Linkkoe Jurnal: Prosa
Tampilkan postingan dengan label Prosa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Prosa. Tampilkan semua postingan

Rabu, 01 November 2023

Flash Fiksi: Malaikat dan Blueberry

Flash Fiksi: Malaikat dan Blueberry



Malaikat dan Blueberry
oleh Tara Campbell
(diterjemahkan oleh linkkoe.my.id)



"Kenapa langit berwarna biru?" kamu bertanya. Ini adalah pertanyaan yang pernah membuat banyak orang merenung. Jawabannya tergantung pada siapa yang menjawabnya.

Jika kamu bertanya pada seorang dewasa, kemungkinan besar kamu akan mendengar penjelasan tentang cahaya, bagaimana cahaya memantul dari partikel udara, dan bagaimana panjang gelombang tertentu (yang kita sebut sebagai warna) diserap atau dipantulkan, sehingga kita melihat warna biru di langit.

Jika kamu bertanya pada seorang ilmuwan, penjelasan mereka akan lebih rumit, melibatkan fisika dan optik yang lebih mendalam.

Tapi jika kamu bertanya pada seorang penulis, kamu akan mendengar jawaban yang sangat berbeda setiap kali.

Salah satu jawaban yang pernah terpikirkan adalah tentang cat jari biru. Setiap kali anak-anak menggunakan cat jari biru, sebagian kecil partikel cat itu melekat pada udara, mewarnai langit biru. Meskipun warna itu akan memudar seiring berjalannya waktu, langit akan selalu berubah menjadi biru ketika ada cat jari biru yang digunakan.

Jawaban lainnya terkait dengan makhluk misterius yang tinggal di Kutub Utara dan Kutub Selatan. Makhluk-makhluk ini memiliki mata berwarna biru yang selalu menatap langit. Pantulan warna biru dari mata mereka menciptakan warna langit yang kita lihat. Sayangnya, makhluk-makhluk ini sangat terampil dalam bersembunyi dari mata manusia, jadi kita hampir tidak pernah melihat mereka.

Namun, jawaban yang paling unik adalah tentang malaikat dan blueberry.

Malaikat suka sekali makan blueberry. Mereka tidak hanya menyukainya, tetapi juga blueberry adalah makanan favorit mereka. Karena buah blueberry sangat sehat, ini adalah kebetulan yang sangat bahagia. Hanya saja, malaikat adalah pemakan yang agak ceroboh, dan mereka makan sepanjang hari. Selain makan, mereka juga suka bermain harpa, bernyanyi, dan menjaga anak-anak kecil agar tidak bermain dengan bahan pemutih di bawah wastafel. Tetapi mereka masih punya banyak waktu untuk mengunyah blueberry, menghasilkan serpihan dan kulit blueberry yang tersebar di seluruh langit.

Beberapa malaikat bahkan tidak suka kulit blueberry, jadi mereka selalu mengupas buah tersebut sebelum memakannya, dan kulit-kulit itu tersebar di langit. Ini bukan karena mereka sembarangan, tetapi karena mereka merencanakan untuk membersihkannya nanti.

Seiring berjalannya waktu, langit terus menjadi lebih biru karena malaikat terus makan blueberry. Saat matahari tenggelam, cahaya matahari menciptakan warna merah dan jingga saat melalui jus dan daging buah blueberry yang tersebar di langit. Langit menjadi semakin gelap dengan serpihan blueberry dan kulit buah. Pada akhirnya, langit menjadi sangat gelap sehingga hampir tidak ada cahaya yang mencapai Bumi, kecuali ketika bulan dan bintang muncul. Bahkan, bulan pun sering tidak cukup ruang untuk muncul, itulah mengapa kita hanya melihatnya sekali sebulan.

Tengah malam, Tuhan akhirnya memutuskan bahwa sudah saatnya malaikat membersihkan sampah mereka. Malaikat langsung memulai membersihkannya, tetapi tumpukan kulit blueberry yang mereka tinggalkan cukup besar, jadi membutuhkan waktu yang lama. Saat mereka membersihkan, sedikit demi sedikit cahaya mulai menembus lapisan kulit blueberry. Fajar tiba saat malaikat menggosok dan membersihkan dengan tekun, dan matahari akhirnya muncul saat mereka membersihkan cukup banyak blueberry sehingga sinar matahari bisa kembali menyinari Bumi.

