Santini Terbang~Cerpen Etgar Keret - Linkkoe Jurnal

Rabu, 15 Juli 2020

Santini Terbang~Cerpen Etgar Keret

Santini Terbang
Cerpen Oleh: Etgar Keret 



Cerpen Etgar Keret, Santini Terbang, Cerpen Terjemahan



Italo melambaikan tangannya dan drum yang menjengkelkan itupun berhenti. Dia menarik nafas panjang dan memejamkan mata. Saat aku melihatnya berdiri diatas panggung kayu kecil itu–mengenakan kostum berkilaunya–hampir menyentuh langi-langit kanvas tenda, semuanya tampak jelas bagiku. Aku akan meninggalkan rumah dan bergabung ke sirkus! Aku juga akan menjadi salah satu Santini terbang, aku akan melompat meskipun udara seperti setan, aku akan menggantung pada tali dengan gigiku. 

Italo berputar dua setengah kali di udara dan ditengah jungkir balik ketiga dia menyambar tangan Enrico yang terulur, Santini termuda. Penonton pun bertepuk tangan dengan antusias, Ayah mengambil kotak berondong jagungku dan melemparnya ke udara, kepingan salju asin mendarat di kepalaku. 

Beberapa anak harus kabur dari rumah pada tengah malam untuk bergabung dalam sirkus, tapi ayah mengantarku dengan mobilnya. Dia dan ibu pun membantuku mengemasi barang-barangku kedalam koper. 

“Aku sangat bangga padamu ,nak,” kata ayah dan memelukku beberapa saat sebelum aku mengetuk pintu karavan Papa Luigi Santini. “Selamat berpisah, Ariel-Marcello Santini. Dan luangkan pikiranmu sedikit untukku dan ibumu kapanpun kamu terbang tinggi diatas lantai sirkus.” 

Papa Luigi membuka pintu, dia mengenakan celana panjang berkilau kostum sirkus dan piyama diatasnya. 

“Aku ingin bergabung denganmu, Papa Luigi,” aku berbisik. “Aku ingin menjadi Santini terbang juga.” 

Papa Luigi menatap tubuhku dengan tatapan tajam, merasakan otot-otot lengan kurusku dengan tertarik, dan akhirnya membiarkan aku masuk. 

“Banyak anak yang ingin menjadi Santini terbang,” ia berkata setelah hening beberapa detik. “Mengapa kau berfikir semua orang cocok?” 

Aku tak tau harus menjawab apa, aku menggigit bibir bawahku dan tak mengatakan apapun. 

“Kau berani?” Papa Luigi bertanya padaku. 

Aku menganggukan kepala. 

Dengan sebuah gerakan cepat ia meninjukan tinjunya ke depan wajahku. 

Aku tak bergerak semilimeter pun dan aku bahkan tak berkedip. 

“Hmmm…,” kata Papa Luigi sambil membelai dagunya. “Dan gesit?” Dia bertanya. “Kau tau ‘kan Santini terbang dikenal karena kegesitan mereka?” 

Lagi aku menganggukan kepala sambil menggigit bibir bawahku kuat-kuat. 

Papa Luigi membentangkan tangan kanannya, menaruh koin seratus lira disana, dan memberi isyarat kepadaku dengan alis kelabunya. 

Aku berhasil merenggut koin itu sebelum ia menutup tangannya. 

Papa Luigi menganggukan kepalanya. “Sekarang hanya ada satu tes yang tersisa,”dia meneriakan. “Tes kelenturan. Kau harus menyentuh kakimu dengan posisi kaki lurus.” 

Aku menyantaikan tubuhku, menarik nafas panjang dan memejamkan mata, persis seperti Italo, saudaraku, yang tampil di pertunjukan malam itu. Aku membungkuk dan menggapai dengan tanganku. Aku bisa melihat ujung jari-jariku pada jarak beberapa milimeter dari ujung sepatuku, hampir menyentuh. Tubuhku sama kencangnya dengan tali yang hendak dilipat tiap menit, tapi aku tak akan menyerah. Empat milimeter pemisahku dari keluarga Santini. Aku tau aku harus bisa melaluinya. Lalu, tiba-tiba, aku mendengar suara. Seperti suara kayu dan kaca pecah bersamaan, begitu keras-memekan telinga. Ayah tampaknya sedang menunggu di luar dalam mobil, merasa khawatir dan bergegas masuk ke dalam karavan. “Kau baik-baik saja?” Dia bertanya dan mencoba membantuku menegakan badan. Aku tak bisa meluruskan punggungku. Papa Luigi mengangkatku dengan tangannya yang kokoh dan kami semua berkendara bersama menuju rumah sakit. 

Dengan x-ray mereka menemukan satu sendi terlepas diantara L2-L3 tulang belakang. Saat aku memegang foto diseberang lampu aku bisa melihat semacam titik hitam, seperti tumpahan kopi, di tulang belakang transparan. Pada amplop coklat dinamai “Alfred Fledermaus” ditulis dengan sebuah bolpoin. Bukan Marcello, bukan Santini–hanya liuk-liuk, tulisan jelek. 

“Kau bisa saja menekuk lutut,” Papa Luigi berbisik dan menyeka salah satu air mataku. “Kau bisa saja menekuknya sedikit. Aku tak akan mengatakan apapun.”

(*)
Baca Juga

Bagikan artikel ini

Tambahkan Komentar Anda
Disqus comments