Linkkoe Jurnal: Cerpen Haruki Murakami
Tampilkan postingan dengan label Cerpen Haruki Murakami. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen Haruki Murakami. Tampilkan semua postingan

Senin, 20 Juli 2020

Monster Hijau Kecil

Monster Hijau Kecil
Cerpen Haruki Murakami



Suamiku pergi bekerja seperti biasa, dan aku tidak bisa memikirkan apapun yang harus dilakukan. Aku duduk sendirian di kursi dekat jendela, menatap ke kebun melalui celah di antara tirai. Aku punya alasan kenapa melihat ke kebun: Tidak ada lagi yang bisa aku lakukan. Dan kupikir cepat atau lambat, jika aku duduk disana, aku mungkin dapat memikirkan sesuatu. Dari sekian banyak hal yang ada di kebun, yang paling sering aku lihat adalah pohon oak. Itu pohon kesukaanku. Aku menanamnya ketika aku masih kecil, aku terus-menerus melihatnya, berbicara dengannya sepanjang waktu.

Hari itu juga, aku mungkin sedang berbicara dengan pohon oak – aku tidak ingat persis. Dan aku tidak tahu berapa lama aku menatap sana. Menjelang sore aku masih menatap kebun. Tak berapa lama gelap menghampiriku: pasti aku sudah lama menatap sana. Kemudian, aku mendengar suara. Suara yang datang dari tempat yang jauh–semacam suara menggaruk-garuk. Awalnya aku pikir itu berasal dari tempat yang jauh di dalam diriku, aku mendengar sesuatu–suatu peringatan dari kepompong gelap yang berputar-putar dalam diriku. Aku menahan napas dan mendengarkannya. Iya, tidak salah lagi. Sedikit demi sedikit, suara itu bergerak mendekatiku. Apa itu? Aku tidak tahu. Tapi membuat tubuhku merinding.

Tanah di dekat pangkal pohon mulai bergerak ke atas seolah ada cairan tebal yang mendorongnya ke permukaan. Aku kembali menarik napas. Lalu tanah itu mulai terbuka dan runtuh seketika yang kemudian terlihat sebuah cakar tajam. Mataku tertuju pada mereka, dan tanganku gemetar. Sesuatu akan terjadi, kataku dalam hati. Dimulai dari sekarang. Cakar itu menggores-gores ke tanah, dan segera lubang itu terbuka lebih lebar, dari sana muncullah seekor monster kecil yang merayap.

Tubuhnya ditutupi sisik hijau yang bersinar. Begitu keluar dari lubang itu, ia bergertar sampai ujung tanah yang menempel padanya terlepas. Ia memiliki hidung yang panjang dan lucu, berwarna hijau dan semakin menghijau. Ujung hidungnya sangat sempit seperti cambuk, tapi mata makhluk itu persis seperti manusia. Melihat mereka aku merasa gemetar. Mereka menunjukan perasaan, sama seperti matamu atau mataku.

Tanpa ragu-ragu, bergerak perlahan, monster itu mendekati pintu, dimana ia mulai mengetuk-ngetuk dengan ujung ramping hidungnya. Suara kering dan menggetarkan terdengar di dalam rumah. Aku beranjak ke ruang belakang, berharap binatang itu tidak sadar bahwa aku ada di sana. Aku tidak bisa menjerit. Rumah kami satu-satunya yang berada di daerah itu, dan suamiku baru pulang ketika larut malam. Aku juga tidak bisa keluar melalui pintu belakang, karena rumahku hanya memiliki satu pintu, satu-satunya tempat dimana monster hijau mengerikan itu sekarang mengetuk. Aku bernapas sepelan mungkin, berpura-pura tidak sedang berada disini, berharap monster itu akan menyerah dan pergi. Tapi dia tak menyerah. Hidungnya tidak lagi mengetuk, dia mulai meraba kunci. Sepertinya berhasil membuka kunci, dan kemudian pintu itu mulai terbuka. Di sekitar pintu, hidungnya merayapi. Untuk waktu yang lama seperti ular dengan kepala terangkat, memeriksa kondisi rumah. Andai saja aku tahu ini akan terjadi, aku akan tetap berada di dekat pintu dan memotong hidungnya, aku berkata pada dirikui: Dapur memiliki banyak pisau tajam. Tidak lama setelah ide itu terpikirkan olehku, makhluk itu bergerak melewati tepi pintu, tersenyum, seolah-olah telah membaca pikiranku. Kemudian ia berbicara, bukan gagap, tapi mengulangi kata-kata tertentu seolah-olah masih berusaha untuk mempelajarinya. Tidak ada gunanya bagimu, kata monster hijau kecil itu. Hidungku seperti ekor kadal. Selalu tumbuh kembali–lebih kuat dan lebih lama, lebih kuat lagi dan lebih lama lagi. Kamu hanya akan mendapat kebalikan dari apa yang kamu bayangkan. Lalu ia memutar matanya untuk waktu yang lama, seperti dua baju aneh.

