Sesosok perempuan muncul seperti
bayangan, sehalus angin dan tanpa suara di sampingku. Perempuan itu mendadak
muncul dan duduk di sampingku ketika aku sedang benar-benar tidak tahu apa lagi
yang harus kutulis. Padahal aku sudah menghabiskan lima gelas kopi, sebungkus
rokok kretek, dan tiga kaleng guiness beer. Tetapi aku tidak memusingkan
perempuan itu. Aku tetap menghisap rokok kretekku dan menghembuskan asapnya
kuat-kuat dengan harapan mendapat imajinasi dari gumpalan asap itu.
"Apakah aku pelacur?" Perempuan itu bicara kepadaku.
"Kamu pelacur bukan?" Aku balik bertanya tanpa menoleh kepadanya. Itu pertanyaan klise yang tidak perlu kujawab.
"Menurutmu definisi pelacur itu bagaimana?" Ia bertanya lagi.
"Tidur dengan lebih dari satu laki-laki," sahutku asal saja. Lagi-lagi tanpa menoleh.
"Tidur? Hanya tidur? Masa tidur saja tidak boleh?" Ia masih mendebat.
"Dan katamu…lebih dari satu laki-laki. Hm…bagaimana dengan laki-laki yang tidur dengan lebih dari satu perempuan? Apakah dia juga bisa disebut pelacur laki-laki?" Ia nyerocos tanpa jeda.
Aku menoleh dengan perasaan mulai kesal dan terganggu. Saat ini aku sedang tidak ingin diajak berdebat. Aku justru perlu seseorang yang bisa memberikan imajinasi untuk meneruskan tulisanku yang terhenti di tengah jalan.
Tetapi, alamak…!
Aku terkejut ketika bersirobok pandang dengan bola mata perempuan itu. Matanya berwarna abu-abu! Tidak ada hitam. Dan tidak ada putih.
"Bagaimana?" Ia mengejarku dengan pertanyaannya.
"Apanya yang bagaimana?" Aku tergagap sembari masih berusaha menguasai diri.
"Apakah aku pelacur?" Ia mengulangi pertanyaannya.
Kali ini, di matanya yang abu-abu tampak tergenang butiran-butiran berlian yang ditahannya tidak runtuh bila ia mengerjapkan kelopak matanya.
Aku menarik napas panjang. Membenarkan posisi dudukku.
"Kamu sedang butuh bahan cerita bukan? Tulislah aku…" Ia bertanya dan menjawab sendiri seakan-akan tahu apa yang kurasakan.
"Ya," sahutku dengan nada berat dan sangsi.
Tetapi, bukan soal pelacur atau perempuan bermata abu-abu, tambahku dalam hati. Aku penulis roman cinta. Aku butuh cerita cinta.
"Sebenarnya kamu siapa?" tanyaku pada akhirnya.
"Apakah itu perlu buat kamu?" Ia balik bertanya.
Ah! Aku bukan pengacara yang siap diajak berdebat kata dan bersilat lidah setiap saat.
Aku pengarang yang sedang mati kata.
"Baik. Panggil saja aku Maya." Ia berkata seakan-akan bisa membaca pikiranku. "Maya? Nama kamu Maya?"
Perempuan itu tertawa. "Kamu pengarang kan? Apalah arti sebuah nama untuk pengarang? Shakespeare juga berkata begitu kan? Dan "Maya" artinya bisa tidak bisa ya, bisa mimpi bisa nyata, bisa…."
"Ya ya ya, Maya atau siapa pun kamu, sekarang berceritalah!" tukasku kesal. Aku memang tidak butuh namamu. Aku butuh ceritamu. Butuh imajinasimu.
Tetapi perempuan itu bukan membuka kata. Ia justru membuka blouse-nya, menampakkan payudaranya yang indah ditopang bra berwarna kulit. Aku terperangah. Tetapi ia tidak peduli. Ia berdiri. Melucuti pakaiannya satu per satu. Sampai ia telanjang bulat di depanku. Ia polos tanpa sehelai benang pun di tubuhnya. Seperti patung-patung Yunani atau patung-patung Bali yang kulihat di pameran. Aku meneguk air liur sampai jakunku turun naik.
"Apa yang kau lihat?" Suaranya bertanya setengah mendesah.
"Warna tubuhmu…" Kudengar suaraku seperti datang dari alam lain.
"Apa yang kamu lihat dari warna tubuhku?"
Kuhisap rokokku dalam-dalam lalu menghembuskannya kuat-kuat. Perempuan ini sekarang mulai mengasyikkan. Ia sudah tidak membosankan dan menganggu seperti tadi. Ia mulai memberikan sensasi. Apakah begitu perasaan setiap laki-laki bila berhadapan dengan perempuan telanjang di depannya?
