Linkkoe Jurnal: Cerpen
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Rabu, 20 Januari 2021

Post Eksperimentalisme dari Bartleby Snopes

Post Eksperimentalisme dari Bartleby Snopes

Diulas oleh Ian Chung 



Post Eksperimentalisme dari Bartleby Snopes


Post-eksperimentalisme adalah proyek baru dari tim Bartleby Snopes, dan menyebut dirinya sebagai edisi pertama fiksi Pasca-Eksperimental. Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan pasca-eksperimentalisme, dan baik masalah Pasca-Eksperimentalisme maupun situs web menawarkan beberapa definisi. Membaca ini, dua utas terkait muncul. Salah satu hubungannya dengan keyakinan bahwa pasca-eksperimentalisme memadukan - atau bahkan melampaui - genre mendongeng. Yang lainnya adalah gagasan itu, sebagaimana Bartleby Snopes, Associate Editor Rick Taliaferro mengatakan, 'Pasca eksperimen, apa yang penulis berutang kepada pembaca adalah kepuasan sastra'. Jadi pendulum post-eksperimentalisme bergeser dari eksperimen formal dan struktural untuk kepentingannya sendiri dan kembali ke cerita, untuk menetap di suatu tempat di tengah-tengah mereka. Menara Nathaniel, Redaktur Pelaksana Bartleby Snopes , menjelaskan hal ini sebagai:


“Sesuatu yang berbeda terjadi dengan bentuk yang mendorongnya melewati tulisan tradisional, tapi itu di bawah cerita. Bentuk menjadi latar belakang, tetapi masih berfungsi secara besar-besaran yang memengaruhi cerita. Bentuknya entah bagaimana dimanipulasi, tetapi tidak dengan mengorbankan cerita. Dan ceritanya tidak mengambil apapun dari bentuknya. Ini adalah harmoni antara cerita dan bentuk. "

Selain definisi, cerita dalam masalah ini tidak mengecewakan. Ada terlalu banyak untuk dibahas secara mendetail di sini, jadi cerita yang disebutkan di sini adalah yang paling menonjol bagi saya. Cerita-cerita tersebut telah dikelompokkan secara tematis, dan masalah ini terbuka kuat dengan 'Cukup Manis' Christopher James, di bawah judul 'Persahabatan'. Kisah James ditulis dalam paragraf berukuran tweet, dimaksudkan sebagai cerminan dari apa yang dia sebut 'sesuatu yang kurang dalam rentang perhatian banyak orang saat ini'. Tentu saja, ada ironi yang luar biasa di mana tindakan membaca untuk kesenangan harus menuntut kita untuk memperlambat dan memperhatikan, bahkan ketika kalimat James bertindak untuk memampatkan beberapa dekade dalam kehidupan sekelompok teman menjadi beberapa halaman, membuat mereka tergesa-gesa. menuju nasib mereka dan kita menuju resolusi suram cerita.

Cerita lain dalam masalah ini berusaha untuk mendekonstruksi teknik bagaimana kita membangun narasi. 'The Last Metaphor' karya Jacqueline Doyle membuat kita mengetahui rahasia proses berpikir seorang penulis '[d] berjalan dengan kekuatan kata-kata', yang menyalin kutipan dari Anatole Broyard's Intoxicated by My Illness: 'Sama seperti seorang novelis mengubah kecemasannya menjadi sebuah cerita untuk dapat mengendalikannya hingga taraf tertentu, demikian pula orang yang sakit dapat membuat sebuah cerita, narasi, dari penyakitnya sebagai cara untuk mencoba mendetoksifikasinya.' Kutipan ini dimaksudkan untuk dikirim ke seorang teman penulis, yang kemudian meninggal karena kanker, dengan deskripsi yang indah tentang dirinya yang 'melingkar seperti koma di sekitar kesunyiannya' di bagian akhir. Fiksi kilat Doyle akhirnya diakhiri dengan daftar bernomor kosong, yang seharusnya menjadi katalog hal-hal untuk dibandingkan dengan kematian, yang tampak seperti pernyataan masam tentang kematian yang tidak dapat dibandingkan atau kegagalan metafora.

Di sisi lain, 'American Outlaws' Leland Neville menawarkan komentar topikal tentang absurditas tentang bagaimana fenomena kontemporer televisi realitas membangun cerita untuk memanjakan pemirsanya yang rakus:

“Setelah muncul sebagai pemenang, Emma akan dibanjiri oleh pertanyaan-pertanyaan di media junket. Apa definisi cinta menurutmu? “Bagaimana seharusnya sistem peradilan pidana diubah?” "Apakah Anda percaya pada pernikahan gay?" “Apakah pemerintah berbuat cukup untuk menghentikan terorisme?”

Emma dengan menawan akan mengabaikan penyergapan verbal. Publiknya tidak akan kecewa dengan sikap mengelaknya karena sudah tahu semua tentang Emma.
"Selama satu jam seminggu dia adalah kamu. "

Kisah paling mencolok dalam Pasca Eksperimentalisme, bagaimanapun, adalah 'Binatu di bawah penutup kegelapan' Andrew Battershill, ditempatkan di bawah tema 'Inovasi'. Ceritanya dibagi menjadi dua kolom, berlanjut ke halaman secara paralel, yang memungkinkan simultanitas perspektif saat melacak bagaimana kehidupan tiga orang berpotongan di binatu. Kisah Battershill dibaca seperti uraian naskah film, lengkap dengan deskripsi close-up karakter dan jepretan interior / eksterior. Ini juga salah satu cerita terpanjang dalam masalah ini, yang memberikan waktu untuk membangun akhir yang memuaskan secara emosional, karena pasangan Nicole dan Sergei mengalami 'keinginan untuk mengambil tangan Arthur di kedua sisi seperti ayah dan ibu', tepat ketika Arthur merasakan 'keinginan untuk memegang tangannya, seolah-olah oleh orang tua'. Halaman terakhir cerita hanya memiliki satu kolom, karena busur dari ketiga karakter itu menyatu menjadi 'proses fisik berpegangan tangan; tiga senyum; proses fisik melihat; satu set rak logam segitiga, ujungnya menghadap ke arah satu sama lain seperti dinosaurus sedetik lagi dari berciuman ', dalam momen anggun yang memperkuat komentar Taliaferro tentang pentingnya' kepuasan sastra '.

