Cerpen Hantu | Oleh Mark Twain - Linkkoe Jurnal

Tools

Sabtu, 16 Mei 2020

Cerpen Hantu | Oleh Mark Twain

Cerpen Hantu
Oleh Mark Twain





Cerpen Mark Twain


Aku menyewa sebuah kamar, jauh di atas Broadway, di sebuah bangunan tua besar yang lantai atasnya tak dipergunakan lagi selama bertahun-tahun sampai aku datang. Tempat itu telah lama dipasrahkan pada debu dan jaring laba-laba, pada kesendirian dan keheningan. Aku seperti sedang menggerayangi makam-makam dan menyerobot daerah pribadi orang mati, di malam pertama aku masuk ke tempat tinggalku. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, ketakutan menyerangku; dan saat aku berbelok di tangga gelap dan sebuah jaring laba-laba tak terlihat berayun dan menempel di wajahku, aku tergeregap seperti telah melihat hantu.

Aku cukup lega ketika akhirnya aku sampai di kamarku dan menguncinya dari jamur dan kegelapan. Api berkobar di perapian, dan aku duduk di depannya dengan perasaan lega yang nyaman. Selama dua jam aku duduk di sana, berpikir tentang waktu yang berlalu; mengingat kenangan lama, dan memanggil wajah-wajah yang hampir terlupakan dari kabut masa lampau; mendengarkan suara tak nyata, yang dulu biasanya senyap, dan pada lagu-lagu yang dulu akrab namun kini tak ada lagi yang menyanyikannya. Dan sembari khayalanku melebur menjadi emosi yang semakin sedih dan sedih, deru angin di luar melunak jadi rintihan, suara hujan menggelora yang memukul bingkai jendela menyusut jadi bunyi ketukan yang menenangkan, dan satu persatu bunyi gaduh di jalan menghilang, sampai langkah kaki tergesa dari kerumunan terakhir menghilang di kejauhan dan tak meninggalkan suara apapun.

Nyala api mengecil. Perasaan kesepian menyelimutiku. Aku bangkit dan membuka pakaian, berjingkat di sekeliling ruangan, mengerjakan yang harus kulakukan dalam gelap dan diam-diam, seolah di dekatku ada musuh yang tidur, dan akan berbahaya jika terbangun. Aku menutup tubuhku dengan selimut di atas tempat tidur, dan berbaring mendengarkan hujan dan angin dan derit pintu di kejauhan, hingga tertidur.

Aku tidur lelap sekali, tetapi entah berapa lama aku tertidur aku tak tahu. Segera saja aku menyadari diriku terbangun, gemetar. Semuanya diam. Semua kecuali jantungku–masih kudengar detaknya. Namun kini kain selimutku melorot ke kaki tempat tidur, seolah ada yang menariknya! Aku tak dapat bergerak; aku tak dapat bicara. Selimutku masih meluncur perlahan sampai dadaku tak tertutupi lagi. Kemudian dengan kuat aku meraih dan menariknya hingga ke kepala. Aku menunggu, mendengarkan, menunggu. Sekali lagi, tarikan itu dimulai, dan sekali lagi aku berbaring kaku, rasanya lama sekali, pada detik-detik selimut itu ditarik hingga dadaku terbuka lagi. Akhirnya aku mengumpulkan kekuatanku dan menarik selimut kembali ke tempatnya dengan genggaman yang erat. Aku menunggu. Aku merasakan tarikan pelan, dan menggenggam kembali. Tarikan itu menjadi sangat mantap-semakin kuat dan kuat. Genggamanku terlepas, dan untuk ketiga kalinya selimutku meluncur pergi. Aku mengerang. Jawaban atas erangan itu terdengar dari kaki tempat tidur! Bulir keringat berkumpul di keningku. Aku lebih mirip mati daripada hidup. Kemudian aku mendengar langkah kaki berat di ruanganku–seperti langkah kaki gajah, bagiku–itu sama sekali tidak mirip langkah manusia. Tetapi suara itu bermula DARI sisiku–aku cukup lega karena ini. Aku mendengarnya mendekati pintu, keluar tanpa memutar kunci–dan berjalan di sepanjang koridor-koridor suram, menghentak lantai hingga terdengar suara deritnya, lalu hening kembali.

