya akan menyentuh nasi panas di dalam mangkuk. Setiap waktu makan tiba, Zenchi Naigu mesti meminta salah satu muridnya untuk duduk berhadapan dan menopang ujung hidungnya dengan dua batang kayu sepanjang enampuluh sentimeter dan lebar sekitar tiga sentimeter. Kebiasaan yang dikerjakan selama waktu makan ini tentu saja merupakan hal yang tidak mudah bagi si pendeta kuil maupun muridnya. 


Suatu ketika, seorang anak lelaki yang menggantikan posisi Si Murid untuk membantu Zenchi Naigu makan tiba-tiba bersin dan menjatuhkan hidung pendeta ke dalam mangkuk. Peristiwa ini menjadi bahan perbincangan sampai ke Kyoto. Zenchi Naigu telah belajar menerima hal-hal sulit yang terjadi padanya sebagai akibat dari bentuk hidungnya yang panjang, tapi kehilangan harga diri gara-gara hidung panjangnya itu tidak bisa ia terima. 



Orang-orang Ikeno pernah berkata, betapa beruntungnya Si Pendeta karena ia tidak memilih menjadi kalangan biasa. Tak seorangpun wanita akan bersedia menjadi isteri seorang pria dengan bentuk hidung seperti yang dimiliki Zenchi Naigu. Beberapa orang mengarang kesimpulan yang lebih jauh lagi dengan mengatakan bahwa kalau bukan karena keadaan hidungnya, Zenchi Naigu pasti tidak akan menjalani tugas suci sebagai seorang pendeta. 


Menurut Zenchi Naigu, kehidupannya sebagai seorang pendeta bukan merupakan sebuah pelarian. Lagipula, kehidupannya sebagai seorang pendeta belum mampu meringankan beban yang ia tanggung gara-gara bentuk hidungnya. Harga dirinya juga telah mengikat ia sedemikian kencangnya sehingga ia tidak terpengaruh oleh hal-hal duniawi semacam ikatan pernikahan. Perhatian Zenchi Naigu ditujukan untuk menemukan kemungkinan hal-hal yang bisa ia kerjakan demi memulihkan harga dirinya yang telah terluka dan memperbaiki kerhormatannya yang telah terampas gara-gara bentuk hidungnya. 



Zenchi Naigu telah mencoba melakukan hal-hal yang bisa ia kerjakan untuk membuat hidugnya terlihat lebih pendek. Ketika tidak ada seorangpun di sekitarnya, ia akan memeriksa bentuk hidungnya di depan cermin dari berbagai sudut berbeda, mengukur bentuk hidungnya dari jarak terjauh. Mengubah pantulan dirinya di cermin saja tidak cukup, dengan menempelkan tangan di pipi dan meletakkan jari-jarinya di dagu, ia mengamati bentuk hidungnya dengan seksama. Tapi tak sekalipun ia puas karena hidungnya tidak menjadi lebih pendek. Malah, semakin ia mengamati bentuk hidungnya, semakin panjang pula si hidung terlihat. Pada saat- saat seperti itu, Zenchi Naigu akan meletakkan kembali cermin yang ia gunakan ke dalam kotaknya, menghela napas panjang dan dengan sedih kembali ke tempat ia biasanya berdiri untuk melantunkan puji-pujian kepada Kwannon, sang dewi welas asih. 


Ia memperhatikan dengan seksama bentuk hidung orang lain. 


