Asal Mula Sosiologi Sastra - Linkkoe Jurnal

Minggu, 10 April 2022

Asal Mula Sosiologi Sastra

Teori Satra:  Asal Mula Sosiologi Sastra





Teori Satra: 
Asal Mula Sosiologi Sastra


Sosiologi sastra sebagai perspektif dalam kesusastraan memiliki sejarah yang cukup panjang. Kemunculan sosiologi sastra bisa dikatakan dari dua zaman yang berbeda, tetapi memiliki benang merah dan keterkaitan yang sama. Kelahiran sosiologi sastra ini sudah ada sejah diskusi Plato dengan Aristoteles (abad kelima hingga keempat sebelum masehi) pada zaman Yunani Klasik yang melahirkan banyak teori-teori. Dalam kilasan historis sosiologi sastra, munculnya perspektif ini tidak terlepas atas kerisauan studi sastra struktural yang kurang menarik karena hanya terpaku pada objek karya. Aliran ekspresif turut memberikan sumbangsih pada pemunculan sosiologi sastra. Gairah seni merambah pada teori sosial memberikan dampak pada bidang sastra (Endraswara, 2011).

Sastra dalam pembahasan zaman Plato dan Aristoteles berfokus pada bentuk puisi. Plato menganggap bahwa karya seni sebagai jiplakan dari dunia ide. Pandangan ini membuat karya yang bersifat keindahan (seni/sastra) hanya berada di bawah kenyataan sehingga dianggap oleh Plato tidak memiliki kedudukan. Karya seni dianggap ‗hina‘ dari ciptaan pemahat kayu yang menghasilkan ciptaan mendekati kebenaran. Karya sastra/seni dianggap menjauhkan manusia dari realitas sehingga seniman dianggap sebagai pembohong dan harus dijauhkan dari kehidupan masyarakat. Seniman yang seperti itu dianggap tidak memiliki rasionalitas sebagai manusia.

Pandangan Plato mengenai mimesis (tiruan/imitasi) mendapat penolakan oleh Aristoteles (murid Plato). Ia berpendapat bahwa karya seni/sastra malah mengangkat kejiwaan pencipta karena bebas dari keinginan semata. Seni membutuhkan penafsiran dalam memahami suatu kenyataan. Karena itu, seniman tidak hanya meniru kenyataan begitu saja, tetapi seniman akan mengkreasikan dunianya sendiri. Seiring perkembangan zaman, pandangan Aristoteles mengenai mimesis mulai diterima sebagai pondasi estetika dan seni. Karya seni akan meniru alam dan mencerminkan keindahan alam ciptaan Tuhan, sedangkan manusia hanya menciptakan kembali.

Dalam melukiskan kenyataan melalui tiruan, dapat melalui proses refraksi (sebagai jalan). Pandangan ini menurut Junus (1984:57) mendapat tentangan seutuhnya karena menekankan pada penafsiran saja. Sastra/seni memang membutuhkan penafsiran. Konstruksi mitos dalam karya keindahan (terutama sastra.seni) tidak mungkin dapat direndahkan. Kepercayaan pada sastra menjadi wujud kenyataan sosial yang sukar digugat. Pencipta karya keindahan tidak hanya menyajikan sesuatu sesuai realita, namun memoles terlebih dahulu sesuai kualitas dan kreativitas. Teeuw (1983: 18-26) menyampaikan beberapa hal yang dapat digunakan, yaitu: (a) afirmasi, (b) restorasi (ungkapan untuk menghidupkan kembali nilai lama), c) negasi (mengkontraskan norma yang sedang berlaku), dan (d) inovasi (memperbaharui nilai).

Pandangan bahwa pengarang sebagai pencipta dengan kreasi yang otonom mulai muncul dan begitu kuat tampak pada abad ke-18. Pandangan ini mengalami puncaknya pada abad ke-19 dengan mengutamakan individualitas penulis. Kegiatan kreatif ini sudah tidak lagi dianggap sebagai cerminan, peniruan, penjiplakan semata, tetapi telah menjadi karya yang memberikan nilai. Hal ini menimbulkan perspektif bahwa karya menjadi aspek otonom (strukturalis) dan karya seni sebagai dokumen sosial (termasuk sosiologi sastra).