Ketika keteganganku mereda, aku berkata pada diriku sendiri, “Ini adalah mimpi–mimpi yang sangat aneh.” Setelah itu aku berbaring dan berpikir sampai aku meyakinkan diriku bahwa yang TADI itu adalah mimpi, lalu tawa melegakan bibirku dan aku senang kembali. Aku bangun dan menyambar lampu, dan ketika aku melihat kunci dan kenop masih seperti semula, tawa lain yang menenangkan meluap di hatiku dan menderas dari bibirku. Aku mengambil pipa rokok dan menyalakannya, dan duduk di depan perapian ketika–di bawah jemariku yang memegang pipa, darah tersirap meninggalkan pipiku, dan napasku tercekat! Pada abu di depan perapian, berdampingan dengan jejak kaki telanjangku, ada jejak kaki lain, sungguh lebar hingga milikku hanya seumpama jejak kaki balita! Kalau begitu, aku kedatangan tamu, dan demikian suara langkah gajah itu masuk akal.

Kuletakkan lampu lalu kembali ke tempat tidur, tertegun dan gemetar oleh ketakutan. Aku berbaring lama, menatap dalam gelap, dan memasang telinga. Aku mendengar suara gaduh di lantai atas, seperti menyeret tubuh di sepanjang lantai, kemudian melemparkan tubuh itu, dan guncangan itu menyebabkan gemeretak di jendelaku. Di bagian bangunan yang lain aku mendengar suara teredam pintu-pintu dibanting. Aku mendengar langkah kaki, perlahan dan dalam tempo tertentu, masuk keluar koridor, naik turun tangga. Terkadang suara itu mendekati pintu kamarku, ragu-ragu, lalu berlalu. Aku mendengar kelontang rantai samar-samar, di lorong sepi, dan menyimak suaranya mendekat — terdengar kelelahan menaiki tangga, menandai setiap gerakannya dengan gemerincingan rantai yang terjulur pada setiap langkah yang berhasil dibuat monster itu. Aku mendengar kalimat gumaman; setengah jeritan yang agaknya ditahan kuat-kuat; dan suara desir pakaian tak terlihat, sayap-sayap tergesa yang tak terlihat. Kemudian aku tersadar bahwa ruanganku diserbu–bahwa aku tak sendiri. Aku mendengar suara desah dan napas di bawah tempat tidurku, dan bisikan-bisikan aneh. Tiga bola cahaya kecil berpendar lembut muncul di langit-langit di atas kepalaku, bergantungan dan berkilauan di sana sebentar, lalu jatuh–dua di wajahku dan satu di bantal. Ketiganya memercik, cair, dan terasa hangat. Intuisiku mengatakan mereka telah berubah menjadi tetesan darah ketika mereka jatuh–aku tak perlu lampu untuk dapat yakin akan hal itu. Kemudian aku melihat wajah-wajah pucat, cahaya remang, dan tangan-tangan putih terangkat, mengambang di udara tanpa tubuh–mengambang sebentar lalu mengilang. Bisikan-bisikan terhenti, dan suara-suara serta bunyi-bunyian, dan keheningan yang khidmat itu pun mengikuti. Aku menunggu dan mendengarkan. Aku rasa aku perlu penerangan, atau aku bakal mati. Aku melemah karena ketakutan. Perlahan, aku mengangkat tubuhku dan duduk, dan wajahku tiba-tiba menyentuh tangan yang sedang mengepal! Seluruh kekuatanku lenyap, dan aku jatuh ke belakang seperti orang cacat. Kemudian aku mendengar desiran pakaian–sepertinya ia melewati pintu dan pergi.

