Sang Ratu~Massimo Bontempelli
suatu pagi, saat sedang membereskan tempat tidur
bersama ibunya, Cecila menampakkan gejala kegilaan. Sekonyong-konyong dia
berkata, “Tanahnya bergerak. Akan ada bencana.”
Ibunya memandang dia dengan sangsi. “Apa
katamu?”
Cecila menjawab, “Apa?” Jelas dia tidak
ingat perkataannya barusan.
Ibunya mengulang kalimat itu. “Tanahnya
bergerak. Akan ada bencana.” Namun, karena melihat tatapan putrinya yang
sungguh-sungguh tak mengerti, intuisi si ibu memperingatkan agar tidak
melanjutkan. Akan tetapi, seharian kalimat itu terus terngiang dalam benak si
ibu. Malam itu di pembaringan, kala Cecilia sudah tertidur di ranjangnya
sendiri, ibunya masih saja menggumam, “Tanahnya bergerak.”
Hari-hari pun berlalu. Setiap hari sama
saja dengan hari lainnya pada tahun itu. Cecilia membantu ibunya melakukan pekerjaan
rumah, menisik pakaian, dan kadang dia menangis. (Dua tahun lalu, pada hari
Minggu, mereka menonton sebuah film). Malam-malam, setelah si ibu membersihkan
meja, sementara Cecilia menutup jendela-jendela serta mengeluarkan baju tidur
mereka, keduanya pergi tidur meski hari belum gelap benar.
Baru terpikir oleh si
ibu bahwa putrinya mungkin tak akan pernah menikah. Pikiran itu sangat tidak
mengenakkan, namun si ibu juga menyadari bahwa dirinya akan sangat sedih
apabila Cecilia tidak lagi hidup bersamanya untuk menutup jendela-jendela dan
mengeluarkan baju tidur.
Lama sudah si ibu melupakan ucapan ganjil
gadis itu, hingga suatu petang Cecilia mendongak dari tisikannya, menatap wajah
ibunya dalam-dalam dan berkata, “Kuda-kuda agak letih pagi ini, Mama.” Kali ini
si ibu terlonjak. “Ada apa denganmu, Nak? Kau sakit?” Ia bergegas menghampiri
Cecilia. Kedua tangannya merengkuh kepala gadis itu. Cecilia sadar kembali.
“Ada apa, Mama?”
“Kau bilang kuda-kuda agak ….”
“Aku tak pernah mengatakan apa pun tentang
kuda, Mama,” gadis itu menggeleng. “Mungkin Mama bermimpi.”
Namun Cecilia kembali meracau tiba-tiba
pada keesokan harinya, lalu tiap hari, beberapa kali sehari, hingga dengan
bantuan kerabat ia dirawat di rumah sakit jiwa di kota sebelah.
Hampir tiap minggu kepala rumah sakit
mengirim laporan kemajuan pada ibu Cecilia, meski ia tidak mengizinkan wanita
itu berkunjung selama anaknya dalam observasi. Akan tetapi, pada akhirnya izin
berkunjung diberikan, dan ibu yang lara itu pun datang ke klinik. Kepala rumah
sakit mempersilakan si ibu duduk dan mulailah ia berbicara panjang lebar.
“Pengobatannya baru dimulai. Seperti yang
kami duga, delusi Cecilia akhirnya menjadi fiksasi yang tetap. Ia meyakini
dirinya Ratu Theodora. Keyakinan itu meresap dalam setiap tindakan sadarnya.
Pastinya sedih melihatnya demikian, namun sekarang kami telah menemukan cara
menangani delusi semacam ini. Ada pengobatan khusus, yang baru-baru ini telah
kami kembangkan.” Kepala rumah sakit mengangguk pada asistennya, yang
tersenyum. “Kami telah memberikan beberapa suntikan uji coba yang hasilnya
sangat bagus. Tubuhnya menerima obat itu sepenuhnya. Oleh karena itu, kami
yakin dapat menjalankan pengobatan ini secara lengkap. Dengan dosis penuh,
pengobatan ini akan menyebabkan semacam epilepsi, namun setelahnya Cecilia akan
benar-benar pulih.”