Kuil Ikeno dikunjungi banyak orang, baik dari kalangan biasa maupun pendeta, dimana ritual ajaran Budha dilaksanakan, pendeta yang berkunjung diterima dan penghuni biara mendengarkan kotbah-kotbah yang disampaikan. Area kuil Ikeno ditandai oleh rumah-rumah kecil yang dibangun berdekatan, lengkap dengan tempat pemandian yang setiap harinya menyediakan air panas. Di Kuil, Zenchi Naigu akan mengamati para pengunjung dengan teliti dari jarak dekat. Dengan penuh kesabaran, ia mencoba menemukan satu orang saja yang mungkin memiliki bentuk hidung seperti hidungnya. Ia berharap jika ditemukan, beban yang menggayuti pikirannya bisa terasa ringan. Hal ini membuat Zenchi Naigu tidak menaruh perhatian pada pakaian sutera yang dikenakan pengunjung maupun pakaian para pendeta. Hal yang diperhatikan oleh Zenchi Naigu bukan pakaian, tetapi bentuk hidung orang lain. Sejauh pengamatan Naigu, ia menemukan bentuk hidung yang tidak simetris, tapi tak ada satupun orang memiliki bentuk hidung yang panjang sama persis seperti hidungnya. Tiap kali usahanya gagal, pikirannya semakin berkabut dan gelap. Ketika sedang mengobrol, secara tak sadar ia menyentuh ujung hidungnya yang menjuntai dengan jari-jarinya, ketika tersadar, wajah Zenchi Naigu merona merah karena ia sering melakukan hal itu selama tahun-tahun hidupnya di kuil. Bentuk hidungnya, yang baginya merupakan sebuah kesialan, telah membuatnya berperilaku aneh. 


Selain mencoba meringankan beban penderitaan dirinya dengan cara menemukan orang lain yang memiliki bentuk hidung sama seperti dirinya, Zenchi Naigu juga membaca kitab Budha. Tapi, tak ada satupun bagian dari kitab Budha yang membicarakan tentang hidung panjang. Zenchi Naigu membayangkan betapa bahagianya jika ia menemukan bahwa salah satu dari murid Budha, entah Mu Lien atau Sha Lien, semasa hidupnya memiliki bentuk hidung yang panjang. Ia juga membaca kisah Liu Hsang Ti, raja Kerajaan Chu Chan pada abad ke-3 yang memiliki telinga panjang, dan membatin betapa menyenangkan jika hidung sang raja saja yang panjang, bukan telinganya. 


Tak hanya mencari penghiburan lewat jalan spiritual, Zenchi Naigu juga telah mencoba berbagai macam cara praktis untuk membuat hidungnya menjadi lebih pendek. Ia pernah mencoba resep yang terbuat dari buah sejenis buah melon. Ia juga pernah membasuh hidungnya dengan air kencing tikus. Namun, meski segala usaha telah ia kerahkan, ia tetap memiliki hidung yang terjuntai memanjang sekitar dua belas sentimeter sampai empat belas sentimeter melewati bibirnya. 


Suatu hari di Musim Gugur, seorang muridnya bepergian ke Kyoto untuk sebuah urusan mewakili Zenchi Naigu. Sebelum kembali ke kota Ikeno, seorang dokter yang menjadi rekan seperjalanan Si Murid menunjukkan rahasia untuk membuat hidung menjadi lebih pendek. Si Dokter yang baru saja tiba dari China pada saat itu tengah mengabdi sebagai pendeta di Kuil Choraku. 


Karena gengsi, Zenchi berlagak tak peduli, memberi kesan bahwa ia tak ingin buru-buru mencoba pengobatan untuk membuat hidungnya lebih pendek. Ia hanya menunjukkan sedikit penyesalan karena telah membebankan muridnya dengan tugas yang tak perlu selama waktu makan. Meskipun demikian, di dalam hatinya, ia tak sabar menunggu agar Si Murid memaksanya mencoba pengobatan rahasia itu. Si Murid mengetahui rencana gurunya, namun penderitaan yang ditanggung Zenchi di dalam batinnya membuat Si Murid iba. Seperti yang diharapkan Zenchi, si Murid memaksa agar Zenchi mencoba pengobatan untuk memendekkan hidungnya dengan segera. 


Cara untuk memendekkan hidung Zenchi Naigu sungguh sederhana ; pertama, hidungnya direbus di air panas yang mendidih. Kemudian, seseorang harus menginjak hidungnya. 