Ketika segalanya kembali hening, aku merangkak meninggalkan tempat tidur, mual serta lemah, lalu menghidupkan lampu gas dengan tangan gemetar seolah telah berusia seratus tahun. Cahaya mengantarkan sedikit ketenangan bagi jiwaku. Aku duduk lalu termenung dalam khayal tentang jejak kaki besar pada abu. Kemudan bayangan khayal itu bergoyang dan meredup. Aku menengok ke atas dan kepulan asap perlahan menghilang. Pada saat itu pula aku kembali mendengar langkah kaki gajah itu. Kuperhatikan, suara itu mendekat dan semakin dekat, di sepanjang lorong lembap, dan semakin lama cahaya semakin mereup. Langkah itu sampai di depan pintu kamarku dan berhenti–cahaya lampu menyusut hingga menjadi biru pucat, dan segala yang ada disekitarku tergeletak dalam cahaya berbayang. Pintu tak terbuka, tetapi aku merasakan sedikit angin di pipiku, dan sesaat kemudian aku merasakan kehadiran sesuatu yang besar dan berkabut di depanku. Aku menatapnya dengan mata terkesima. Kilau yang pucat menutupi Sosok itu; secara bertahap kabut itu membentuk–sebuah lengan terlihat, kemudian kedua kaki, kemudian badan, dan yang terakhir sebuah wajah yang sangat sedih muncul. Menjelma dari bentuk yang tipis, Raksasa Cardiff yang telanjang, berotot, gagah, menjulang di atasku!

Segala deritaku hilang– karena seorang bocahpun mungkin tahu bahwa tak ada bahaya yang dapat didatangkan wajah yang ramah itu. Semangatku naik seketika, dan dan seolah bersimpati, nyala lampu gas kembali berkobar terang. Tak pernah seorang terasing menjadi begitu senang menyambut tamu seperti aku menyapa si raksasa ramah. Aku berkata,

“Wah, ternyata kau? Kau tahu, aku hampir mati ketakutan selama dua-tiga jam terakhir tadi? Jujur saja ku sangat senang bertemu denganmu. Kuharap aku punya kursi–sini, sini, tak usah duduk di sana!”

Namun terlambat. Ia telah duduk di sana, dan semakin ia duduk-aku tak pernah melihat kursi segemetar itu sepanjang hidupku.

“Berhenti, berhenti, kau akan menghancurkan se–,” Terlambat lagi. Ada suara hancur lagi, dan kursi lain pun kembali ke bentuk dasarnya.

“Kau menghancurkannya lagi, tidakkah kau berpikir sama sekali? Apa kau mau menghancurkan seluruh perabot? Sini, sini, kau, si Bodoh Kaku–”

Tapi tak ada gunanya. Sebelum aku menahannya ia telah duduk di tempat tidurku, yang rubuh dengan menyedihkan.

“Sekarang bagaimana caranya? Pertama kau datang berkeliling dengan lamban sambil membawa sekumpulan hantu gelandangan bersamamu sampai aku hampir mati ketakutan, sekarang ketika aku mengabaikan ketidaksopanan yang tak mungkin dapat ditolerir dimanapun oleh orang-orang berbudaya kecuali di teater terhormat, dan bahkan tidak jika bugil adalah GAYAmu, kau membayarku dengan merusak semua perabot yang kau duduki. Kenapa kau begitu? Kau menghancurkan dirimu seperti kau yang kau lakukan padaku. Kau menghancurkan bokongmu, dan mengotori lantai dengan serpihan di tubuhmu sampai tempat ini terlihat seperti halaman berkerikil. Harusnya kau malu pada dirimu–kau sudah cukup besar untuk tahu yang lebih baik”

“Yah, aku tak akan menghancurkan perabot lainnya. Namun apa yang bisa kulakukan? Aku belum duduk selama seribu tahun,” Kemudian air matanya merebak.

“Hantu yang malang”, Aku berkata, “Aku seharusnya tidak berbuat kasar padamu. Dan kau yatim piatu, tentu. Nah, duduklah di lantai—tak ada lagi yang bisa menopangmu–lagipula, kita tak bisa brbincang jika kau menjulang jauh di atasku; Aku ingin kau turun, biar aku duduk di kursi ini dan kita bisa ngobrol saling berhadapan.

Maka ia duduk di lantai, menyalakan pipa rokok yang kuberikan, menyampirkan selimut merahku di sekeliling bahunya, menelungkupkan ember mandiku ke atas kepalanya, hingga jadi seperti helm, serta menjadikan dirinya bergaya sekaligus nyaman. Kemudian, ia menyilangkan kakinya sementara aku memperbesar nyala api, dan membiarkan kakinya yang besar, datar dan berongga merasakan kehangatan.