“Benar-benar pulih? Dia akan kembali
seperti sediakala?”
“Tepat sekali.”
“Dia akan dibolehkan pulang? Kami bisa
bersama-sama lagi? Oh, Dokter!”
“Nah, mari,” sela dokter itu. Ia mengantar
si ibu melalui koridor, berhenti di depan sebuah pintu dan berbisik, “Ia di
ruangan ini.” Ia membuka pintu itu, melongok, dan berseru riang, “Cecilia,
ibumu datang.” Lalu ia mundur dan mengisyaratkan wanita itu agar masuk.
Sejenak si ibu terdiam, silau akan tembok
yang putih. Lantas ia melihat putrinya, yang tampaknya bertambah tinggi, sedang
berdiri di samping tempat tidur. Si ibu mengangkat tangannya dan melangkah
menuju gadis itu, namun merasa takut dan terhenti.
“Engkaukah itu, Ibunda terkasih? Terima
kasih telah menempuh perjalanan jauh. Kuharap mereka memperlakukanmu dengan
baik, selayaknya kepada ibunda sang Ratu?”
“Cecilia, Sayang,” rintih si ibu, yang
sembari mencondongkan tubuh ke depan, baru memerhatikan bahwa gadis itu
terselubung oleh seprai, seakan mengenakan mantel panjang. Ia menggapai
pinggang gadis itu dan memeluknya sesaat. Gadis itu membiarkan si ibu
menciumnya, lalu mendorong wanita itu dengan lembut.
“Ibunda terkasih, aku sungguh menyesal,
aku tidak bisa menghabiskan banyak waktu dengan Ibu hari ini karena ada tugas
penting. Ibunda duduklah dulu di kursi itu,” imbuhnya, seraya menunjuk bangku
kecil di kaki ranjang.
Si ibu terhuyung, nyaris tak sanggup
mendudukkan dirinya di tepi bangku itu, dan menggagap tak jelas. Cecilia yang
masih berdiri berpaling ke pojok ruangan dan berkata. “Ladies, siapkan
kamar untuk ibuku. Pengawal, kosongkan ruang tunggu tamu, aku tak hendak
menemui siapa pun hari ini. Ibunda, kemarilah lihat jendela ini.”
Ibu Cecilia pun menurut. Di jendela ia
menarik napas dalam-dalam. Di bawahnya yang terlihat hanyalah halaman sempit
dengan jalur hijau yang dikelilingi bunga aster. Ia berpaling pada putrinya
lagi, bimbang antara tetap berada di jendela atau kembali ke sisi gadis itu.
“Jika Ibunda kembali esok pagi dan
memandang taman ini, Ibunda akan melihatku sedang berjalan bersama sang Raja.
Pada saat itulah kami membicarakan urusan negara dan Paduka meminta
pertimbanganku. Pagi ini,” Cecilia merendahkan suaranya secara misterius. “Aku
memintanya menggulingkan Paus, yang merupakan musuhku. Di sisi lain,” ia
meninggikan suaranya, merentangkan tangan dan memalingkan wajah pada
langit-langit yang putih. “Semua orang di sini mengasihi dan mematuhiku. Ibunda
sedang melihat apa? Oh, langit-langit? Apakah Ibunda suka bintang-bintang emas
dipasang di sekitar salib hijau itu?”
Seketika itu juga, di tengah kengeriannya,
si ibu menyaksikan langit-langit benderang oleh bintang-bintang. Sekujur
tubuhnya gemetar, dan ia menutup wajahnya dengan kedua belah tangan. Setelah
merasa tenang kembali, ia tak sanggup menatap Cecilia, yang masih berkata-kata.