Di tempat pemandian Kuil, selalu tersedia air panas. Si Murid mengambil air panas menggunakan wadah dari besi, lantas melubangi nampan kayu seukuran hidung Zenchi Naigu untuk diletakkan di atas wadah besi tersebut. Dengan cara ini, Zenchi Naigu dapat memasukkan hidungnya melalu lubang yang dibuat, sehingga bagian wajahnya yang lain tak terkena dampak pengobatan.Hidung Zenchi Naigu, tak seperti bagian wajahnya yang lain, tidak sedikitpun dipengaruhi oleh temperatur air. 


“Tuan, airnya sudah cukup mendidih” ujar Si Murid. 


Si Pendeta tersenyum sambil memikirkan kemungkinan bahwa tak seorangpun yang mencuri dengar percakapannya dengan Si Murid akan mengira mereka sedang mengusahakan cara untuk membuat hidungnya menjadi pendek. 


Ketika terkena uap dan air panas yang mendidih, hidungnya terasa gatal seperti digigit nyamuk. Zenchi Naigu lantas mengeluarkan hidungnya dari air yang mendidih, dan meletakkan hidungnya di lantai. Si Murid menginjak-injak hidung Zenchi dengan seluruh kekuatannya. 


“Apakah hidung anda terasa sakit, Tuan ?” Si Murid bertanya dari waktu ke waktu, sambil memandang ke arah kepala botak Zenchi Naigu dengan rasa kasihan. 


“Dokter menyuruh saya menginjaknya dengan sekuat tenaga, apakah terasa sakit ?” 


Zenchi Naigu mencoba menggelengkan kepalanya untuk menunjukkan bahwa ia tidak merasakan sakit. Tapi, karena hidungnya sedang diinjak-injak, ia tidak dapat menggelengkan kepala. Matanya membeliak, menunjukkan bahwa ia merasa diremehkan oleh pertanyaan si Murid, dan sambil memandang ke arah kaki si Murid, Zenchi Naigu menjawab, 


“Tidak terasa sakit.” 


Walaupun hidungnya yang gatal sedang diinjak-injak, ia tidak merasakan sakit, ia malah merasakan sensasi yang menyenangkan. Setelah beberapa saat menjalani pengobatan, pada hidung Zenchi timbul butiran seperti butiran Milet. Melihat hal ini, si Murid berhenti menginjak-injak hidungnya kemudian berkata, 


“Saya diperintahkan untuk menariknya dengan pinset.” 


Hidung Zenchi telah berbentuk seperti ayam panggang. Meski terlihat merengut, Si Pendeta mengijinkan Si Murid melakukan apa yang perlu ia kerjakan, seperti seorang yang sedang dioperasi. Zenchi menyaksikan apa yang dilakukan muridnya. Dari pori-pori hidungnya keluar timbunan lemak berdiameter tiga sentimeter. Pengobatan berakhir. Dengan lega, Si Murid berkata, 


“Tuan, kita tinggal merebusnya sekali lagi dan hidung anda bentuknya akan membaik.” 


Zenchi mematuhi anjuran yang disampaikan muridnya. 


Ketika untuk kedua kalinya dikeluarkan dari wadah, hidungnya telah menjadi pendek. Tak ubahnya seperti hidung berukuran normal. Sambil menggaruk hidungnya, dengan gugup Zenchi menatap ke arah cermin yang sedang di pegang Si Murid. Bentuk hidungnya yang semulai menjuntai sampai ke bawah dagu, seperti telah digelung menjadi pendek. Satu-satunya bekas yang terlihat adalah bintik merah pada hidungnya, barangkali jejak yang ditinggalkan karena hidungnya yang diinjak-injak. 


“Mulai sekarang, tak ada seorangpun yang bisa menertawakanku.” pikir Si Pendeta. Bayangan yang ia lihat di cermin menatap balik ke wajahnya, matanya berkedip puas. 