“Kenapa dengan bagian bawah kakimu, seperti tercungkil?”

“Bengkak parah karena dingin–aku masih ingat sekali, waktu aku di luar sana di bawah pertanian Newell. Tapi, aku suka di sana; seperti seseorang menyukai rumah lamanya. Tak ada yang sedamai saat aku di sana”. Kami mengobrol selama satu setengah jam, kemudian aku menyadari bawa ia kelihatan lelah, dan kukatakan padanya. “Lelah?” Katanya. “Yah, kurasa begitu. Sekarang aku akan memberitahumu, karena kau telah memperlakukanku dengan begitu baik. Aku adalah roh dari Manusia Membatu yang berbaring di museum seberang jalan sana. Aku adalah hantu raksasa Cardiff. Aku tidak bisa beristirahat, tidak tenang, sampai mereka menguburkan tubuh malang itu lagi. Jadi, hal paling alami apa yang bsa kulakukan, agar orang-orang dapat mengabulkannya? Menakuti mereka!–menakuti tempat di mana tubuh itu berbaring! Jadi aku menghantui museum setiap malam. Aku bahkan mendapat bantuan dari roh lain. Tapi tak ada gunanya, tak ada yang datang ke museum pada tengah malam. Kemudian aku terpikir untuk kemari dan menghantui tempat ini sedikit. Aku rasa jika ada yang mendengarku, aku akan berhasil karena aku mendapatkan teman yang hebat. Setiap malam kami menggetar-getar di sepanjang lorong berjamur, menyeret rantai, mengerang, berbisik, berderap naik turun tangga, sampai, jujur saja, aku hampir bosan. Tapi ketika aku melihat cahaya di ruanganmu malam ini, aku mengumpulkan tenaga dan melakukannya lagi dengam semangat. Namun aku kelelahan–capek yang luar biasa. Beri aku-kumohon–beri aku harapan!”, Aku berseru dengan tegang,

“Ini luar biasa-dari semua yang pernah ada! Kenapa sih kau, fosil tua lamban, menyusahkan dirimu untuk hal sia-sia–kau selama ini sedang menghantui barang tiruanmu–Raksasa Cardiff yang asli ada di Albania!

[Catatan kaki oleh Twain: Fakta. Raksasa buatan ini dibuat duplikatnya dengan cerdik, dan dipamerkan di New York sebagai Raksana Cardiff “satu-satunya yang asli” (yang membuat kesal pemilik dari patung raksasa tersebut) yang kemudian menarik perhatian di museum Albania.]

Kau keliru, kau tak mengenali milikmu sendiri?”

Aku belum pernah melihat wajah yang benar-benar malu, sungguh terhina, seperti ini sebelumnya. 

Manusia Membatu bangkit perlahan untuk berdiri, lalu berkata: “Jujurlah, apa itu benar?”

“Sama benarnya dengan fakta aku sedang duduk di sini”

Ia melepaskan pipa rokok dari mulutnya dan meletakkan itu di atas mantel, kemudian berdiri dengan ragu-ragu selama beberapa saat (tak sadar, karena kebiasaan lama, memasukkan tangannya di mana biasanya saku pantalonnya ada, lalu menunduk seperti merenung), lalu akhirnya berkata:

“Yah, aku TIDAK PERNAH merasa seabsurd ini sebelumnya. Manusia membatu telah dijual orang lain, dan sekarang kebohongan keji itu berakhir dengan menjual hantunya sendiri! Anakku, jika kau masih memiliki kebaikan dalam hatimu untuk hantu malang tak berteman sepertiku, jangan biarkan ini terjadi. Pikirkan bagaimana perasaanmu jika kau melakukan kesalahan pada dirimu.”

Aku mendengar derapnya yang megah perlahan menghilang, langkah per langkah menuruni tangga dan keluar ke jalanan sepi, dan aku menyesali bahwa ia telah pergi, teman yang malang–dan lebih menyesal karena ia pergi membawa selimut dan ember mandiku.

(Admin)
Baca Juga

Bagikan artikel ini

Tambahkan Komentar Anda
Disqus comments