Lubang di Dinding - Linkkoe Jurnal

Rabu, 01 Juli 2020

Lubang di Dinding

Lubang di Dinding 
Oleh: Etgar Keret 



Lubang di Dinding, Cerpen Etgar Keret, Sastra Dunia, Cerpen Terjemahan
Picture: Pixabay

Di jalan Bernadotte, disamping kanan pusat stasiun bus, ada sebuah lubang di dinding. Dulu ada ATM disana, tapi bangkrut atau yang sejenisnya, atau tidak ada yang pernah menggunakannya, jadi orang dari Bank datang dengan pickup dan mengangkutnya, dan tidak pernah membawanya kembali lagi. 

Seseorang pernah memberitahu Udi jika kau meneriakan permohonan kedalam lubang itu akan menjadi kenyataan, tapi Udi tidak benar-benar mempercayainya. Suatu kali itu benar terjadi, dalam perjalanan pulang dari menonton film, dia berteriak kedalam lubang di dinding itu dia ingin Dafne Rimalt jatuh cinta dengannya, dan tidak terjadi apapun. Dan sekali, saat dia merasa benar-benar sendirian, dia berteriak kedalam lubang di dinding itu dia ingin malaikat untuk menjadi teman, dan malaikat benar-benar menampakan diri setelah itu, tapi malaikat itu tidak pernah lebih dari teman, dan selalu menghilang tepat saat Udi membutuhkannya. Malaikat itu kurus dan bungkuk dan dia menggenakan jas sepanjang waktu untuk menyembunyikan sayapnya. Orang-orang dijalanan itu yakin ia bungkuk. Suatu waktu, ketika hanya mereka berdua, malaikat itu menanggalkan jasnya. Sekali malaikat itu bahkan membiarkan Udi menyentuh bulu-bulu di sayapnya. Tapi saat ada orang lain di ruangan, malaikat itu akan menyimpannya. Anak-anak Klein suatu kali bertanya padanya apa yang ada di balik mantelnya, dan malaikat itu bilang ransel penuh berisi buku-buku bukan miliknya dan tidak ingin buku-buku itu basah. Sebenarnya, malaikat itu berbohong setiap saat. Malaikat itu memberitahu Udi kisah-kisah berkaitan dengan kematian: tentang tempat di surga, tentang orang-orang yang ketika mereka tidur di malam hari meinggalkan kunci di kunci kontak, tentang kucing (cat) yang tidak takut dengan apapun dan bahkan tidak tau arti dari enyah (scat). Kisah-kisah yang dibuatnya sesuatu yang berarti lain, dan di atas itu semua, berselisih dengan hati dan mengharapkannya untuk mati. 

Udi gila tentangnya dan selalu bersikeras untuk mempercayainya. Bahkan meminjamkan sejumlah uang kepadanya beberapa kali saat malaikat itu kesusahan. Sebagai malaikat, ia tidak melakukan suatu hal yang membantu Udi. Ia hanya bicara, bicara dan bicara, melanturkan kisah-kisah bodoh. Selama 6 tahun dia mengenalnya, Udi tidak pernah melihatnya lebih dari bilasan gelas. 

Ketika udi sedang pelatihan dasar, dan sangat membutuhkan seseorang untuk diajak bicara, malaikat itu tiba-tiba menghilang darinya selama dua bulan penuh. Lalu ia kembali dengan wajah tidak bercukur–jangan menanyakan apa yang terjadi. Jadi Udi tidak bertanya, dan pada hari sabtu mereka duduk di atas atap dengan hanya bercelana dalam berjemur di bawah matahari dan merasa sedih. Udi memandang ke arah atap yang lain dengan kabel saling terhubung dan panel surya, dan langit. Tiba-tiba terpikir olehnya selama beberapa tahun mereka bersama dia tidak pernah sekalipun melihat malaikat itu terbang. 

“Bagaimana kalau terbang sedikit,” kata Udi pada malaikat itu. “Itu dapat membuatmu merasa lebih baik.” 

Dan malaikat itu berkata : ”Lupakan itu. Bagaimana jika seseorang melihatku?” 

“Ayolah,” Udi menggerutu. “Hanya sebentar. Demi aku.” Tapi malaikat itu hanya membuat suara menjijikan dari dalam mulutnya dan menembakan segumpal ludah dan dahak putih menodai-melapisi atap. 

“Tidak usah dipikirkan,” Udi merajuk. “Aku bertaruh kau tidak tau bagaimana caranya terbang.” 

“Tentu saja aku bisa,” malaikat itu menembak balik. “Aku hanya tidak ingin orang-orang melihatku, itu saja.” 

Di atap seberang mereka melihat anak-aanak bermain lempar bom air. “Kau tau.” Udi tersenyum. “Suatu, waktu aku kecil, sebelum bertemu denganmu, aku sering datang kesini dan melempar bom air ke orang-orang dibawah sana. Aku mengarahkannya ke ruang diantara emper itu dan yang satunya.” Dia menjelaskan, membungku diatas dan menunjuk ke celah sempit antara emper toko kelontong dan toko sepatu. 

“Orang-orang akan melihat keatas, dan mereka lihat hanyalah emperan. Mereka tidak akan tau dari mana berasal.” 

Malaikat itu bangun juga, dan melihat kearah jalan. Dia membuka mulutnya ingin mengatakan sesuatu. Tiba-tiba Udi memberinya sedikit dorongan dari belakang, dan malaikat itu kehilangan keseimbangannya. Udi hanya main-main. Dia tida benar-benar ingin mencelakai malaikat itu, hanya ingin membuatnya terbang sedikit, untuk diketawai. Tapi malaikat itu jatuh dari lantai lima, seperti sekarung kentang. Tertegun, Udi memandanginya berbaring di trotoar di bawah sana. Keseluruhan tubuhnya utuh, kecuali sayapnya yang menggelepar sedikit, seperti saat seseorang mati. Saat itulah akhirnya dia paham yang malaikat itu ceritakan padanya, tidak benar. Dia bahkan bukanlah malaikat, hanyalah seorang pembual dengan sayap. 


--------------------------------------
Cerpen ini berjudul asli Hole In The Wall yang terdapat dalam buku The Bus Driver Who Wanted To Be God & Other Stories karya Etgar Keret dan diterjemahkan oleh Pengelola secara manual. 
Baca Juga

Bagikan artikel ini

Tambahkan Komentar Anda
Disqus comments