Oh, tidak, aku berpikir dalam hati. Bisakah itu membaca pikiran orang? Aku benci ada yang tahu apa yang kupikirkan–terutama yang mengetahui pikiranku itu makhluk kecil yang mengerikan itu. Aku berkeringat dingin dari kepala sampai kaki. Apa yang akan terjadi padaku? Aku akan dimakan? Aku dibawa ke dalam tanah? Oh, yeah, itu begitu buruk sehingga aku tidak tahan lagi membayangkannya. Tangannya kecil berwarna merah jambu dan kakinya menonjol keluar dari badannya yang berwarna hijau dan cakar panjang keluar dari ujung tangan dan kakinya. Semakin aku melihat mereka, semakin membuat makhluk itu mengerikan bagiku.

Tentu saja tidak, katanya kepadaku, sambil memiringkan kepalanya. Mereka saling berpegangan satu sama lain bergerak–seperti cangkir kopi yang menumpuk diatas meja ketika kamu mendorongnya. Betapa mengerikannya, Nyonya: Tentu saja saya tidak akan memakanmu. Tidak dan sama sekali tidak mungkin. Maksud saya tidak ada salahnya, tidak ada salahnya, tidak ada salahnya. Jadi aku benar:ia tahu persis apa yang aku pikirkan.

Nyonya, nyonya, nyonya, tidakkah nyonya lihat? Tidak nyonya lihat? Saya datang kesini untuk melamarmu. Dari dalam dalam dari dalam dalam yang sangat jauh. Saya harus merangkak naik ke atas sini. Mengerikan, itu mengerikan, saya harus menggali dan menggali dan menggali. Lihatlah bagaimana saya menghancurkan cakar saya! saya tidak akan melakukan ini jika saya akan memakan nyonya. Saya cinta nyonya. Saya sangat mencintai nyonya sehingga saya tidak tahan lagi berada di dalam tanah. Saya harus merangkak naik ke atas, saya harus melakukannya. Mereka semua mencoba menghentikan saya, tapi saya tidak tahan lagi. Dan keberanian yang saya butuhkan. Bagaimana jika nyonya pikir itu kasar dan sombong, kasar dan lancang, untuk makhluk seperti saya mengungkap itu kepada nyonya.

Tapi itu kasar dan sombong, kataku dalam pikiranku. Betapa makhluk kecil yang kasar untuk datang mencari cintaku!

Tatapan kesedihan muncul di wajah monster itu begitu aku memikirkan hal ini, dan sisiknya merubah menjadi ungu, seolah mengungkapkan apa yang dirasakannya. Seluruh tubuhnya tampak sedikit mengecil. Aku melipat tangannku untuk melihat perubahan ini terjadi. Mungkin sesuatu seperti ini akan terjadi kapan pun ketiak perasaanya berubah. Dan mungkin penampilan luarnya yang tampak mengerikan itu menutupi hatinya yang lembut dan rentan seperti marshmallow. Jika demikian, aku tahu bisa seperti ini. Aku akan mencobanya dari tadi. Kamu adalah monster kecil yang jelek, kamu tahu. Aku berteriak sangat keras dari dari pikiran saya–sangat keras sehingga membuat hatiku bergema. Kamu adalah monster kecil yang jelek! Tubuhnya semakin berwarna ungu, dan mata makhluk itu mulai membesar seolah mengisap semua kebencian yang aku kirimkan kepada mereka. Mereka menonjol dari wajah makhluk itu seperti buah ara hijau matang, dan air mata seperti jus merah mengalir dari mereka, berlumuran di lantai.