Sosiologi sastra beserta perspektif teori sastra yang lainnya (strukturalisme genetik, semiotika, resepsi, dan interteks) mulai bermunculan setelah aliran strukturalisme (klasik) setelah mengalami stagnasi. Dalam perkembangan sosiologi sastra modern, Hippolyte Taine (Damono, 1978:19) adalah tokoh yang dianggap sebagai peletak dasar aliran ini melalui konsep genetik kritik sastra dalam karya berjudul Histoire de la literature anglaise (1865). Buku tersebut menjadi kajian sosiologis terkait sastra Inggris yang membuatnya sebagai orang terpandang di dunia. Taine menentang kritikus yang menganggap moral sastra lebih penting dan bernilai daripada sekadar deskriptif saja. Taine menganggap bahwa sastra tidak hanya permainan imajinasil tetapi rekaman tata cara suatu zaman dengan perwujudan berbagai pikiran. Taine menambahkan bahwa yang paling penting dalam geliat sosiologi sastra berkaitan tentang pandangan pembaca. Sastra senantiasa bersifat lentur dan menyesuaikan dengan selera masyarakat pembacanya.

Aliran sosiologi sastra telah berkembang luas di negara Prancis, Jerman, Yunani. Namun, sosiologi sastra dapat dikatakan terlambat di Indonesia. Sosiologi sastra baru muncul pasca kurang keberterimaan setelah mengkaji aliran struktural. Sosiologi sastra sebagai menghapus dahaga atas kering dan jenuhnya atas kajian strukturalisme sastra. Sosiologi sastra bukan sebagai kenyataan objektif, tetapi realitas kehidupan sosial. Dalam menerjemahkan suatu realita tentu akan membutuhkan media bahasa. Begitu pula sastra bersifat interpretatif & subjektif wujud realitas yang dihasilkan (Teeuw, 1984: 224249).

Objek sosiologi dan sastra yaitu manusa pada tataran masyarakat. Masyarakat merupakan kelompok manusia yang tinggal bersama dalam daerah tertentu dan menyepakati norma-norma, adat istiadat, dan berbagai kebudayaan. Perbedaannya, bila sosiolog dapat menjelaskan kegiatan manusia dan masyarakat dengan analisis objektif dan ilmiah, penulis atau sastrawan dapat menyampaikannya dramatis, puitis, dan evaluatif. Tentu, teks sastra menggunakan intelektual dalam menyikapi masyarakat, namun tetap mengedepankan estetika. Bila dua orang sosiolog atau lebih sedang mengkaji masalah masyarakat yang sama, dimungkinkan akan memiliki konsekuensi kemiripan yang tinggi. Berbeda dengan dua sastrawan atau lebih yang menarasikan tentang konflik masyarakat yang sama, dimungkinkan keduanya akan menghasilkan karya yang sudah jelas berbeda. Ilmu sosiologi menekankan unsur objektif, sedangkan karya sastra menekankana kreativitas dan subjektivitas berdasarkan kemampuan pengarang.

Sosiologi sastra di Indonesia memiliki keterkaitan pada sastra untuk masyarakat, sastra yang memiliki tujuan masyarakat, sastra yang terlibat dalam masyarakat, sastra sesuai dengan konteks masyarakat, dan berbagai proposisi yang melatarbelakangi karya sastra dalam struktur sosial. Sebagai disiplin ilmu, sosiologi sastra dapat mengembangkan tujuan penulis dalam kerangka keterkaitan dengan lingkungan untuk memperjuangkan kesamaan pandangan, serta aspek tentang estetika. (*)
Baca Juga

Bagikan artikel ini

Tambahkan Komentar Anda
Disqus comments