Memecahkan Celengan Babi ~ Etgar Keret - Linkkoe Jurnal

Jumat, 02 Agustus 2019

Memecahkan Celengan Babi ~ Etgar Keret








Ayah tidak mau membelikanku boneka Bart Simpson. Ibu bilang boleh, tapi Ayah bilang aku terlalu dimanjakan. “Kenapa?” katanya kepada Ibu. “Kenapa pula harus kita turuti kemauan anak ini? Dia cuma perlu merengek sedikit dan kau langsung mengabulkan apa yang dia mau.” Ayah bilang aku tidak dapat menghargai uang, dan bila aku tidak belajar sedari kecil, kapan lagi? Anak-anak yang diberi boneka Bart Simpson dengan cara mudah akan tumbuh dewasa jadi preman yang suka memalaki pedagang kaki lima, karena mereka terbiasa mendapatkan apa yang mereka inginkan dengan cara yang mudah. Jadi alih-alih membelikanku boneka Bart Simpson, Ayah membelikanku sebuah celengan babi buruk rupa dan dengan demikian aku akan tumbuh dewasa dengan baik-baik saja dan tidak akan jadi seorang preman.

Kini, meskipun aku membencinya, setiap pagi aku harus minum cokelat. Segelas cokelat campur kulitnya berarti sekeping shekel, dan kalau tanpa kulit artinya setengah shekel,dan bila aku muntah aku tidak dapat apapun. Aku meloloskan keping-keping shekel ke punggung celengan babi yang berlubang, dan saat aku mengocoknya ia bergemerincing. Kelak saat si babi sudah penuh dan tidak bergemerincing lagi waktu dikocok, aku bisa dapat boneka Bart Simpson dan papan skate sekaligus. Begitu kata Ayah, dan menurutnya ini cara yang mendidik.

Sebenarnya, si babi ini imut. Hidungnya terasa dingin kalau kau sentuh, dan dia tersenyum saat kau memasukkan sekeping shekel melalui punggungnya ataupun setengah shekel, tapi yang paling menyenangkan adalah dia tetap tersenyum meski kau tidak memasukkan apa-apa. Aku memberinya nama: Pesachson. Dari nama merk kotak surat di rumah.

Pesachson tidak seperti mainanku yang lain, dia lebih tenang, tidak punya lampu dan per pegas dan baterai yang suatu waktu bisa soak. Kau cuma perlu mengawasinya supaya dia tidak melompat dari meja. “Pesachson, hati-hati! Kau itu buatan Cina,” kataku saat aku melihatnya agak mencondongkan tubuh dan melongo ke lantai, dan dia tersenyum kepadaku dan dengan sabar menungguku menurunkannya.

Aku tergila-gila dengan senyumannya. Demi dia lah aku rela setiap pagi minum cokelat dengan kulit, supaya aku bisa memasukkan sekeping shekel melalui punggungnya dan melihat betapa senyumnya tidak pernah bergeser sedikit pun. “Aku menyayangimu, Pesachson,” kataku kemudian. “Jujur ya, aku lebih menyayangimu ketimbang Ibu atau Ayah. Dan aku akan selalu menyayangimu, tidak peduli apapun yang terjadi, bahkan kalaupun kau jadi preman. Tapi jangan sekali-sekali kau melompat dari meja, ya!”

Kemarin, ayah mengambil Pesachson dari meja dan lalu mengocok-ngocoknya ke atas dan ke bawah dengan kasar. “Hati-hati, Yah,” kataku, “Ayah bikin Pesachson sakit perut.” Tapi Ayah terus saja mengocoknya.

“Tidak ada bunyi gemerincing, kau tahu itu artinya apa, Yoavi? Besok kau dapat boneka Bart Simpson dan papan skate.

“Asyik!” seruku. “Bart Simpson di atas papan skate, asyik. Tapi jangan kocok Pesachson lagi, itu bikin dia nggak nyaman.”

Ayah meletakkan Pesachson kembali ke atas meja, kemudian pergi mencari Ibu. Setelah beberapa saat, ia muncul lagi bersama Ibu.

Ayah menggenggam martil.

“Apa kubilang.” kata Ayah kepada Ibu. “Sekarang anak ini tahu bagaimana cara menghargai sesuatu. Begitu, kan, Yoavi?”

“Tentu, aku tahu,” kataku, “tentu… tapi itu martilnya buat apa?”

“Ini untukmu,” kata Ayah, dan ia meletakkan martil tersebut di tanganku. “Hati-hati.”

“Tentu, aku akan hati-hati,” kataku, dan aku memang benar-benar berhati-hati, tapi beberapa saat kemudian Ayah tampak geram.

“Ayo, pecahkan babinya.”

“Apa?” tanyaku, “pecahkan Pesachson?”

“Ya, ya, Pesachson,” kata Ayah. “Ayo, pecahkan. Kau berhak dapat Bart Simpson, kau sudah berjuang keras.”

Pesachson tersenyum kepadaku dengan satu senyum yang sedih, senyum seekor babi Cina yang tahu bahwa akhir hidupnya akan tiba.

Masa bodoh dengan Bart Simpson. Aku, menghajar kepala sahabat terbaikku dengan martil?

“Aku tidak mau Bart.” Aku mengembalikan martil itu ke Ayah. “Pesachson saja cukup untukku.”

“Kau tidak paham,” kata Ayah. “Tidak apa-apa, ini namanya mendidik. Sini, Ayah pecahkan untukmu.”

Seketika saja Ayah sudah mengangkat martilnya, dan aku menatap mata Ibu yang tampak jeri dan senyum lemah Pesachson dan aku tahu semua ini bergantung pada tindakanku, kalau aku tidak berbuat apa-apa dia akan segera mati.

“Ayah.” Aku menarik-narik celana Ayah.

“Apa, Yoavi?” kata Ayah. Tangannya yang menggenggam martil masih bersiaga.

“Aku minta satu shekel lagi, ya, aku mohon,” kataku. “Aku minta satu shekel buat aku masukkan, besok, habis minum cokelat. Habis itu baru kita pecahkan, besok, aku janji.”

“Satu shekel lagi?” Ayah tersenyum dan meletakkan martil ke atas meja.

“Iya. Lihat, kan, aku sudah mengerti dan dewasa,” kataku. “Besok.” Saat itu, airmata sudah tersangkut di tenggorokanku.

Ketika mereka meninggalkan ruangan, aku memeluk Pesachson sangat erat dan akhirnya airmataku mengalir. Pesachson tidak berkata apa-apa, hanya bergemetar dengan heningnya di dalam dekapanku. “Jangan takut,” aku berbisik di telinganya, “aku akan menyelamatkanmu.”

Malamnya, aku menunggu Ayah selesai menonton televisi di ruang tengah sampai ia masuk kamar dan tidur. Kemudian, diam-diam aku menyelinap keluar rumah bersama Pesachson. Kami berjalan sangat jauh sampai tiba di padang rumput luas yang penuh dengan duri. “Babi suka sekali dengan padang rumput luas,” kataku kepada Pesachson sembari meletakkannya di tanah, “apalagi padang yang banyak durinya. Kau akan betah di sini.”

Aku menunggu jawaban, tapi Pesachson tidak mengatakan apapun, dan saat aku menyentuh hidungnya untuk mengucapkan selamat tinggal, dia hanya menatapku dengan sedih. Dia tahu dia tidak akan pernah bertemu denganku lagi. 



Baca Juga

Bagikan artikel ini

Tambahkan Komentar Anda
Disqus comments