Masalahnya adalah, kulit blueberry ternyata meninggalkan noda yang sulit dihilangkan. Beberapa hari, malaikat berhasil membersihkannya dengan baik, dan langit menjadi biru muda. Tetapi pada hari-hari yang sangat cerah, noda kulit blueberry tetap terlihat, dan langit berwarna biru tua yang kaya. Tuhan, bagaimanapun, tidak terlalu khawatir tentang noda itu. Sebenarnya, Dia menganggapnya cantik, dan penduduk di Bumi juga tidak keberatan. Dia tidak memiliki rencana untuk pindah dalam waktu dekat, jadi tidak ada masalah tentang nilai jual kembali. Yang penting baginya adalah bahwa para malaikat sudah berusaha sebaik mungkin.

Sekarang, kamu mungkin bertanya-tanya apa yang akan terjadi jika malaikat bosan dengan blueberry. Apa yang akan terjadi jika mereka mulai makan raspberry? Akankah langit berubah menjadi ungu? Atau jika mereka beralih ke makan pisang, akankah kulit kuningnya mengubah warna langit biru menjadi hijau? Atau jika mereka suka lemon, apakah jusnya akan memudarkan warna langit selamanya? Dan jika itu terjadi, apakah cucu-cucumu akan percaya bahwa langit pernah berwarna biru?

Atau mereka mungkin hanya akan berpikir bahwa kamu hanyalah seorang penulis yang aneh yang menceritakan cerita tentang malaikat dan blueberry?

Sabtu, 28 Oktober 2023

Ihwal Nama Majid Pucuk, Cerpen Juara Kompas 2022

Ihwal Nama Majid Pucuk, Cerpen Juara Kompas Tahun 2022



Prosa: linkkoe.my.id - Istri Abdul Majid meraung. Sejumlah wartawan datang dan sebentar kemudian berita tentang laki-laki yang dipaksa mengaku melakukan pembunuhan beredar. Bermacam versi berita dengan beragam variasi bumbunya melesat.


Oleh
6 Februari 2022


Tiap kali nama Abdul Majid disebut, orang-orang di kota kecil kami akan menyahutinya dengan satu kata yang diletupkan dengan penuh rasa kesal. Pucuk! Oi... Majid Pucuk!

Sekiranya rajin dan ada luang waktu, bukalah kamus bahasa Indonesia dan kalian akan menemukannya diterangjelaskan dalam lima arti berbeda. Namun, bukan ini yang kami maksud. Ada ”Pucuk” lain. ”Pucuk”, yang diucapkan sebagai ”Pucok”, dengan huruf ”O” yang tidak betul-betul bulat.

Datanglah ke kota kecil kami, atau ke kota dan daerah-daerah lain di Sumatera Utara, dan kalau kalian mendengar seorang yang diminta mengerjakan sesuatu balik bertanya, ”jelas pucuknya?”, itu berarti yang bersangkutan sedang ingin memastikan, apakah dari pekerjaan tersebut dia akan mendapatkan uang atau tidak.

Lalu kenapa kata yang sesungguhnya bertendensi kocak ini justru diletupkan dengan rasa kesal, bahkan marah, tiap kali disematkan di belakang nama Abdul Majid?

Kejadiannya belum lama. Adalah Zainuddin Tambi yang jadi mula perkara. Satu hari menjelang ashar, akhir Juli 2019, dia mengaku melintas di depan rumah Marjili Samsuri dan melihat Abdul Majid keluar dari pekarangan dengan langkah tergesa. Rumah Zainuddin berselisih empat rumah dari rumah Marjili, sedangkan dengan Abdul Majid persis bermuka- muka, dipisahkan jalan selebar tak lebih dari satu setengah meter.