Senin, 15 Juni 2020

SHAMEEL

SHAMEEL 
Oleh: Teto* 






Cerpen Shameel oleh Teto
Picture: Pixabay



Entah kenapa, Shameel punya keinginan kuat untuk melakukan segala sesuatu dalam kehidupannya dalam bentuk dan cara yang tidak atau belum diketahui orang banyak. Memakai pakaian yang belum dipakai orang lain, mendengar lagu yang belum pernah didengar orang lain, membaca buku yang belum pernah diketahui orang lain, menulis apa yang belum pernah ditulis oleh orang lain, dan seterusnya, dan seterusnya. Shameel ingin sekali melakukan segala sesuatunya sebagai orang pertama. Mendambakan keaslian hubungan antara segala kegiatan itu dengan dirinya sendiri. Dia tidak ingin melakukan sesuatu karena orang lain sudah melakukannya lebih dulu. Tidak ingin mengerjakan sesuatu karena termotivasi oleh orang lain yang mengerjakan hal yang sama. Pokoknya, ia ingin jadi yang pertama, dan mendambakan keaslian atas segala hal yang ia kerjakan. 

Keinginan ini sudah dirasakan oleh Shameel sejak masih duduk di taman kanak-kanak. Dia selalu berharap menjadi anak yang pertama kali mengenal gurunya dengan baik. Anak yang pertama kali memiliki mainan seperti yang ia punya, dan seterusnya, dan seterusnya. Shameel pun hanya berdiam diri kala menyaksikan kedekatan anak-anak yang lain dengan Ibu gurunya, dan pulang dengan mutung setelah melihat hampir semua kawan-kawannya punya mainan yang sama seperti kepunyaannya. Begitu seterusnya sampai Shameel beranjak remaja. 

Kendati demikian, Shameel tidak pernah larut terlalu lama dalam kekecewaannya. Dia selalu saja menemukan hal-hal baru untuk dilakukan. Hal-hal yang ia pikir dan harap adalah hal-hal paling baru yang belum banyak dikerjakan oleh orang lain. Seperti kemarin, ketika Shameel tanpa sengaja mendengarkan lagu One Toke Over The Line. Begitu suka ia pada lagu itu, dan akhirnya mencari tahu lebih lanjut ihwal Brewer and Shipley, duo yang melantunkan lagu tersebut. Untuk beberapa hari setelahnya, lagu-lagu Brewer and Shipley menggema tiada henti di kamar kost Shameel. Sampai tiba hari di mana Shameel harus kembali menelan kekecewaan. 

Dalam perjalanan pulang dari kampus, di angkot yang ditumpanginya, lagu-lagu Brewer and Shipley diputar kencang-kencang. Ada pula beberapa lagu yang dinyanyikan ulang oleh penyanyi lain. Shameel tak percaya. Keintiman dengan lagu-lagu yang didengarnya beberapa hari ini, luluh lantak begitu saja di dalam angkot. Sampai di kost, Shameel berhenti mendengarkan Brewer and Shipley. Lagu-lagu yang sempat diunduh dihapus, dan riwayat aplikasi pemutar musiknya, seperti Joox dan Spotify, dibersihkan dari noda Brewer and Shipley. Hal serupa terjadi saat Shameel menemukan The Carpenters, ABBA, New Riders of the Purple Sage dan Grateful Dead. Begitu seterusnya. 

*** 

Shameel bertemu dengan Fathiya di tahun-tahun awal perkuliahan di Fakultas Ilmu Budaya. Shameel jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, sedangkan Fathiya di jurusan Bahasa dan Sastra Arab. Mereka satu angkatan, tapi Shameel lebih tua dua tahun, karena ia baru kuliah pada tahun ketiga pasca lulus SMA. 

Mereka berdua saling mencintai dan sudah berkomitmen untuk melanjutkan hubungan ke jenjang perkawinan suatu saat nanti. Saat-saat berduaan, Shameel yang sedang berada di puncak gairah, beberapa kali mengajak Fathiya bersetubuh. Fathiya menolak dengan alasan takut dosa. Belum sepantasnya mereka melakukan hal semacam itu. Begitu ajaran agama yang terpatri di kepala. Namun di titik tertentu Fathiya juga memahami gairah yang memuncak itu, dan menyarankan agar Shameel bermasturbasi saja. Sedangkan bersetubuh dan hal-hal yang bisa mengarahkan ke sana, tidak boleh dilakukan sebelum menikah. Shameel mengerti, lalu memohon pada Fathiya untuk membantunya bermasturbasi dengan cara mengocok-ngocok alat kelaminnya. Fathiya menolak keras. Mendengarnya saja dia serasa ingin muntah. Shameel yang di puncak gairah tidak menyerah. Sebagai upaya terakhir, dia meminta agar Fathiya menanggalkan pakaian di depannya, dan ia akan bermasturbasi sendiri. Lagi-lagi, penolakan yang Shameel terima. Fathiya bahkan mengancam akan mengakhiri hubungan mereka kalau Shameel meminta hal-hal seperti itu lagi. Shameel yang tak mau kehilangan Fathiya pun akhirnya hanya bisa bermasturbasi sendiri dengan mengandalkan imajinasi seadanya. 

*** 

Belasan kali Shameel coba menghubungi Fathiya, tetap tak ada jawaban. Sore ini mereka sudah janji akan pergi berkunjung ke Taman Budaya. Ada pagelaran seni di sana sampai beberapa hari ke depan. Shameel tidak sabar lagi dan memutuskan mencari Fathiya di kampusnya. 

*** 

Shameel mematung diam sejuta bahasa menghadap belakang gedung jurusan Etnomusikologi yang memang harus dilalui jika ingin ke gedung Bahasa dan Sastra Arab. Shameel merinding. Dia merasakan rambut-rambut di sekujur tubuhnya berdiri. Tubuhnya yang kerempeng terasa berat, seakan tertancap ke dalam tanah. Di salah satu sudut belakang gedung yang sepi, tampak Fathiya sedang digerayangi seorang pria. Shameel menyaksikan dengan jelas bagaimana tangan si pria beralih dari paha, menuju payudara kekasihnya. Namun yang lebih mengguncang jiwa adalah air muka yang terlihat amat menikmati setiap gerakan tangan si pria. Shameel merasakan tubuhnya kembali ringan. Dengan dua tangan terkepal disertai gemeretak gigi, dia melangkahkan kaki pulang. 