"Abu-abu…," gumamku.
Perempuan itu tertawa. Suaranya merdu. "Kenapa tidak kau tulis?"
Astaga!
Ia kemudian mendekat. Begitu dekat. Sehingga aku bisa mencium aroma tubuhnya yang wangi dan merasakan sentuhan kulitnya yang lembab dan dingin. Ia mendekatkan dadanya ke wajahku. Napasku mulai terasa sesak. Aku menutup mataku karena tidak kuat menahan gejolak berahi.
"Buka matamu…Kenapa harus menutup mata bila kau ingin melihat sampai ke dalam?" Suaranya mesra merayu.
Aku masih menutup mata. Aku bingung, ragu, malu, tetapi juga ingin. Selama ini, aku memang suka menulis tentang perempuan. Tetapi belum pernah menulis tentang perempuan telanjang bermata dan bertubuh abu-abu.
Dengan satu gerakan lembut tetapi kuat, ia mengangkat wajahku. Kemudian, dengan sebuah usapan tanpa rasa sakit, kurasakan tangannya menjelajahi rongga mataku lalu mencungkil bola mataku. Ia membawa bola mataku ke dadanya. Meletakkan di atas payudaranya yang sebelah kiri.
"Kata
dokter, di sebelah kiri adalah jantung hati. Coba kau lihat ada apa di jantung
hatiku?" ia berbisik pelan di telingaku. Napasnya menghangati daun
telingaku.
Bola
mataku masuk ke dalam payudaranya, masuk ke dalam dadanya, masuk ke dalam
tulangnya, sampai menemukan jantung hatinya.
Astaga!
"Apa yang kau lihat?" Ia masih berbisik seperti angin.
"Jantungmu, hatimu, paru-parumu, darahmu…."
"Ya,
kenapa?"
"Berwarna abu-abu," sahutku gamang.
Ia tertawa lembut sambil mengambil kembali bola mataku dari atas dadanya dan mengembalikannya ke dalam rongga mataku. Ia lalu memberikan sebuah kecupan mesra di pelupuk mataku. Sekarang aku baru berani membuka mataku. Dan lagi-lagi aku bersirobok pandang dengan sepasang mata berwarna abu-abu yang menumpahkan berlian-berlian. Wajahnya begitu dekat dengan wajahku sehingga aku bisa menghirup napasnya yang segar. Dan ketika berlian-berlian jatuh bergulir menetes pula di pipiku lalu mengalir ke bawah, kutadah dengan tanganku.
"Air
matamu juga abu-abu," kataku sambil melihat butiran-butiran berlian di
tanganku.
Ia
tersenyum antara tawa dan tangis.
"Kenapa
semua berwarna abu-abu?" tanyaku pada akhirnya.
"Karena
semua mulut mengatakan aku hitam. Walaupun aku tidak putih tetapi aku tidak
sehitam yang mereka katakan. Bukankah abu-abu lebih baik daripada hitam?
Bukankah abu-abu tidak semunafik warna putih? Apakah mulut yang mengatakan aku
hitam semuanya berwarna putih?" Berlian-berlian abu-abu bercucuran di
pipinya yang kelabu.
"Kenapa
mulut-mulut mengatakan kamu hitam? Apakah kamu pelacur? Apakah kamu tidur
dengan lebih dari satu laki-laki?" Kali ini aku mengejarnya.
Sekarang
dia menarik badannya dari wajahku. Lalu duduk sambil bersidekap dada. Tetapi
masih telanjang bulat di depanku. Sekarang aku rasa, lebih baik ia tidak usah
mengenakan pakaiannya. Lebih baik ia telanjang bulat di depanku walaupun dengan
seluruh warna abu-abu.
"Menurutmu,
siapakah Yudistira?" Ia bertanya sambil mengambil rokok di tanganku. Lalu
dengan sebuah gerakan yang sensual ia mengisap rokokku dan menghembuskannya
membentuk sebuah bulatan-bulatan kecil. Ah, lagi-lagi berwarna abu-abu.
"Yudistira?
Hm…ia pandawa tertua. Ia paling bijaksana," sahutku.
Kali
ini aku merasa bertanya jawab dengan perempuan telanjang bulat walaupun dia
berwarna abu-abu menjadi lebih mengasyikkan.
"Oh,
begitu menurutmu?!" Ia membelalakkan matanya yang abu-abu dan dari
suaranya kudengar nada sumbang.
"Ya.
Cuma Yudistira yang mencapai nirwana," sahutku. "Cuma Yudistira dan
seekor anjing," tambahku cepat.