Waktu itu, Zainuddin dan Abdul Majid sedang perang dingin karena semangkuk pulut durian. Sebenarnya tak ada yang istimewa. Pulut durian, seperti sebelumnya anyang pakis, urap, bubur sop, mi gomak, kwetiau, ikan mas arsik, rendang jengkol, petai bakar, kue rasidah, atau minuman-minuman racikan sebangsa bandrek atawa teh susu telur, entah sudah berapa puluh kali dikirimkan dan saling dipertukarkan (tiap mangkuk atau piring atau gelas yang dikembalikan tak pernah dalam keadaan kosong), dan selama ini semuanya memang baik-baik saja. Namun, kali itu berbeda. Pulut durian yang dimasak istri Abdul Majid ternyata apek. Mungkin lantaran beras pulut yang terlalu lama disimpan.

Zainuddin tersinggung dan menyuruh anaknya mengembalikan pulut durian yang baru dicicipnya setengah sendok itu. Istri Abdul Majid, juga Abdul Majid sendiri, datang meminta maaf, tapi Zainuddin, dan terutama istrinya, rupa-rupanya memang betul-betul tersinggung. Belakangan terungkap, istri Zainuddin mengira istri Abdul Majid melakukan pembalasan. Dua hari sebelumnya dia mengirim sekotak lapis legit ke rumah Abdul Majid. Kue itu sudah berjamur di bagian bawahnya. Dia sama sekali tidak tahu, dan baru tahu setelah mendengar istri Abdul Majid berteriak menyuruh anaknya membuang lapis legit tersebut ke tong sampah.

Sejumlah orang berupaya mendamaikan. Termasuk tentunya Tamsil Kalimaya, kepala lorong kami. Dia mengundang mereka ke rumahnya. Tamsil menyuguhkan gulai kepala ikan kakap dan burung puyuh goreng untuk santapan.

Upaya ini gagal total. Perseteruan justru makin terbelit. Zainuddin Tambi dan Abdul Majid membentuk faksi-faksi, mulai dari pos ronda, hajatan orang kawin, sunatan, bahkan sampai majelis taklim. Begitu pun memang sungguh tak seorang pun dari kami yang menyangka perseteruan ini akan sampai ke kantor polisi. Tuduhannya serius pula. Pasal 170 Ayat 2 KUHP: penganiayaan berat yang menyebabkan kematian.

Begitulah, pada satu hari menjelang ashar di akhir Juli 2019 Zainuddin Tambi mengaku melintas di depan rumah Marjili Samsuri dan melihat Abdul Majid keluar dari pekarangan dengan langkah tergesa. Kira-kira dua jam kemudian polisi datang. Anwar Sadat ditemukan mati di parit belakang rumah Marjili. Kepalanya remuk. Dekat mayatnya teronggok sebatang kayu balok berlumur darah.

Anwar Sadat seorang kepala tukang dan dia sedang bekerja membangun loteng di rumah Marjili. Dia akan menggelar kenduri pernikahan anaknya yang sulung, dan untuk urusan seperti ini, orang-orang di kota kecil kami, mau tak mau, harus berurusan dengan Abdul Majid. Ada sekian grup organ tunggal, tetapi memang tidak ada yang lebih aduhai dari Majid Entertainment. Mereka punya tiga unit kibor mutakhir dan sembilan biduan: lima perempuan, tiga laki-laki, dan satu wadam yang mampu menirukan gaya para penyanyi populer.

Undangan sudah disebar. Namun, sampai menjelang hari-H, negosiasi Anwar Sadat dengan Abdul Majid perihal uang sewa kibor belum juga tuntas. Sadat yang memang terkenal kedekut kikir pelit naudzubillah terus menawar demi harga terendah. Padahal, Abdul Majid sudah memberi potongan 50 persen lebih.

Pertanyaannya, mungkinkah Abdul Majid kesal dan kemudian membunuh Anwar Sadat? Sampai di sini warga lorong terbagi dua. Sebagian bilang tak mungkin. Sebagian yang lain bilang mungkin saja. Siapa tahu ada setan kebetulan lewat, bilang mereka. Iya, katakanlah begitu. Namun, apa yang dilakukan Abdul Majid di rumah Marjili Samsuri? Andaikan dia memang berniat membunuh Anwar Sadat, kenapa harus melakukannya di rumah orang lain? Apakah dia tidak bisa menemukan lokasi eksekusi lain yang lebih tersembunyi?