Shameel tak henti-hentinya mengumpat dalam hati. Kemarahan bergejolak dalam dirinya. Darahnya mendidih. Rupanya dia tidak akan pernah jadi yang pertama memiliki dan menikmati Fathiya pujaan hatinya. Maka, seperti yang biasa ia lakukan, Fathiya harus disingkirkan. Tak cukup hanya dengan meninggalkannya begitu saja. Fathiya harus dibuang jauh-jauh. Harus dihabisi. Tinggal bagaimana caranya dan kapan waktu yang tepat. Pemikiran itu sungguh menggelisahkan Shameel yang sedang dalam angkot menuju kost. Lamunannya tentang bagaimana cara menghabisi Fathiya buyar ketika seorang pria jangkung berkumis tipis tiba-tiba melompat masuk ke dalam angkot. Si pria jangkung langsung berbincang akrab dengan supir yang sedang mengemudikan angkot. Nampaknya mereka berkawan baik sejak lama. Di antara derum mesin, pengap, dan bising penumpang, Shameel mendengar si pria jangkung bercerita pada si supir tentang sebuah peristiwa pembunuhan yang terjadi di daerah tempat tinggalnya. 

"Dugaan awal, pembunuhan berencana" si pria jangkung berkata keras-keras mengimbangi kebisingan. "Motifnya dendam akibat perselingkuhan" lanjutnya. 

"Sudah gila memang ini dunia" balas si supir. 

"Manusia yang gila! Bukan dunia!" ujar si pria jangkung tak lagi berbalas. 

*** 

"Pinggir, Bang!" seru Shameel. Kostnya di Jl. J kelewatan beberapa meter akibat angkot melaju terlampau cepat. Setelah membayar ongkos yang sempat ditolak supir karena dikata kurang, dan Shameel akhirnya mengalah dengan menambahi, Shameel pulang dan langsung masuk ke kamar kostnya. Di kasur lapuk, bonyok sampai berbentuk seperti perahu Shameel membaringkan badan. 

Omong kosong keaslian. Aku hidup dalam dunia penuh ketergantungan, kejijikan, kemunafikan, dan pengkhianatan. Gumam Shameel sebelum akhirnya tertidur pulas. 

shed a tear for the fate of the last lonely Eagle….. 

for you know that He never will land….. 

Dari speaker nirkabel yang sudah tersambung dengan ponselnya, mengalun dengan lembut lagu The Last Lonely Eagle milik New Riders of the Purple Sage. 



Laguboti, Juni 2020 


-------------------------------
*Penulis lahir di Toba pada tahun 1998 dengan nama Christian Hutahaean. Menulis sajak, esai, dan cerpen. Karya terbit; Bunga Rampai Buat Gus Dur (Antologi Esai dan Puisi, 2020), Dunia Peralihan (Kumpulan Cerpen, 2020). Bisa disapa melalui surel hutahaeanchristian10@gmail.com 

Rabu, 10 Juni 2020

Perihal Ibu

Oleh: Fahrul Rozi 


*Fahrul Rozi bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY) cerpennya dimuat di berbagai media nasional dan lokal.






Aku melihat Ibu meloncat ke gerbong. Aku melihatnya menangis mencucurkan air mata sepanjang laju kereta… (Kau ingin dengar kelanjutannya? Maka, dengarkanlah.) 

*** 

Jakarta, 2016 

Perempuan dengan tangan kiri menenteng tas dan tangan satunya menggandeng anak laki-laki berjalan buru-buru di atas trotoar. Mereka berdesakan dengan pejalan kaki yang lain, melewati penjual asongan yang berdiri di bawah tiang listrik, lalu mereka mempercepat jalannya sampai lupa berhenti dan membeli minuman segar. Mereka masih berjalan sampai di ujung trotoar, ketika di sana lengang, dan hanya beberapa orang lewat, mereka berhenti dan melambaikan tangan pada angkot. 

Angkot biru berhenti, dan membawa mereka jauh. 

Perempuan muda dengan wajah tirus menggenggam erat tangan anaknya. Ia memangkunya karena angkot telah penuh. Anak laki-laki itu diam saja, melihat wajah-wajah baru di depannya dan mendengar suara aneh. Ia tidak pernah mendengar hal macam itu. 

Anak laki-laki itu berusia lima tahun. Sebenarnya ia ingin bertanya pada ibunya, tetapi ia begitu malu karena dilihat banyak orang. Ia memalingkan wajah dan menghadap wajah ibunya. Teduh, dan damai. Ia tidak mengerti mengapa wajah ibu bisa begitu. Wajah Ibu serupa pohon yang tumbuh di dekat rumah. Menyejukkan dan membawa kedamaian. 

Anak laki-laki itu menggeliat ingin turun. Urat-uratnya terasa keram dan ingin berdiri. Setidaknya begitu. Namun di dalam angkot penumpang tidak dapat bergerak banyak, sebab bila bergerak terlalu banyak mereka akan terjatuh karena guncangan yang diberikan. Atau barang mereka akan menggelinding ke ujung dan jatuh keluar. Anak laki-laki itu hanya ingin keluar dari angkot dan menghirup udara segar. 

“Kita pergi ke mana, Bu?” tanyanya ketika mobil berhenti menurunkan penumpang. 

“Ke satu tempat yang tidak diketahui Ayah,” bisiknya, “bukankah kamu yang ngusulin Ibu untuk kabur dari penjara Ayah?” Anak laki-laki itu segera mengangguk. Ia mengingat kekerasan Ayah. 

“Aku tidak suka Ayah!” jawabnya geram. 

“Kamu tahu, Ibu sudah lama ingin kabur, tapi Ibu sangat takut bila ketahuan,” Anak laki-laki itu mendekap ibunya. Lalu berkata, “sekarang Ibu sama Andy—Ibu tidak perlu takut.” 

Angkot berjalan cepat meninggalkan jalan, gedung, dan masa lalu yang suratm. Lalu angkot masuk ke jalan kecil yang menghubungkan ke rel kereta api. Setelah menyeberanginya angkot berhenti, dan anak laki-laki itu dituntun keluar oleh ibunya. 

“Kita sudah sampai.” bisik perempuan di kuping anaknya, ujung rambutnya terurai mengenai wajah anak laki-lakinya. 

“Di mana ini, Bu?” 

*** 

Jakarta, 2010 

Perempuan itu bernama Mina, memiliki rambut yang halus dan hitam, wajah tirus dan hidung timur. Ia baru saja sampai di kota memenuhi panggilan kerja. Datang ke kota dengan impian merubah nasib keluarganya. Namun impian itu sering kali diolok teman dan kerabatnya. “Impian sebesar itu tidak mungkin merubah hidupmu, bisa makan saja sudah untung,” Tapi Mina akan membuktikannya pada mereka. 