Namun, sepanjang hari ia takut dan khawatir kalau-kalau bentuk hidungnya akan kembali seperti semula. Ia selalu mengecek bentuk hidungnya kapanpun ia sempat, ketika sedang melantunkan pujian maupun ketika sedang makan. Hidungnya berbentuk normal, terletak di atas bibirnya, tidak menjuntai panjang melewati bibir. 


[2] 


Pagi-pagi sekali, ketika sedang berjalan-jalan ia menyentuh ujung hidungnya dengan jemari dan menemukan bahwa hidungnya masih pendek seperti bentuk hidung normal. Saat itu, ia baru menyadari bahwa setelah lewat bertahun-tahun, akhirnya ia merasakan kelegaan yang sama seperti ketika ia menyederhanakan naskah Lotus Sutra. 


Selama beberapa hari, Zenchi mengalami hal-hal yang tak terduga. Seorang Samurai yang mengunjungi kuil, terlihat lebih bahagia dari sebelumnya dan terlihat seperti tidak sanggup lagi berkata-kata, menatap tajam ke arah hidung Si Pendeta. Bukan hanya itu saja, si anak lelaki yang menjatuhkan hidung Zenchi ke dalam mangkuk, berpapasan dengannya di lorong ruangan belajar, pertama-tama berusaha menahan tawanya namun ketika menundukkan pandangan, tawanya seketika meledak. Para petugas pembersih lantai yang berada dibawah pengawasan Zenchi mendengarkan perkataannya dengan sungguh-sungguh ketika mereka berhadapan muka, namun di belakangnya, mereka tak bisa tidak tertawa kecil. 


Mulanya, Zenchi menduga, si bocah lelaki pelayan dan petugas pembersih lantai tertawa karena perubahan bentuk hidungnya. Namun, lama kelamaan, sambil melantunkan puji-pujian, ia menggumam kepada dirinya sendiri, 


“Tawa mereka terdengar berbeda dari tawa ketika hidungmu masih panjang. Jika bentuk hidung yang tidak wajar terlihat lebih konyol dari bentuk hidung yang wajar, mungkin itulah alasan mereka tertawa. Tapi hidungmu sudah berubah, pasti ada alasan lain dibalik tawa mereka yang terdengar lebih keras tanpa bisa ditahan.” 



[3] 


Pada saat seperti itu, ketika ia memikirkan suara tawa orang-orang, Si Pendeta akan menengok ke arah lukisan Fugen, Dewi Kebijaksanaan, yang digantung di dekatnya, sambil mengingat dalam benaknya bentuk hidung panjang yang sudah tidak ia miliki selama empat sampai lima hari. Ia terjebak dalam suasana melankolik sama seperti seseorang yang mengenang hari-hari bahagianya yang telah lewat. 


Manusia memiliki hakikat perasaan yang saling bertolak belakang. Semua orang akan bersimpati ketika seseorang ditimpa ketidakberuntungan. Tapi, ketika orang itu berusaha keluar dari situasi ketidakberuntungannya, bukan saja mereka merasa boleh menertawakan orang itu tapi juga mencemburuinya. Pada kasus-kasus ekstrim, orang-orang bahkan berusaha mengembalikannya kepada ketidakberuntungan, jika tidak melemparkan hal-hal negatif kepada orang tersebut. 


Ketidakbahagiaan Zenchi disebabkan oleh perubahan sikap yang tidak ia duga sebelumnya oleh orang-orang yang ada di sekitarnya, para pendeta dan orang biasa di Ikeno. Hari demi hari berlalu, Zenchi semakin tidak bahagia sehingga ketika membuka mulutnya, ia mengeluarkan kata-kata sengit untuk orang disekitarnya. Tingkahnya semakin keterlaluan, sehingga Si Murid yang membantu memendekkan hidungnya bahkan berkata, 


“Kali ini, Tuan akan dihukum karena dosa-dosanya.” 