Kami masih riuh mengira-ngira ketika meluncur kabar mengejutkan dari kantor polsek. Abdul Majid babak belur. Sekedipan mata beredar pula foto-fotonya. Alamakjang! Wajah Abdul Majid bengap! Ada dua benjolan nyaris sebesar telur di jidatnya. Pelipisnya pecah, bengkak dan membiru, dan dari hidung serta sudut-sudut bibirnya mengalir darah.

Segera kami berhambur ke sana. Tamsil Kalimaya, anak istri Abdul Majid, dan tak kurang dua puluh orang lainnya. Tentu, di antara kami tak ada Zainuddin Tambi. Setelah memberi kesaksian lebih lanjut bersama Marjili Samsuri di kantor polisi, Zainuddin pulang dan menutup pintu rumahnya rapat-rapat.

Polisi bilang, Abdul Majid dikeroyok di sel. Namun, kepada kami, pengakuan Abdul Majid sama sekali berbeda. Bukan tahanan yang mengeroyok, katanya berbisik.

Lantas? Abdul Majid, dalam bisik yang lebih lirih, menyebut saat dia diperiksa, sejumlah orang berseragam dan tidak berseragam datang dan memaksanya mengaku membunuh Anwar Sadat. Selain dipukul, ditendang, dia juga disetrum dan jari-jari tangannya dijepitkan ke sela pintu. Ada juga yang mengetuk dengkulnya dengan martil. Apakah mereka polisi? Abdul Majid mengangkat bahu. Mungkin, bisiknya makin lirih.

Istri Abdul Majid meraung. Sejumlah wartawan datang dan sebentar kemudian berita tentang laki-laki yang dipaksa mengaku melakukan pembunuhan beredar. Dan tak perlu menunggu lama pula, bermacam versi berita dengan beragam variasi bumbunya melesat. Identitas Abdul Majid diungkap. Mulai dari pengusaha organ tunggal, sampai sebutan mantan artis yang pernah tampil di TVRI Programa Medan dan terkenal lantaran sering melantunkan lagu-lagu Pance F Pondaag. Juga nama istrinya, nama anaknya, bahkan nama kucing-kucing dan burung peliharaannya.

Polisi yang awalnya berkeras menyebut Abdul Majid sebagai pelaku pembunuhan Anwar Sadat pelan-pelan mulai goyah. Terlebih setelah kami menggelar unjuk rasa. Kami datang ke gedung DPRD kota dan provinsi dan meminta para wakil rakyat itu mendesak polisi melakukan tiga hal: mengeluarkan Abdul Majid dari tahanan, mengungkap pelaku sebenarnya, dan menghukum oknum-oknum yang memaksanya membuat pengakuan palsu.

Pemberitaan di media juga makin kencang. Kapolres ikut berkomentar. Pun Kapolda. Bahkan menteri. Mereka mengecam upaya pengambinghitaman Abdul Majid.

Enam hari kemudian Abdul Majid dibebaskan. Kami bergembira. Istri Abdul Majid membuat syukuran, masak nasi kuning dengan urap, telur, dan ikan asin, dan dibagi-bagikan ke seluruh warga lorong—kecuali ke rumah Zainuddin Tambi dan Marjili Samsuri. Panggung didirikan di depan rumahnya dan ketiga kibor miliknya dikeluarkan sekaligus. Kesembilan biduan kibornya untuk kali pertama tampil berbarengan.

Wartawan juga datang dan di hadapan mereka, Abdul Majid bilang akan mendesak polisi menghukum penganiaya dirinya. Mereka harus dipecat, serunya lantang. Dia juga meminta pelaku sebenarnya, serta orang yang menuduhnya, diseret ke penjara. Kalimat terakhir ini disuarakannya melalui mikrofon dari atas panggung.