Sesampainya di stasiun ia dijemput seorang lelaki, supir majikannya. Ia mengikuti supir dan masuk ke dalam mobil. Setelah sampai supir menyuruh Mina untuk duduk. Tidak lama menunggu datanglah lelaki muda, yang tidak beda jauh dengan umurnya berdiri di depan Mina. “Benarkah kau yang bernama Mina?” 

“Iya, Tuan,” 

“Kau bisa mulai bekerja besok. Dan satu lagi, tidak usah panggil aku ‘tuan’, sebutan itu hanya cukup untuk mendiang ayahku.” 

“Baik, T-u-n,” 

“Panggil aku Abang saja,” 

Mina mengangguk dan segera diantar ke kamarnya oleh supir. 

Namun mata Abang tidak lepas dari punggung Mina. Ia terpikat oleh kecantikannya. Ia jadi teringat mendiang ibunya yang meninggal sebelum Abang lulus SMU. Supir itu kembali menghadap Abang dan melaporkan tugasnya. “Menurutmu perempuan itu cantik, tidak?” tanya Abang teringat pinggul Mina yang bergerak seperti ombak. 

“Cantik tuan, gadis desa itu berbeda dengan gadis yang lain,” 

“Bagaimana kalau aku menikahinya,” 

“Lagi pula aku sudah seharusnya menikah, bukan?” Sopir itu masih diam, tak berani menjawab. Abang mengulang pertanyaannya. 

“Tentu, Tuan.” Sopir berbohong karena takut dipecat. Abang berlalu dan masuk ke kamarnya. Ia membayangkan pernikahan yang meriah, dan teman-temannya tidak akan percaya bahwa istrinya adalah pembantu, gadis desa. 

Hari berguling, lalu bulan tenggelam bersama tahun. Tidak disangka Abang sudah setahun memendam perasaannya pada Mina. Ia menunggu waktu yang tepat, dan kini sudah waktunya—ketika Mina mengelap meja dan Abang sengaja menjatuhkan gelas, sontak Mina melonjak dan segera berjongkok memungut pecahan gelas, tetapi Abang melarangnya, ia angkat kedua tangan Mina, menatap matanya. 

“Menikahlah denganku,” 

“Kau tidak perlu khawatir, hidupmu akan terangkat dan jadi orang terpandang.” 

Mina tiba-tiba teringat niat awalnya datang ke kota. Ia ingin memperbaiki perekonomian orang tuanya. Maka, ia langsung menerima ajakan Abang. 

*** 

(Cinta memang sederhana untuk diungkapkan, tapi apakah kau tahu apa arti di baliknya? Makanya kau jangan beranjak dulu, cerita ini masih belum selesai. Dan kau boleh menebak bagaimana nasib Mina, ibuku setelah menikah dengan Abang, lelaki kaya raya yang dulu menjadi majikannya.) 

Jakarta, 2011 

Cinta itu mulai pudar ketika usia pernikahan mereka beranjak lima bulan. Mereka sering bertengkar dengan masalah-masalah kecil. Abang, jadi jarang di rumah, sedang Mina menghabiskan hari-harinya di rumah, dengan memasak, menonton televisi, dan merumpi. 

Namun pertengkaran besar terjadi ketika Mina positif hamil. Abang tidak suka Mina hamil. Katanya, Mina terlihat gendut dan tak lagi cantik. Mina membantah alasan itu karena Abang selalu melihat dirinya dari sisi luar. Dan Abang semakin benci pada Mina dan bayi di perutnya. Karena bayi di dalamnya, ia tidak lagi bisa keluar rumah. Ia tidak lagi bisa bertemu pacar-pacarnya. 

Hingga anaknya lahir Mina tidak berhenti dipukul oleh Abang, tidak memedulikan kalau anaknya melihat. Ia tidak peduli. Abang benci pada anak dan istrinya. 

*** 

Jakarta, 2016 

“Ibu, kenapa kita tinggal di sini?” Suatu kali Jali, anak Mina bertanya seperti itu di ambang pintu. Suaranya tenggelam ketika deru kereta menyambar. Sedang yang ditanya tidak kunjung menjawab. Bu Mina repot membongkar-bongkar kardus dan tas. Ia masukkan isinya ke dalam lemari tanpa pintu, kemudian ia membawa tas ke belakang, menggantungkannya ke paku. 

“Ibu, kenapa kita tinggal di sini?” Jali masih menunggu jawaban. Ia pura-pura membantu ibunya membereskan rumah barunya yang sedikit kumuh. Rumah di pinggir rel kereta memang murah sekali, walau pun kondisinya jauh dari kata baik. Tapi setidaknya bisa berteduh dan terhindar dari dingin yang mencekam. 

Rumah itu berdinding kayu bekas dengan atap tripleks, dengan undakan kecil di depan pintu, yang biasanya para ibu di kampung itu duduk menunggu kepulangan suaminya sambil mengutui. 

“Ibu, ibu…” Suara Jali tenggelam ditelan deru kereta yang menggetarkan dinding rumah. Jali berlari ketakutan dan menemukan ibunya duduk termangu di belakang, “kenapa kita tinggal disini sih?” 

Mina meraih anak laki-lakinya, ia pangku Jali, dan menenangkan anaknya dengan senandung. Jali menguap. Mina membawa Jali masuk ke dalam dan menidurkannya di atas tikar. 

“Bertahanlah, Jali. Jangan buat Ibu derita lebih parah lagi, sudah cukup! Tidurlah dengan nyenyak. Ibu akan pergi sebentar. Jangan khawatir, Ibu tidak akan lama.” 

Mina keluar dari balik pintu. Ia melangkah pasti ke pinggir rel, lalu berhenti. Ia menunggu seseorang. Atau juga kereta, dan bisa apa saja. Mina menoleh ke belakang melihat rumah gubuknya. Hatinya tiba-tiba bergerak, lantas berdoa. Ia akan mengingat Jali dalam hidupnya, ia akan mengingat rumah gubuk, ia akan mengingat semua tentang Jali, kecuali Abang, suaminya. 

Dari timur datanglah kereta dengan peluit panjang. Kereta berdesis, roda besinya bergesekan hingga menghasilkan bunyi yang pilu. Kereta berhenti, dan Mina naik dari gerbong belakang. Ia melihat Jali terbangun dan memanggil-manggil ibu. Mina segera memalingkan wajah, ia tidak ingin lagi melihat Jali. 