“Begitu banyak hal lain yang ingin
kutunjukkan pada Ibunda. Esok pagi, kita akan mengawalinya dengan melihat-lihat
permataku, ya, lalu mahkota, mahkota emas dengan permata dan mutiara, yang
kukenakan pada penobatanku di Santa Sofia saat aku berdiri di samping Raja
dikelilingi dupa dan bebunyian yang indah. Bahkan kukira saat itu para malaikat
di surga tengah bernyanyi. Tak ada wanita lain di seluruh dunia ini yang pernah
mengalaminya. Tak ada wanita lain yang dapat merasakan kebahagiaan yang
sedemikian.”
Cecilia terdiam dengan sorot mata bercahaya,
namun hati ibunya penuh ketakutan.
“Sayang, putriku yang manis, tidakkah kau
ingat?”
“Apa yang mesti kuingat, Ibunda?”
Wanita tua itu tak sanggup berkata-kata.
Ia tak lagi ingat akan perkataan yang hendak disampaikannya. Tubuhnya limbung
seakan ia baru saja mendapati dirinya berada di pinggir tebing. Sambil
berpegangan, ia menengadah dan menatap wajah putrinya. Meski begitu, ia tak
sanggup memandang lama-lama. Setelah beberapa saat termenung, dengan tatapan
menerawang Cecilia mulai berbicara lagi.
“Ketika kita merasa sangat bahagia, kita
tak sempat mengingat-ingat. Yang terpikirkan tentang masa lalu hanyalah
kesedihan. Aku memiliki segalanya, Ibunda. Akankah Ibunda kembali pada hari
upacara untuk melihatku menaiki kereta kencana yang dihela empat ekor kuda
putih?”
Si ibu memegang dahinya. “Ya, Sayang, aku
akan datang.”
Dengan mata terpejam, gadis itu
mendengarkan suara yang seakan datang dari kejauhan. “Dan meja gadingku yang
besar? Dan taman merak? Pesta terang bulan di Bosporus? Ruang rahasia tempat
aku membuat sendiri parfumku? Singgasana tempat aku menerima duta besar dari
semua negara di dunia? Ibunda, Ibunda.” Kini gadis itu bersorak dalam luapan
sukacita. “Ibunda, aku ingin engkau melihatku berjalan-jalan dengan mantel
unguku, saat orang-orang menghamburkan diri ke kakiku seraya menyerukan ‘Yang
Mulia, Yang Mulia.’”
Ibu Cecilia mendapati dirinya di koridor
tengah bersandar pada dinding, tanpa ingat bagaimana bisa berada di sana. Ada
yang menemukannya dan membawanya ke tempat dokter tengah menunggu. Begitu
melihat dokter, ia menegakkan tubuhnya, dan sebelum lelaki itu sempat
berkata-kata, ditegaskannya dengan suara yang dingin dan kaku, “Jangan
sembuhkan putri saya.”[]
---------------------------------------------------------------------------
Massimo Bontempelli (1878-1960) penulis Italia yang juga
bekerja sebagai wartawan, guru, dan musikolog, serta menjabat sebagai perwira
artileri pada Perang Dunia Pertama. Pada 1926 ia mendirikan jurnal sastra yang
kontroversial, 900, yang mana
James Joyce, Max Jacob, dan Rainer Marie Rilker termasuk editornya. Ia salah
satu penulis inventif paling cemerlang pada abad ke-20, dan banyak yang
menganggapnya sebagai bapak dari “realisme magis”. Bontempelli menulis lebih
dari enam puluh buku puisi, drama, fiksi, dan teori menulis. Cerpen ini diambil
dari buku kumpulan cerpennya, The Faithful Lovers, dan
diterjemahkan berdasarkan versi bahasa Inggris Estelle Gilson dalam Words Without Borders edisi
Agustus 2007: “Dreams of Our Russian Summer”.