Peristiwa yang paling membuat Zenchi marah adalah olok-olok yang ditujukan kepadanya oleh si anak lelaki. Suatu hari, ketika ia mendengarkan gonggongan anjing, ia menengok ke luar dan menyaksikan si anak lelaki memegang sebatang tongkat kayu, mengejar anjing dan berteriak, 


“Perhatikan hidungmu. Hati-hati, saya akan memukul hidungmu dengan tongkat kayu.” 


Ketika Zenchi mengambil tongkat kayu dari tangan si anak lelaki, nampaklah tongkat kayu itu dulu digunakan untuk menahan hidungnya. 


Akhirnya, Zenchi merasa kecewa bahkan kesal karena telah membuat hidung panjangnya menjadi pendek. Suatu malam selepas senja, angin kencang membawa suara lonceng pagoda hingga bunyinya terdengar sampai di kamar Zenchi. Udara terasa sangat dingin sehingga Zenchi tak bisa tidur. Ia membolak – balik tubuhnya. Tiba-tiba hidungnya terasa gatal. Ketika disentuh hidungnya membengkak, seperti telah penuh berisi cairan. 


“Mungkin karena telah dipendekkan, aku terserang virus,” ucapnya kepada diri sendiri sambil memegang hidungnya seolah hidung itu adalah bunga yang akan dipersembahkan di altar sembahyang. 


Keesokan harinya, seperti hari-hari biasanya, Zenchi bangun pagi-pagi sekali. Ia memperhatikan bahwa taman terlihat berkilau seolah-olah dilapisi karpet emas, daun-daun pohon Ginkgo berguguran. Di Beranda ia menarik napas panjang, merasakan kembali perasaan dekat dengan alam yang telah lama tidak ia rasakan. Tanpa sadar, ia menyentuh hidungnya, dan yang disentuh tangannya bukan lagi hidung normal seperti yang dimilikinya kemarin, namun hidung panjang yang terjuntai dua belas sentimeter melewati bibirnya. Dalam semalam, hidungnya kembali memanjang, dan entah kenapa ia merasa sama bahagianya seperti ketika pertama kalinya hidungnya menjadi pendek. 


“Tak ada seorangpun yang akan menertawakanku lagi,” bisiknya kepada diri sendiri. 


Hidungnya berayun-ayun oleh angin dingin di pagi musim Gugur. (*) 




------------------------------------------------------------------------ 


Tentang Penulis : 




Ryūnosuke Akutagawa adalah seorang penulis Jepang yang aktif pada periode Sho. Dia dikenal sebagai bapak Cerita Pendek Jepang. dan perhatiannya adalah kisah-kisah yang mengeksplorasi sisi gelap manusia. 

Akutagawa lahir di distrik Kyobashi di Tokyo, anak dari seorang tukang susu (Toshizô Shinbara). Ibunya (Fuku Shinbara) mengalami gangguan kejiwaan tak lama setelah melahirkan Akutagawa. Karena ayahnya tidak bisa untuk merawat Akutagawa, akhirnya ia dititipkan kepada pamannya, Akutagawa Dosho, dari pamannya inilah ia mendapatkan nama keluarga Akutagawa. Dia sangat tertarik dengan sastra klasik China pada masa-masa awal. Mori Ogai dan Natsume Soseki telah menjadi penulis yanng berpengaruh semasa masa pertumbuhan Akutagawa. 

Akutagawa memasuki sekolah pertamanya pada 1910, dan membangun pertemanan dengan Kikuchi Kan, Kume Masao, Yamamoto Yûzô, and Tsuchiya Bunmei, semuanya kelak menjadi penulis terkenal. Dia mulai menulis setelah memasuki Tokyo Imperial University pada 1913, di mana dia mempelajari kesusastraan Inggris. 

Ia menikah dengan Fumi Tsukamoto pada tahun 1918, dan memilki tiga anak: Hiroshi Akutagawa (1920-1981), aktor terkenal, Takashi Akutagawa (1922-1945), terbunuh pada Perang Dunia II, dan Yasushi Akutagawa (1925-1989), seorang kompposer. 