“Ibu… Ibu… Ibu….” (*)

Kragilan, 13-03-2020 

Kamis, 04 Juni 2020

Cerpen: Sejarah Janin

Cerpen: Sejarah Janin 

Oleh Yuditeha 





cerpen, cerpen sejarah janin, yuditeha, cerpen yuditeha
Picture: Pixabay


Kamu mengatakan, satu-satunya orang yang menyebabkan kamu merasa perlu berhati-hati saat menceritakan kisahmu adalah dia. Alasanmu bukan takut, alih-alih kamu ingin menghomatinya, karena dialah orang yang sesungguhnya kamu anggap bisa menentukan nasibmu di awal-awal hidupmu. 

*** 

Suasana teramat hening. 

Sunyi. 

Kamu menduga, bermula dari ketiadaanlah kamu ada, yang hal itu kamu sadari, ketika suatu hari, kamu merasa seperti tiba-tiba ada, ditandai dengan denyutan lembut di sebuah daging kecil. Pada daging kecil itulah kamu merasa kejiwaanmu bersemayam. Pada saat itu, sejenak kamu merasakan kenyamanan. Kamu kembali mengatakan tentang keheningan suasananya. Rumah yang kamu huni begitu menenteramkan dan karena hal itulah dulu kamu sempat meyakini bahwa rupa hidupmu selanjutnya akan dipenuhi dengan kegembiraan. 

Tapi yang terjadi selanjutnya tidak seperti apa yang kamu kira, karena tidak berselang lama sejak kamu memikirkan tentang kenyamanan itu, rumah yang menjadi tempat di mana kamu tinggal tiba-tiba bergoyang. Seiring dengan goyangan itu kamu mendengar teriakan panjang. 

“Tidak!” 

Teriakan itu terjadi berulang kali hingga terdengar menggema, kemudian melemah tapi kamu merasa suara itu terdengar seperti menyayat hati. Tiba-tiba rumahmu bergoyang-goyang lagi, dan badanmu ikut bergoyang ke kanan dan ke kiri, bahkan lambat laun arah gerakannya tidak pasti, sampai kamu tidak tahu lagi bagaimana menjelaskannya. Tapi dari keteranganmu bisa disimpulkan bahwa saat itu kamu sedang terombang-ambing oleh gerakan itu. Sesekali kamu merasa rumah yang kamu huni menyempit. Ruang itu seperti sedang mendapatkan tekanan. Tidak lama kemudian kamu mendengar tangisan dan sejurus dengan itu rumah yang kamu tinggali kembali mengalami penyempitan beberapa kali, tapi akhirnya terhenti dan berganti dengan hening sejenak sebelum akhirnya kamu mendengar suara-suara gaduh. 

“Ya ampun!” 

“Darahnya banyak sekali.” 

“Biadab!” 

“Cepat, bawa dia ke dokter.” 

Pada saat itu kamu merasa rumahmu kembali bergoyang, tetapi goyangan itu tidak sekeras yang kamu alami sebelumnya, sebelum akhirnya kamu merasakan keheningan yang cukup lama. Tapi dalam perjalanan keheningan saat itu kamu menjadi sering mendengar sayup-sayup suara. Kamu tidak bisa menerangkan suara apakah itu, karena suara itu tidak begitu jelas. Kamu menduga asal suara itu agak jauh dari tempat di mana kamu berada saat itu. Kamu merasa, keheningan dengan suara sayup itu teramat lama. Hanya sesekali muncul suara teriakan histeris sebelum akhirnya jatuh ke dalam keheningan lagi. Tapi kamu bisa menghafali keadaan, pada saat suara histeris itu muncul, tak lama kemudian selalu terdengar teriakan yang hampir sama. 

“Jangan! Saya tidak mau disuntik!” 

Hal itu terjadi tepatnya sebelum sampai kepada keheningan yang berikutnya. Ketika keheningan itu sedang terjadi, justru pada saat itu kamu bisa merasakan kenyamanan hidupmu. Kamu merasa hidupmu bisa tenteram tanpa adanya gangguan. Tapi jika keheningan itu berlangsung sangat lama, di dalam dirimu seperti ada yang hilang. Kamu justru seperti merindukan kehadiran suara histeris itu. Sampai suatu saat kamu tahu dari sebuah percakapan yang waktu itu kamu dengar. 

“Katakanlah.” 

“Yang penting kamu sehat dulu, ya.” 

“Tolong, katakan.” 

“Sebentar lagi kamu sehat.” 

“Dokter.. Tolong katakan.” 

Kamu mengatakan, pada saat itu hening sejenak menyergap. Lama tidak ada tanggapan. Karena heningnya keadaan waktu itu, sampai kamu bisa mendengar dengan jelas suara ritmis detakan yang ada di luar dirimu. Bahkan kamu bisa merasakan detakan itu lambat laun seperti bertambah cepat, dan kamu merasa seakan detakan itu berada sangat dekat dengan dirimu. 

“Semoga kamu kuat.” 

Sejurus dengan perkataan itu, tak lama kemudian rumah yang kamu tinggali mengalami pemukulan. 

Buuk! Buuk! Buuk! Buuk! 

Seiring dengan pukulan itu, suara histeris berulang kali terdengar. 

Pukulan itu sangat keras dan getaran pemukulan itu cukup membuatmu terhenyak. Kamu terkejut, terlebih karena pukulan itu membuat beberapa kali tubuhmu terlempar mengenai dinding rumahmu. Saat itu kamu benar-benar merasakan ketidaknyaman dan karena hal itu dugaanmu tentang bagaimana rupa hidupmu selanjutnya akan dipenuhi dengan penderitaan mulai terbayang. Pukulan itu terus terjadi dan baru berhenti ketika kamu mendengar suara-suara gaduh. 

“Sabar, Sayang.” 

“Sabar, sabar! Tidak bisa! Aku ingin dia mati!” 

“Sabar ya, Sayang.” 

“Bodo amat! Dia anak bangsat!” 

Hening kembali menyergap. Tapi hanya sebentar, karena tak lama kemudian kamu merasakan rumahmu kembali berguncang oleh pukulan-pukulan yang semakin lama semakin membabi buta. 

Buuk! Buuk! Buuk! Buuk! 

