Histori Formalisme Sastra - Linkkoe Jurnal

Tools

Rabu, 16 Februari 2022

Histori Formalisme Sastra

Histori Formalisme Sastra



Histori Formalisme Sastra

Formalisme lahir di Rusia sekitar awal abad kedua puluh. Formalisme muncul sebagai suatu ketidakpuasan terhadap aliran positivisme yang memperhatikan data biografis dalam studi ilmiah. Formalisme menolak pandangan lama bahwa ilmu dan kritik sastra sepenuhnya mengarah pada bentuk karya itu sendiri, bukan berhubungan dengan psikologis, ideologis, biografis, ataupun sosiologis. Selain itu, hadirnya aliran formalisme ini juga menetang pemikiran pragmatism yang berpedoman pada bentuk dan isi yang berkaitan dengan kehidupan sosial dan pandangan hidup. Isi dan bentuk itu dapat didekati dari fungsi estetika yang membentuk karya sastra (Endraswara, 2013: 47).

Dalam runtutan sejarah, awal mula aliran ini akibat munculnya gerakan Avant Garde antara 1919—1915 di Italia dan Rusia yang lebih popular dengan gerakan Futurisme (Masa Depan). Gerakan ini dianggap sebagai pelopor tumbuhnya teori strukturalisme. Oleh karena itu, dalam perkembangannya, formalisme tidak lepas dari Gerakan Futurisme dan Strukturalisme. Pergerakan aliran ini dilandasi pergeseran paradigma ilmu humaniora dari diakronis ke sinkronis. Hingga pada gilirannya, aliran formalisme ini menjadi titik awal munculnya ilmu sastra modern (Holub, 2004:325; Syuropati & Agustina, 2012:11).

Aliran formalisme Rusia dipelopori oleh Skhlovsky, Roman Jacobson, Sjklovski, Eichenbum. Kritik yang dilancarkan oleh kaum formalisme yang begitu tajam, termasuk pihak pragmatisme, membuat pemerintah Rusia yang berpaham politik komunis melarang aliran tersebut. Jakobson beserta tokoh lainnya memutuskan untuk keluar dari Rusia dengan dukungan kelompok Praha untuk melanjutkan pemikirannya di Cekoslovakia (Jabrohim, 2001: 66—67). Beberapa tahun berselang, karya-karya kaum formalism dapat tersebar ke dunia barat yang sebelumnya diolah dan dibantu oleh kaum structuralism Cekoslovakia (Luxemburg, 1986: 32—33).

Kaum formalis menekankan bahwa kesusastraan memiliki bahasa yang khas. Sifat kesusastraan muncul akibat penyusunan bahan yang awalnya bersifat netral yang disusun oleh pengarang, diubah atau disulap menjadi teks dengan pembiasan yang menghilangkan otomatisasi untuk dipahami pembaca. Proses ini membuat pembaca tidak secara langsung memahami teks tanpa melakukan penafsiran. Proses pengubahan atau penyulapan (making range) disebut dengan defamiliarisasi (Jefferson, 1987; Taum, 1997; Endraswara, 2013). Istilah ini diperkenalkan oleh Shklovsky yang menyatakan bahwa sastra memiliki kemampuan untuk menunjukkan realitas dengan cara baru yang membuat penangkapan pembaca mengalami otomatisasi. Dalam bahasa Selden (1996), karya sastra yang hanya imajinasi saja, mampu menciptakan khayalan menyerupai kehidupan nyata.

Dalam teori teks naratif, kaum formalis Rusia menempatkan alur, cerita, dan motif sebagai unsur yang berbeda. Menurut mereka, dalam analisis teks naratif terdapat motif yang menjadi satuan paling kecil pada kejadian yang diceritakan; cerita atau fabula menjadi perpaduan motif pada susunan cerita atau peristiwa; serta alur atau sjuzet menjadi rangkaian kejadian motif dalam tataran penceritaan secara artistic (Luxemberg, 1986;). Alur tidak hanya susunan peristiwa, tetapi juga alat yang digunakan pengarang untuk mengatur cerita. Dengan demikian, alur inilah yang dapat dinilai dalam substansi karya sastra (Syuropati & Agustina, 2012: 12—13).
Baca Juga

Bagikan artikel ini

Tambahkan Komentar Anda
Disqus comments