Aku tidak takut lagi dengan monster itu. Aku melukiskan gambar dalam pikiranku tentang semua hal kejam yang ingin aku lakukan terhadapnya. Aku mengikatnya ke kursi dengan lilitan kabel tebal, dan kursi berat dengan kabel tebal, dan dengan tang aku mulai merobek sisiknya sampai akar, satu per satu. Aku mengasah ujung pisau tajam itu, dan dengan itu aku memotong setiap lekuk dalam daging merah yang lembut dari betisnya. Berulang kali, aku menusuk besi solder panas ke dalam matanya yang melotot. Dengan setiap siksaan baru yang aku bayangkan untuk itu, monster itu akan bergidik dan menggeliat dan meraung kesakitan seolah-olah hal-hal itu benar-benar terjadi padanya. Ia menangis dengan air mata berwarna dan mengeluarkan cairan tebal ke lantai, mengeluarkan uap abu-abu dari telinganya yang memiliki aroma mawar. Matanya seperti menatap siluman yang mengerikan. Kumohon, nyonya, oh, kumohon padamu, jangan pikirkan pikiran buruk seperti itu! Ia menangis. Saya tidak memiliki pikiran jahat kepada nyonya. Saya tidak akan menyakiti nyonya. Yang saya rasakan hanya cinta untuk nyonya, ya cinta. Tapi aku menolak untuk mendengarkan. Dalam pikirku, aku berkata, jangan konyol! Kamu merangkat keluar dari kebunku. Kamu membuka pintu rumahku tanpa izin. Kamu masuk ke dalam rumahku. Aku tidak pernah bertanya di sini. Aku berhak memikirkan apapun yang kumau. Dan aku terus melakukan hal itu–memikirkan makhluk yang semakin mengerikan. Aku memotong dan menyiksa dagingnya dengan setiap mesin dan alat yang dapat aku pikirkan, tidak memakai cara lain yang mungkin lebih menyiksa makhluk hidup dan membuatnya terasa lebih sakit. Kalau begitu, lihatlah monster kecil. Kamu tidak tahu apa itu wanita. Tidak ada habisnya hal mengerikan yang dapat aku pikirkan untuk kamu. Tapi segera kulit monster itu memudar, dan bahkan hidungnya yang hijau mulai mengerut tidak lebih besar dari pada cacing. Dengan mengulurkan tangan ke lantai monster itu mencoba untuk menggerakan mulutnya dan berbicara padaku, berusaha membuka bibirnya seolah ingin menyampaikan pesan terakhir, untuk menyampaikan beberapa pepatah bijaksana, beberapa pengetahuan penting yang tidak perlu diberikan kepadanya untukku. Sebelum itu terjadi, mulutnya sudah terdiam dan segera menghilang bersama kesunyian. Monster itu sekarang tampak seperti bayangan. Semua yang tersisa, tergantung di udara, matanya yang sedih dan membengkak. Itu tidak akan berhasil, pikirku. Kamu bisa melihat semua yang kamu inginkan, tapi kamu tidak bisa mengatakan apapun. Kamu tidak bisa melakukan apapun. Hidupmu sudah berakhir, selesai, selesai sampai di sini. Segera mata larut dalam kekosongan, dan ruangan itu dipenuhi kegelapan malam.




Diterjemahan dari cerpen berjudul The Little Green Monster karya Haruki Murakami dan disertakan dalam koleksi cerita pendek berjudul The Elephant Vanishes (Random House 1993).

Senin, 06 Juli 2020

Monyet Laba-laba Malam Itu

Monyet Laba-laba Malam Itu 
Oleh: Haruki Murakami 







Aku sedang duduk di meja tulisku. Jam 2.00 pagi dan menulis. Aku mendorong jendela, membukanya dan seekor monyet laba-laba masuk. 

“Oh, Hei, Siapa kamu?” Aku bertanya. 

“Oh, Hei, Siapa kamu?” Kata monyet laba-laba. 

“Jangan meniruku,” kataku. 

“Jangan meniruku,” kata monyet. 

“Jangan meniruku,” aku menirunya. 

“Jangan meniruku,” dia meniruku dalam cetak miring. 

Man, ini benar-benar menggangguku, sungguh. Jika aku tejebak dengan monyet peniru-gila malam ini, entah kapan ini akan berakhir. Aku harus membawanya ke suatu tempat. Aku punya pekerjaan yang harus selesai pagi ini dan sepanjang malam aku tidak bisa melakukannya dengan baik. 

“Heppoku rakurashi manga tatemaya kurini komasu tokini wakoru, pacopaco,” kataku cepat. 

“Heppoku rakurashi manga tatemaya kurini komasu tokini wakoru, pacopaco,” kata monyet laba-laba. 

Sejak aku mengatakan sesuatu yang benar-benar asal, aku tidak bisa mengetahui sebenarnya jika monyet itu dapat meniru dengan benar atau tidak. Baik, ini tidak ada gunanya. 

“Tinggalkan aku sendiri,” kataku. 

“Tinggalkan aku sendiri,” kata monyet. 

“Kau salah, aku tidak mengatakannya dalam cetak miring tadi.” 

“Kau salah, aku tidak mengatakannya dalam cetak miring tadi.” 

Aku menghela napas. Bukan masalah apa yang aku katakan, monyet laba-laba tidak akan mengerti. Aku memutuskan untuk tidak mengatakan apapun dan meneruskan pekerjaanku. Tetap saja, ketika aku menekan tombol pengolahan kata monyet dalam diam menekan tombol copy. Klik. Tinggalkan aku sendiri. 

Tinggalkan aku sendiri.
(*)

Copyright

Review

Food

pendidikan