Kejadian itu memberi pengertian bahwa tentu saja tubuhmu kembali terlempar. Terkait perihal pukulan itu kamu mengatakan sesuatu, meski dirimu berulangkali terlempar hingga mengenai dinding rumahmu, tapi entah mengapa kamu seperti tidak merasa sakit, bahkan kamu bilang bahwa kondisi tubuhmu seperti bertambah kuat. Jika pukulan itu diibaratkan sebuah ujian, pukulan-pukulan itu justru membuatmu menjadi kebal dan tumbuh menjelma sosok yang tahan banting. 

Kamu mengatakan, “Jika apa yang kualami itu dianggap derita, saya bilang kepada kalian bahwa sejak saat itu derita telah melekat dalam diriku. Saking lamanya derita itu berlangsung, sampai aku tak punya harapan lagi. Saya telah menganggap seluruh masa depanku adalah derita.” Setelah kamu mengatakan begitu, kamu sudah tidak lagi berhasrat menceritakan deritamu. Bahkan kamu memutuskan untuk tidak menceritakan kisah hidupmu yang bagian itu. Lalu kamu menjelaskan bahwa alasan kamu tidak menceritakan bagian derita tersebut semata karena kamu ingin menghormati dia, karena kamu menyadari bahwa derita yang kamu alami sesungguhnya belum seberapa jika dibandingkan dengan penderitaan yang menimpa dirinya. Dan menurutmu, celakanya hal itu baru bisa kamu ketahui pada saat kamu sudah tidak berada di rumahmu lagi. Kali ini kamu ingin menceritakan sebuah peristiwa di mana pada waktu itulah yang kamu anggap sebagai detik-detik kamu mengetahui bahwa deritanya begitu besar. Tapi sayangnya, pada saat itu kamu sudah berpisah dengan dirinya. 

Keheningan sejenak menyergap kembali, tetapi tiba-tiba kamu merasakan ada yang aneh. Ada sejumlah cairan yang mengaliri rumahmu hingga tempat yang kamu tinggali itu penuh dengan air. Sebenarnya air mengaliri rumahmu bukan sesuatu yang aneh, bahkan kesehariannya pun air sudah menjadi bagian penting dalam hidupmu, tetapi air yang mengaliri rumahmu kali itu berbeda. Kamu mencium aroma air yang datang saat itu tidak seperti biasanya. Ternyata kecurigaanmu benar, bahkan air itu mempunyai daya perusak, segala yang tersentuh air itu menjadi meradang, hingga sampailah kepada dirimu. Begitu air itu menyentuhmu, kamu seperti merasakan tubuhmu terbakar. Dan efek dari reaksi itu membuatmu terus bergerak. Kamu ingin terbebas dari segala yang panas. 

Kamu bergerak, dan terus bergerak, sampai tidak memedulikan sekeliling. Bergerak, terus bergerak hingga tak sadar kamu telah keluar dari rumahmu. Begitu menyadari keadaan, tiba-tiba kamu merasakan dingin. Berkebalikan dengan rasa yang kamu alami sebelumnya. Bahkan hawa dingin itu berbeda dengan dingin yang kamu rasakan biasanya. Meski kamu menganggap bahwa sebagian besar apa yang kamu alami di rumahmu dulu adalah derita, tetapi jika dibandingkan dengan keadaan tempatmu saat itu, rasa-rasanya kamu tetap memilih untuk tinggal di rumahmu yang dulu. Di tempat yang baru itu kamu merasa seperti tidak ada yang melindungi dari segala jenis petaka. Dan kamu mengatakan, mungkin karena keadaan itulah pada akhirnya, ketika kamu tiba-tiba mendapat sebuah pukulan, kamu sangat terkejut, dan kamu menangis sekencang-kencangnya. Kamu menyadari bahwa tangisanmu kali itu adalah tangisan paling keras. Dan pada saat itu sayup kamu mendengar sebuah percakapan. 

“Untuk sementara amankan dia dari jangkauan cicik.” 

“Benar.” 

“Sebelum kita benar-benar yakin bahwa cicik menerimanya, jangan izinkan memegangnya.” 

Itulah yang kamu dengar terakhir sebelum kamu tinggal di rumah kamu yang baru. Kamu merasa, di rumah baru itu memang sangat nyaman, tetapi entah mengapa kamu tetap merasa lebih tenang jika tinggal di rumahmu yang dulu. Dan saat itulah kamu menyadari bahwa sesungguhnya kamu sudah berpisah dengan rumahmu. Saat itu kamu merasa sendirian, sampai datanglah hari itu, waktu di mana kamu dipertemukan dengan dia. Ketika dalam kesendirian kamu anggap sebagai derita, pada saat bertemu dia, apa yang kamu anggap derita itu seakan lebur begitu saja. Bahkan deritamu waktu berada di rumahmu yang dulu pernah kamu yakini sebagai derita paling sejati pun juga ikut luruh ketika kamu bertemu dengannya. 

Pada saat itu kamu tahu, dalam pandanganmu melihat ada seorang perempuan dewasa sedang menggedongmu. Rambutnya lurus, wajahnya oval, kulitnya kuning putih bersih, hidungnya mancung, bibirnya tipis, dan matanya tampak seperti belati yang dari celah kecil matanya itu seakan kamu bisa melihat ada kilatan bara api yang begitu dahsyat, sekali kelebat bisa membakar dan menghanguskan semua yang hidup, termasuk mematikan segala macam benih. Mungkin juga sebuah janin. 

Tapi pada saat itu kamu melihat, dari celah kecil matanya lambat laun berair hingga menggenang di kelopaknya hingga sebagian tumpah, dan salah satu tetesannya jatuh di pipimu yang ranum. Kamu menduga, mungkin dia tidak tega melihatmu yang ringkih dan bertepatan dengan itu kamu mendengar dia menangis sesenggukan, dan tangisnya semakin menjadi-jadi ketika dia mendengar sapaanmu yang mungkin dia anggap sebagai celoteh lucu.*** 


------------------------------------

Yuditeha: Penulis tinggal di Karanganyar- Jawa Tengah. Pendiri Komunitas Kamar Kata Karanganyar, dan Pendiri Media Seni & Budaya Ideide-id. Buku terbarunya Kumcer Filosofi Perempuan dan Makna Bom (Rua Aksara, 2020).











Catatan: bagi yang ingin menyedekahkan atau berkontribusi cerpen atau puisi di linkkoe my id, silakan kirim naskah ke email andi.kamboeja@gmail.com (cerpen 1000 kata dan 5 naskah untuk puisi), untuk sementara waktu tidak berhonor. 