Akutagawa mulai menulis fiksi semasa di universitas. Karya sastra pertamanya (1914) adalah terjemahan dari karya Anatole France, Balthasar (1889). Bersama dengan dengan teman-temannya, Kikuchi Kan DAN Kumé Masao, dia mendirikan majalah sastra Shin Shicho, di mana dia mempublikasikan ”Rashomon” (atau ”The Rasho Gate”, 1915). Novelis Natsume Soseki, sangat tertarik dengan hasil karya Natsume Soseki dan mendorongnya dalam menulis. 

Setelah lulus, Akutagawa mengajar di sekolah pelayaran di Yokosuka dan menikahi Tsukamoto Fumiko. Akutagawa sebenarnya ingin memusatkan diri pada sastra sepenuhnya dan menolak ajakan untuk mengajar di universitas Tokyo dan Kyoto. Akhirnya dia mengundurkan diri dan menjadi kontributor tetap koran Osaka Mainichi. Pada masa-masa aktifnya pada 1921 Akutagawa berkunjung ke China sebagai koresponden, namun, karena alasan kesehatan, dia tidak dapat menulis artikel apapun di sana. Ia mendapat bimbingan dari Natsume Soseki setelah Soseki mengetahui bakat Akutagawa dalam penulisan. 

Akutagawa menulis hampir semua karya utamanya pada sepuluh tahun sebelum ia bunuh diri. Akutagawa adalah murid Soseki yang berbakat, yang memulai karirnya di majalah Shinshichoo. Soseki memberikan pujian kepada Akutagawa dengan karyanya Hana, sebuah novel satire yang mengambil bahan dari cerita klasik. Untuk menciptakan suatu novel, Akutagawa mengutamakan pengambilan bahan dari cerita yang berlatar belakang sejarah atau cerita klasik, kemudian diolah dengan baik sehingga akhirnya lahirlah sebuah novel baru dengan penafsiran yang baru pula. Di antara novel seperti itu adalah Rashomon, Gesaku Zanmai, Karenoshoo dan Yabu no Naka. Dia mempunyai keahlian untuk mengubah realitas, sehingga dia dijuluki grup cendekiawan atau neo realisme. 
Akutagawa sangat familiar dengan Kesusastraan Eropa dan China. Dia pelanggan tetap Maruzen, publikasi berbahasa asing di Tokyo, dan tertarik dengan penulis barat seperti Strindberg, Mérimée, Nietzsche, Dostoevsky, Baudelaire, dan Tolstoy. Meski Akutagawa belum pernah berkunjung ke Barat, namun pengetahuannya akan kesusastraan Barat sangat luas. 

Karya terakhir Akutagawa yang tidak bisa dianggap remeh adalah Kappa (1927) berkisah tentang seseorang yang tersesat ke negeri Kappa, sosok dalam mitos dan folklor masyarakat Jepang. Kappa adalah karya Satir yang dalam beberapa sisi memperlihatkan sisi kejiwaan Akutagawa yang tidak stabil dan mengalami gangguan. Diakhir hidupnya dia tidak bisa mengikuti dan menyesuaikan diri dengan dunia sekelilingnya. Pada masa-masa ini dia sering mengalami halusinasi dan mencoba untuk bunuh diri. Dia menulis Kappa, Haguruma dan lain-lain dalam keraguan terhadap dirinya dan dalam penderitaan jiwa. Hatinya yang tersiksa oleh tekanan jiwa dilampiaskan ke dalam karya-karyanya. Akhirnya, pada 24 Juli 1927, Akutagawa mengakhiri hidupnya sendiri. Kappa adalah cerita satir yang merupakan kekecewaan Akutagawa terhadap masyarakat Jepang pada masa itu. Untuk menghormati pencapaian dan prestasi Akutagawa dalam kesusastraan Jepang, namanya diabadikan menjadi sebuah penghargaan bergengsi untuk kesusastraan Jepang, Akutagawa Prize. 

Baca Juga

Bagikan artikel ini

Tambahkan Komentar Anda
Disqus comments