Linkkoe Jurnal: Keterkaitan antara Sastra dengan Kenyataan

Tools

Tampilkan postingan dengan label Keterkaitan antara Sastra dengan Kenyataan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Keterkaitan antara Sastra dengan Kenyataan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 26 Februari 2022

Keterkaitan antara Sastra dengan Kenyataan

Keterkaitan antara Sastra dengan Kenyataan




Keterkaitan antara Sastra dengan Kenyataan

Keterkaitan antara sastra dengan kenyataan dispesifikasikan ke dalam tiga istilah utama yaitu mimesis, fiksionalitas, dan pendekatan terhadap sastra yang langsung menghubungkan sastra dengan masyarakat.

a. Mimesis

Kata mimesis berasal dari bahasa Yunani yang berarti perwujudan atau jiplakan. Kata mimesis pertama kali dipergunakan dalam teori-teori tentang seni seperti diutarakan oleh Plato (428-348) dan Aristoteles (385-322). Istilah ini pada akhirnya memengaruhi teori-teori mengenai seni dan sastra dari abad ke abad di benua Eropa. Meski dikenal sebagai dua tokoh yang mempopulerkan kata mimesis dalam sebuah karya sastra (dan seni secara umum) tetapi antara Plato dan Aristoteles memiliki perbedaan pendapat. Plato menganggap bahwa suatu karya sastra adalah sebuah jiplakan dari kenyataan yang ada dan tetap suatu hal yang jauh dari kebenaran. Bagi Plato, jiplakan atau copy itu selalu tidak memadai aslinya; kenyataan yang dapat kita amati dengan pancaindria selalu kalah dengan dunia ide (Luxemburg, Bal, dan Weststeijn, 1992: 16).

Sementara itu, dalam pendapat yang lain Aristoteles mengemukakan bahwa penampakan kenyataan dan ide-ide tidak lepas yang satu dari yang lain. Bagi Aristoteles mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan merupakan sebuah proses kreatif; penyair, sambil bertitikpangkal pada kenyataan, menciptakan sesuatu yang baru. Dengan bermimesis penyair menciptakan menciptakan kembali kenyataan.

Sesuai perkembangannya, pada akhirnya kata mimesis merujuk pada hasil jiplakan atau copy kenyataan yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Hal ini sesuai dengan pandangan para filsuf yang lahir setelah Plato dan Aristoteles yang menjadikan makna mimesis semakin beragam. Hanya saja, berdasarkan sedikit pengubahan maupun variasi makna tersebut tetap dapat disintesis bahwa pada dasarnya antara dunia nyata dan mimesisnya tetap saling berkaitan dan membutuhkan sebuah proses kreatif yang sesuai untuk melahirkan karya yang estetis. Hal ini dikarenakan mimesis adalah sebuah cerminan atau gambaran dari kenyataan.

b. Fiksionalitas

Kata fiksi selalu diidentikkan dengan dunia khayal yang jauh dari kenyataan. Meski tidak dapat dipungkiri bahwa fiksi terlahir dari cerminan atau mimesis dunia nyata, tetapi dalam proses kreatifnya serta merta akan dibumbui dengan hal-hal yang fiktif. Umumnya, dalam sebuah karya sastra pembaca pasti akan disuguhi beragam tokoh beserta penokohannya, alur cerita, kompleksitas masalah, hingga setting yang merupakan hasil imajinasi pengarang.

Pembaca diminta untuk menginterpretasi dan sebisa mungkin memiliki pemahaman tema yang sama dengan pengarang. Hal tersebut sungguh hal yang wajar mengingat karya sastra dekat sekali dengan fiksionalitas yang secara garis besar umumny akan banyak dipengaruhi oleh dominasi pengarang beserta ide kreatifnya. Meski demikian, dalam sebuah karya sastra tidak setiap teks yang mengandung unsur khayalan, lalu menjadi teks fiksi.

Meski demikian, dalam proses pembelajaran, sastra tetap harus memiliki batasan. Untuk itulah sifat multitafsir sastra tetaplah harus memiliki konvensi agar dalam proses pembelajarannya terdapat acuan mendasar yang digunakan dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini, pengertian sastra juga membutuhkan satu koridor agar banyaknya pengertian yang diajukan para .pakar dapat terorganisir dan mengerucut menjadi suatu pengertian yang disepakati bersama.

c. Sudut Pandang (Point of View)

Berkaitan dengan sudut pandang, sebagai sebuah ilmu dan sarana hiburan, sastra dapat dispesifikasikan ke dalam dua sudut pandang, yaitu sudut pandang pengarang dan sudut pandang pembaca. Kedua hal tersebut tidaklah memiliki kesamaan kepentingan, tetapi memungkinkan memiliki persamaan persepsi, motivasi, minat, dan mungkin juga interpretasi.

1) Sudut Pandang Pengarang

Sebagaimana kita tahu, pengarang memiliki kebebasan dalam menyapaikan gagasan dan idenya ke dalam sebuah karya sastra. Sifat sastra yang multitafsir menjadi kewenangan yang independen bagi para pengarang untuk mengakomodir imajinasinya ke dalam barisan diksi. Dengan kata lain, segala hal yang menjadi sebuah organisme karya sastra menjadi bagian tak terpisahkan dari pengarangnya. Tak jarang pengarang pada akhirnya dapat diidentifikasi dari hasil karyanya. Hal ini juga membawa pengaruh juga terhadap sebuah cara pengenalan tertentu bahwa masing-masing pengarang memiliki ciri khas tersendiri dalam memperkenalkan karya sastra yang dihasilkannya.

Pengarang yang baik tentu memiliki trik jitu pula dalam menyampaikan idealismenya. Dengan berbekal kemampuan masing-masing untuk berperan sebagai makhluk individu yang bekerja dengan idealismenya dan sebagai makhluk sosial yang bekerja dengan intuisinya, para pengarang tersebut berkutat dengan sebuah makrokosmos yang dimimesiskannya menjadi sebuah mikrokosmos. Karya sastra menjadi penanda kelahiran proses tersebut, dan pengarang adalah yang membidaninya sehiangga dapat dinikmati oleh para pembaca.

2) Sudut Pandang Pembaca

Pembaca merupakan peran yang dapat menentukan keberterimaan sebuah karya sastra. Eksistensi para pengarang tidak akan dapat dijadikan sebuah kebanggaan jika tidak disertai dengan pengakuan dari para penikmat sastra khususnya para pembaca. Dalam hal ini memang perlu adanya sebuah keharmonisan antara pengarang dan pembaca terlepas dari hak masing-masing peran untuk menginterpretasi karya sastra yang tertentu.

Berkaitan dengan sudut pandang pembaca dapat dimiisalkan melalui puisi karya Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul Tragedi Sihka dan Winka. Bagi beberapa orang dapat dipastikan bahwa tidak akan mudah memaknai puisi yang tampak magis, unik, estetis dan kaya akan sudut tipografis tersebut. Tetapi beberapa golongan pembaca yang lain akan dengan mudah menebak bahwa amanat yang ingin disampaikan oleh Sutardji adalah amanat moral yang positif. Hal ini dilakukan oleh kritikus sastra Suminto A. Sayuti yang mampu menganalisis puisi tipografis tersebut. (*)

Copyright

Review

Food

pendidikan