Minggu, 22 Maret 2020

Definisi, Ciri-Ciri, Jenis, Syarat, Kerangka dan Penulisan Cerpen

Definisi, Ciri-Ciri, Jenis, Syarat, Kerangka dan Penulisan Cerpen





1. Definisi Cerpen 

Cerpen merupakan singkatan dari cerita pendek. Terkait dengan definisi cerpen sendiri, cerpen memiliki makna beragam menurut gagasan beberapa sastrawan. Menurut Andri Wicaksono, cerpen diartikan sebagai suatu cerita fiksi yang berbentuk prosa yang singkat dan pendek yang unsur ceritanya berpusat pada satu pokok peristiwa. Sedangkan menurut Drs. Joko Untoro, dalam bukunya dituliskan bahwa cerpen merupakan karangan pendek yang berbentuk prosa yang terbatas dalam membahas salah satu unsur fiksi dalam aspek yang terkecil.Singkat atau pendeknya suatu cerpen bukan dikarenakan bentuk dan sifatnya sebagai sastra pendek, melainkan cerpen memang hanya mengangkat dan membatasi dalam pembahasan dan penyelesaian satu konflik. 

Selain kedua sastrawan yang telah disebutkan di atas, masih banyak sastrawan lain yang menyumbangkan gagasan penting terkait dengan pengertian cerpen. Namun, keberagaman gagasan sastrawan tersebut pada prinsipnya sama saja. Jadi, dapat disimpulkan bahwa cerpen merupakan suatu jenis sastra modern yang memaparkan cerita tentang tokoh yang terkait dengan satu konflik yang disajikan dalam tulisan pendek. 


2. Ciri-Ciri Cerpen 


Seiring berkembangnya karya sastra di era modern ini, maka dibuat ciri khusus untuk membedakan antara satu karya sastra dengan karya sastra lainnya. Berikut ini ciri-ciri dari suatu cerpen, meliputi: 

  • Cerpen biasanya bersifat fiktif. 
  • Cerpen merupakan karya sastra dengan bentuk tulisan yang singkat, padat, jelas dan  mudah dipahami, serta lebih pendek dari novel. 
  • Jumlah kata dalam menulis sebuah cerpen, maksimal kurang dari 10.000 kata. 
  • Cerpen tidak menceritakan seluruh kehidupan tokoh terkait, melainkan hanya terbatas pada satu konflik. 
  • Masalah setiap tokoh didalam cerpen selalu berkaitan dengan tokoh utamanya. 
  • Penokohan dalam sebuah cerpen sangat sederhana, singkat, dan tidak mendalam. 
  • Alur penulisan cerpen lurus dan tunggal. 
  • Waktu yang digunakan untuk membaca sebuah cerpen hanya beberapa menit sampai beberapa jam saja. 
  • Pesan dan kesan dalam sebuah cerpen sangat mendalam sehingga tersampai dengan baik kepada pembaca. 


3. Jenis-Jenis Cerpen 



Jenis-jenis cerpen dapat dibedakan berdasarkan jumlah kata maupun jenis aliran/temanya. 

Berdasarkan jumlah katanya, cerpen dapat dibedakan menjadi: 

  • Cerita pendek (short story), cerpen yang biasanya ditulis dengan jumlah kata kisaran 750- 1000 kata. 
  • Cerita pendek yang pendek (short, short story) 
  • Cerita pendek yang sangat pendek (very short, short story), biasanya cerpen yang ditulis hingga mencapai 10.000 kata. 

Berdasarkan alirannya, cerpen dapat dibedakan menjadi: 

  • Realisme, cerpen dengan aliran ini mengisahkan mengenai peristiwa yang melukiskan keadaan yang sesungguhnya. Tidak ada sedikitpun gagasan dari pengarang yang melebih-lebihkan kisah yang ditulisnya. Pengarang mutlak menjadi penonton yang objektif. 
  • Impresionisme, cerpen aliran ini merupakan cerita yang ditulis pengarang berdasarkan apa yang pertama kali dilihatnya. Berbeda dengan aliran realisme dimana pengarang melukiskan yang dilihatnya secara mendetail, disini pengarang hanya menceritakan dari pengamatan awalnya yang dangkal saja. 
  • Naturalisme, serupa dengan realisme. Hanya saja dalam cerpen aliran ini, pengarang lebih cenderung mendekskripsikan sisi negatif dari apa yang diamatinya. 
  • Determenisme, merupakan aliran kesustraan yang menekan pada takdir yang ditentukan oleh unsur biologis dan lingkungan, bukan oleh sang pencipta. Cerpen aliran ini biasanya mengisahkan tentang penganut yang tidak percaya akan Tuhan. 
  • Neonaturalisme, merupakan gabungan antara realisme dan naturalisme, sehingga cerpen aliran ini melukiskan kenyataan yang objektif. Artinya, cerpen ini tidak hanya melukiskan sisi baik, namun juga sisi positif dari peristiwa yang diamati. 
  • Idealisme, merupakan aliran romantik yang mendasarkan cita-citanya pada cita-cita si penulis atau ide pengarang semata. Pengarang yang menulis cerpen dengan aliran ini biasanya memandang jauh ke masa depan dengan segala pengharapan yang diinginkan akan terjadi. 
  • Romantisme, cerpen aliran ini mengutamakan perasaan. Segala hal yaang terjadi diukur melalui perasaan, sedangkan logika diabaikan sehingga tak khayal cerpen aliran ini mementingkan penggunaan bahasa yang indah dan puitis. 
  • Surealisme, cerpen aliran ini menceritakan tentang khayalan ataupun mimpi, yang mana penulis membiarkan para pembaca bebas berimajinasi sesuai pola pikirnya. Cerpen ini biasanya menggabungkan realitas dan angan-angan sehingga pembaca akan sedikit sulit menafsirkan yang hendak disampaikan penulis. 