"Kalau
begitu, Yudistira, pandawa tertua yang bijaksana itu sama dengan anjing!"
Ia memotong cepat dan ketus.
"Lho?!" Aku terperangah.
"Apa bukan anjing namanya, kalau Yudistira mempertaruhkan Drupadi, istrinya di atas meja dadu hanya untuk sebuah Astinapura?! Apa bukan anjing namanya, kalau Yudistira hanya duduk terpana ketika Drupadi, istrinya, ditelanjangi Duryudana?! Apa bukan anjing namanya, kalau harga diri Yudistira lebih mahal daripada harga Drupadi, belahan jiwanya?!" Ia kembali nyerocos dengan berapi-api.
Aku
terdiam tidak mampu menjawab.
Perempuan
itu tertawa sinis. Sekarang ia mengambil sekaleng guiness di dekat laptopku.
Dengan sekali tegak, sekaleng guiness meluncur melewati bibirnya, lidahnya,
tenggorokannya, perutnya, ususnya, kandung kemihnya, dan mungkin akan berakhir
di toilet. Ia menjilati busa guiness yang tersisa di bibirnya yang indah.
Astaga!
Lidahnya juga abu-abu!
"Lalu, menurutmu, siapakah Drupadi?" Ia bertanya dengan lidah abu-abunya.
"Ng…Drupadi,
istri yang setia. Ia mengikuti Pandawa menjalani hukuman kalah judi dibuang ke
dalam hutan berpuluh-puluh tahun lamanya tanpa berkeluh kesah. Ia bahkan
bersumpah tidak akan menyanggul rambutnya sebelum keramas darah
Duryudana…," jawabanku terdengar gamang. Entah benar atau tidak menurut
perempuan itu.
Perempuan
itu mendengus. "O…, begitu menurutmu. Drupadi begitu putih," ujarnya
dengan nada sinis. "Lalu, kalau menurutmu, dia begitu setia dan putih,
kenapa ia tidak bisa mencapai nirwana?" sambungnya lagi-lagi dengan membelalakkan
matanya yang abu-abu.
Ah,
orang bilang, mata adalah jendela jiwa. Tetapi mata perempuan ini semua
abu-abu. Aku tidak bisa membaca apa yang ada di dalam jiwanya. Orang bilang,
lidah adalah senjata kata. Tetapi lidah perempuan ini juga abu-abu. Aku tidak
tahu ia bicara putih atau hitam. Orang bilang, jantung hati adalah naluri jiwa
yang paling jujur. Tetapi jantung hati perempuan ini juga abu-abu. Aku tidak
tahu apakah dia bohong atau jujur. Orang bilang, tubuh adalah bahasa. Tetapi
tubuh perempuan ini semua abu-abu. Aku tidak tahu ia benar atau salah.
"Menurutmu,
apakah Drupadi tidak bisa mencapai nirwana karena ia berselingkuh dan tidur
dengan lima pandawa: Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa, sekaligus?
Karena ia kotor? Karena ia hitam?" Ada luka menganga di mata
abu-abunya.
"Atau,
menurutmu, apakah Drupadi tidak bisa mencapai nirwana karena ternyata ia
berselingkuh batin dengan lebih mencintai Arjuna daripada Yudistira,
suaminya?" Ada darah menetes dari lidahnya yang abu-abu.
"Lalu,
menurutmu, apakah Drupadi itu pelacur?" Ada luka dan darah membanjir dari
jantung hatinya.
Aku
terdiam seribu kata. Tidak mampu menjawab. Karena setelah sekian lama melihat
perempuan itu dalam bungkusan warna abu-abu, mendadak saja begitu banyak warna
merah mengucur dari matanya, dari lidahnya, mulutnya, tubuhnya, jantung
hatinya, air matanya. Darah!
"Apakah
aku pelacur?" Untuk kesekian kalinya ia mengulangi kata-katanya.
Aku
merasakan dadaku sesak.
"Apakah
kamu Drupadi?" tanyaku sengau.
"Apa
perlu untukmu siapa aku? Apakah aku Drupadi, apakah aku Maya, apakah aku
pelacur? Kau hanya perlu cerita, tulis apa yang kau rasa, mungkin apa yang
tertulis lebih jujur dari kata yang terucap."
Masih
dengan tubuh telanjangnya, ia mendekat padaku, menciumiku dengan lidahnya yang
berdarah, melekatkan wajahku pada air mata darah, membiarkan mataku mengembara
ke dalam jantung hatinya yang berdarah, merapatkan tubuhku dengan tubuhnya yang
berdarah.
Malam
merapat pagi, ketika aku bersetubuh dengan perempuan abu-abu itu di atas
dara...
(Surabaya
: 21.03.2004 : 22.52 PM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.