Cerpen Hari-hari Terakhir Oleh Gabriel Garcia Marquez - Linkkoe Jurnal

Tools

Senin, 11 Januari 2021

Cerpen Hari-hari Terakhir Oleh Gabriel Garcia Marquez

Cerpen Hari-hari Terakhir Oleh Gabriel Garcia Marquez 


Cerpen Hari-hari Terakhir Oleh Gabriel Garcia Marquez
Gambar: Pixabay



SENIN yang memancarkan kehangatan dan tanpa hujan. Aurelio Escovar, seorang tukang gigi tanpa gelar dan rajin bangun pagi, membuka kantornya jam enam. Ia mengambil beberapa gigi palsu yang masih melekat pada cetakan plester, mengeluarkannya dari peti kaca, menaruh semua perkakas itu di atas meja dan disusunnya berurutan, seolah-olah sedang dipamer. Ia mengenakan kemeja garis-garis tak berkerah, yang lehernya tertutup kancing emas. Celananya terangkat ke atas oleh tali selempang. Tubuhnya tegak dan kurus, dengan tatapan yang nyaris tidak sesuai dengan keadaan, seperti tatapan orang yang tuli. 

Ketika semuanya telah tersusun rapi di meja, dia menarik bor menghadap kursi dan duduk untuk memoles gigi palsu. Ia terlihat tidak memikirkan apa yang sedang ia lakukan, tapi bekerja terus, memompa bor dengan kakinya, bahkan saat ia tak perlu melakukan itu. 

Ketika jam menunjukkan pukul delapan, ia berhenti sejenak untuk melihat langit melalui jendela. Ia melihat dua ekor elang yang sedang termenung berjemur di atap rumah tetangga depan rumahnya. Ia kembali melanjutkan kerja dengan firasat bahwa sebelum makan siang hujan akan turun. Suara nyaring anak laki-lakinya yang berusia sebelas tahun membuat konsentrasinya buyar. 


“Ayah.” 
“Apa?” 
“Mayor mau ayah mencabut giginya.” 
“Bilang padanya aku tidak di tempat.” 

Dia memoles sebuah gigi emas. Ia rentangkan lengannya, dan memeriksa gigi itu dengan mata setengah tertutup. Anak laki-lakinya berteriak lagi dari ruang tunggu yang kecil. “Dia bilang ayah ada, dia dapat mendengar suara ayah.” 

Tukang gigi itu terus memeriksa gigi palsu. Setelah ia menaruhnya di atas meja dengan hasil sempurna ia berkata: “Baguslah!” 

Ia menghidupkan bor lagi. Ia mengambil beberapa dari cetakan gigi tempat ia menyimpan gigi-gigi lain yang masih harus ia bereskan, dan ia mulai memoles gigi emas. 

“Ayah” 
“Apa?” 

Dia masih tidak mengubah raut wajahnya. “Dia bilang kalau ayah tidak mencabut giginya, dia akan akan menembak ayah.” Tanpa terburu-buru, dengan gerak yang sangat tenang, ia berhenti memompa bor, menyingkirkan bor gigi menjauh dari kursi, dan menarik laci meja paling bawah. Di sana ada sebuah revolver. “Baik,” ia berkata. “Katakan padanya: masuk dan tembak aku.” 

Ia memutar kursi hingga berhadapan dengan pintu. Tangannya diletakkan di ujung laci. Mayor itu tampak di pintu. Dia telah mencukur sisi kiri wajahnya, tapi di sisi lain, tampak bengkak dan kesakitan, ada jenggot yang sudah lima hari tak dipotong. Tukang gigi itu melihat malam-malam yang penuh putus asa dari sorot matanya yang tumpul. Ia menutup laci dengan ujung jari dan berkata dengan dingin. 

“Duduk” 
“Selamat pagi,” Mayor itu berkata 
“Pagi,” ucap tukang gigi. 

Sambil menunggu perkakas direbus, Mayor menyandarkan kepala pada dudukan kursi pasien. Ia merasa sedikit lebih baik. Nafasnya dingin. Kantor itu tampak jelek. Sebuah kursi kayu tua, pedal bor, kotak kaca dengan botol-botol keramik. Di arah depan kursi ada jendela dengan kain gorden setinggi bahu. Ketika ia merasa tukang gigi itu mendekat, sang Mayor menekan tumit dan membuka mulutnya. 

Aurelio Escovar menghadapkan wajahnya ke arah cahaya lampu. Setelah memeriksa gigi yang terinfeksi, dengan hati-hati ia menutup rahang Mayor dengan jemarinya. 

“Tak bisa dibius,” ia berkata. 
“Kenapa?” 
“Karena ada bisul bernanah.” 

Mayor itu menatap matanya. “Baik,” ia berkata, dan mencoba tersenyum. Tukang gigi itu tak membalas senyumnya. Ia membawa baskom berisi perkakas yang telah steril ke atas meja dan mengambilnya dengan penjepit yang dingin, masih tanpa terburu-buru. Kemudian ia mendorong tempolong dengan ujung sepatu, dan mencuci tangannya di wastafel. Ia melakukan semua ini tanpa melihat ke wajah Mayor. Tapi Mayor tak memindahkan mata menatapnya. 

Kiranya sebuah gigi geraham bawah. Tukang gigi itu melebarkan kaki dan mencengkam gigi itu dengan gunting tang yang panas. Mayor mencengkeram pegangan kursi, menekan kakinya sekuat tenaga, dan merasa kehampaan yang dingin di ginjalnya, tapi tak mengeluarkan suara. Tukang gigi itu hanya menggerakkan pergelangan tangan. Tanpa rasa dendam, melainkan dengan kelembutan yang pahit, ia berkata: 

“Sekarang kau akan membayar harga untuk dua puluh orang kami yang mati.” 

Mayor merasakan kegentingan pada tulang rahangnya. Airmatanya menetes. Tapi dia tidak bernafas hingga ia merasa gigi benar-benar telah tercabut. Kemudian ia melihatnya melalui genangan air matanya. Rasanya aneh saat ia tahu bahwa dia gagal memahami siksaan lima malam sebelumnya. 

Ia membungkuk ke arah tempolong, berkeringat, terengah-engah, ia membuka baju dan meraih sapu tangan di saku celananya. Dokter gigi itu memberinya sehelai kain bersih. 

“Hapus air matamu,” ia berkata. 

Mayor melakukannya. Ia menggigil. Sementara Tukang gigi mencuci tangannya, ia melihat langit-langit yang seakan-akan runtuh, dan sarang laba-laba berdebu, telurnya, dan serangga-serangga yang mati. Tukang gigi itu berbalik, mengeringkan tangannya. “Istirahatlah,” katanya. “Dan berkumur-kumur dengan air garam.” Mayor berdiri, mengucapkan selamat tinggal dengan hormat khas militer. Ia berjalan menuju pintu, merenggangkan kakinya, tanpa menutup habis jubahnya. 

“Kirimkan tagihannya” ia berkata. 
“Untukmu atau untuk kota ini?” 

Mayor itu tidak memandangnya. Dia menutup pintu dan berkata di balik sekat: 

“Itu sama jahanamnya!” (*)

Baca Juga

Bagikan artikel ini

Tambahkan Komentar Anda
Disqus comments