4. Syarat Penulisan Cerpen 


Untuk menyajikan sebuah cerpen yang tidak monoton dangan minat baca yang tinggi, terdapat beberapa hal-hal tertentu yang penting diperhatikan. Berikut syarat-syarat yang menjadi perhatian penulis dalam menulis sebuah cerpen, yaitu: 

  • Isi dalam sebuah cerpen harus padat 
  • Saat hendak menulis sebuah cerpen, hindari narasi yang bersifat verbal dan menggurui. 
  • Cerpen yang ditulis jangan bertele-tele, melainkan harus lugas. 
  • Isi sebuah cerpen yang ditulis harus jelas dan fokus pada konflik yang diangkat sehingga pembaca bisa dengan mudah memahami apa yang hendak disampaikan penulis. 
  • Hindari penggunaan kata yang tidak ekonomis. Perhatikan hal-hal berikut: hindari penggunaan kata atau kalimat yang jauh dari konflik, hindari penggunaan kata/kalimat yang tidak sesuai dengan tema, hindari kalimat yang apa adanya, seperti “sempoyongan kakiku, keminum segelas air supaya tenggorokan segar”, kalimat tersebut seharusnya dapat ditulis seperti ini “kuminum air putih. Segar!”. 
  • Perhatikan aspek kedalaman dalam menulis, meliputi: cerita yang hendak ditulis sebaiknya digali berdasarkan pengalaman pribadi atau pengalaman orang lain kemudian dramatisir. Dengan begitu akan memudahkan penulis dalam menulis cerita karena sudah memahami peristiwa yang hendak ditulisnya, perhatikan latar, tokoh, dan peristiwanya, alur cerita yang dibuat usahakan berkesinambungan mulai dari latar, tokoh maupun peristiwa yang diceritakan. 
  • Penting dalam menjelaskan penokohan tokoh baru dengan jelas. 
  • Jika terjadi perubahan sudut pandang, usahakan pembaca dapat memahaminya. 



5. Kerangka dan Cara Penulisan Cerpen 

Sebuah cerpen tidak dapat ditulis sesuai dengan kehendak seseorang, melainkan dalam menulis sebuah cerpen terdapat sistematika khusus yang harus diikuti. Sitematika tersebut dikenal sebagai kerangka. Nah, kerangka dalam penulisan sebuah cerpen sangatlah penting. Tujuan kerangka penulisan tersebut ialah unsur cerpen yang ditulis tersampaikan kepada pembaca. Adapun kerangka sebuah cerpen tersebut meliputi tahapan-tahapan berikut ini. 

a. Observasi 

Observasi atau pengamatan merupakan langkah awal dalam penulisan sebuah cerpen. Observasi ini dapat dilakukan secara langsung, yakni mengamati peristiwa disekitar dan dipilih satu subjek untuk dijadikan tokoh dalam cerpen. Selain observasi secara langsung, penulis juga dapat mengingat atau mendengarkan kejadian yang dilakukan oleh orang lain sehingga dapat diangkat sebagai sebuah cerpen. 

b. Menentukan Tema dan Judul 

Tahapan kedua setelah observasi adalah menentukan tema. Tema disebut juga sebagai ide cerpen yang biasanya diperoleh dari hasil pengamatan. Untuk membuat sebuah cerpen yang menarik, pilihlah tema yang menjadi isu. Contoh tema seperti olahraga, jurnalistik, sosial-budaya, dan lain sebagainya.

c. Menentukan Latar 

Latar dibuat berdasarkan tema yang telah dipilih. Latar pada sebuah cerita terdiri atas latar tempat, latar waktu, dan latar suasana. Latar sangat mendukung jalannya suatu cerita. 

d. Menciptakan dan Menentukan Tokoh 

Tokoh sangat penting dalam menulis sebuah cerita. Tokoh merupakan alat penyampaian masalah yang ingin disampaikan penulis. Tokoh biasanya ditentukan berdasarkan pengamatan langsung atau mendengar cerita dari orang lain. Dalam menentukan tokoh disertai dengan penentuan sifat dan karakter dari tokoh tersebut. 

e. Menciptakan Konflik 

Konflik merupakan pertentangan dalam sebuah cerpen yang membutuhkan penyelesaian. Tanpa sebuah konflik, sebuah cerita akan terasa monoton. Oleh sebab itu, pilihlah konflik yang paling menarik karena dalam menulis sebuah cerpen hanya terdapat sebuah konflik yang ditemukan titik penyelesainnya. 

f. Menentukan Sudut Pandang 

Sudut pandang disebut juga point of view.Sudut pandang merupakan cara yang digunakan oleh penulis dalam menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi. Secara garis besar, sudut pandang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) pesona pertama, gaya “aku” dan pesona ketiga, gaya “dia”. Jadi, dengan sudut pandang inilah karya fiksi diceritakan dengan berbagai variasi. 

g. Menentukan Alur 

Alur sangatlah penting dalam menulis sebuah cerita. Pilihlah alur yang tidak membuat jenuh pembaca. Dalam karya sastra dikenal tiga macam alur, yaitu alur maju, alur mundur, dan alur campuran. Apabila perisiwa dalam cerita disajikan secara runut dari awal sampai penyelasaian maka itu disebut alur maju. Suatu cerita dikatakan alur mundur jika peristiwa dimulai dari saat ini kemudian mulai menceritakan masa lalu. Sedangkan alur campuran merupakan gabungan keduanya, dimana dimulai dengan peristiwa masa ini, kemudian menceritakan masa lalu, dan setelah itu kembali lagi ke peristiwa saat ini. 

h. Menulis Cerpen 

Menulis cerpen sudah dapat dilakukan apabila tema, latar, tokoh, konflik, sudut pandang, dan alur sudah ditentukan. Jalan cerita dalam menulis sebuah cerpen dikembangkan dari tema yang telah dipilih dengan menggunakan kata dan kalimat yang sederhana dan komunikatif. Cermatlah dalam ejaan dan pemilihan katanya. 

i. Menentukan Judul 

Sebenarnya judul bukanlah tahapan akhir dalam menulis sebuah cerpen. Judul dapat dibuat setelah menentukan tema ataupun setelah menulis cerpen. Hal tersebut tidak menjadi faktor penurunan kualitas maupun kuantitas suatu cerpen. Dalam penentuan judul yang penting diperhatika ialah judul yang dibuat usahakan singkat dan menarik pembaca. 


Demikianlah kerangka sekaligus tahapan dalam penulisan sebuah cerpen. Agar cerpen yang kita sajikan menarik minat pembaca plihlah tema yang sedang hangat dibicarakan dengan judul yang singkat namun tinggi daya mintanya. 

Demikian pembahasan kali ini terkait dengan Penulisan Cerpen dengan fokus bahasan meliputi pengertian, ciri-ciri, macam-macam cerpen, syarat, kerangka, dan tata cara penulisan cerpen. Semoga informasi yang kami sajikan bermanfaat. 

*Admin


Copyright

Review

Food

pendidikan