Pernyataan Abdul Majid segera jadi berita yang paling banyak dibaca di media-media daring. Ribuan pendapat hinggap di kolom komentar. Rata-rata memberi dukungan. Esoknya, nama Abdul Majid juga bertengger gagah di halaman-halaman depan koran.

Kami merasa bangga, tetapi tidak lama. Kebanggaan runtuh hanya sepekan berselang tatkala kami membaca berita-berita lanjutan yang isinya justru memojokkan dia. Dalam berita disebut Abdul Majid tidak dapat lagi dihubungi. Tidak mau lagi memberi pernyataan. Dia diduga menerima uang damai dari oknum-oknum yang menyiksanya. Tak disebut berapa dalam berita, tapi entah berangkat dari informasi mana, di lorong kami, dan lorong-lorong lain, lenting ucap sela menyela menyebut jumlahnya tiada kurang dari lima ratus juta.

Abdul Majid membantah. Lalu kenapa berhenti? Kenapa tidak menuntut lagi? Dia punya jawaban, tapi tak ada yang percaya. Sejak itu kami menyebutnya Majid Pucuk. Sebutan yang diletupkan dengan nada kesal, dan tetap begitu meski Abdul Majid sudah tak lagi tinggal di lorong kami. Sekitar setengah tahun pascakejadian, dia pindah, menyusul Zainuddin Tambi dan Marjili Samsuri yang angkat kaki tiga bulan sebelumnya.

Terkait pelaku pembunuhan Anwar Sadat sendiri beredar sejumlah nama yang dicurigai. Namun, kami sudah tak lagi peduli.

Medan, 2020-2021

-----------------------
T Agus Khaidirlahir di Bima, Nusa Tenggara Barat, 4 Februari 1977. Menulis beberapa puluh cerpen yang sebagian besar telah tersebar dan dimuat di berbagai media cetak, daring, ataupun sejumlah buku antologi bersama. Kini tinggal di Medan sebagai wartawan. Masih memotret, sesekali melukis, mengerjakan desain grafis, membuat sketsa, ilustrasi. Juga masih bermusik, dan tentu saja bermain sepak bola.

Andi Yudha Asfandiyar lahir di Malang, 21 Maret 1966. Kuliah Desain Grafis ITB tahun 1985-1991. Sekarang bekerja di berbagai lini, antara lain sebagai desainer grafik, guru, pelatih berpikir kreatif, ilustrator, dan storyteller. Dia menciptakan karakter kucing Mio. Pendiri PicuPacu Kreativitas! Indonesia, PicuPacu Creative Children Community, serta Institut Drawing Bandung.


Sumber: Kompas id

Sabtu, 21 Oktober 2023

Kelas Jabatan dan Tunjangan Tinggi, Tetapi Kinerja Rendah: Menguak Paradoks Birokrasi

Kelas Jabatan dan Tunjangan Tinggi, Tetapi Kinerja Rendah: Menguak Paradoks Birokrasi
Kelas Jabatan dan Tunjangan Tinggi, Tetapi Kinerja Rendah


Linkkoe-Prosa: Birokrasi adalah tulang punggung dari setiap negara. Ini adalah jaringan kebijakan, regulasi, dan penegakan hukum yang menggerakkan roda pemerintahan. Dalam struktur birokrasi, unsur kelas jabatan dan tunjangan tinggi seringkali menjadi pusat perhatian. Namun, pada banyak kesempatan, kelas jabatan yang tinggi dan tunjangan yang besar tidak selaras dengan kinerja yang sepadan. Ini adalah cerita tragis dalam birokrasi yang sering terlupakan dan menggugah kita untuk lebih memahami dan mengatasi tantangan yang ada.


Kelas Jabatan: Janji Kenaikan Status

Sistem kelas jabatan diciptakan dengan niat baik. Tujuannya adalah untuk menciptakan struktur yang jelas dalam pemerintahan, memberikan penghargaan atas pengabdian dan pencapaian yang luar biasa, dan menginsentifkan PNS untuk berkembang dalam karier mereka. Tingkatan kelas jabatan menawarkan tangga yang dapat dinaiki, dengan harapan bahwa setiap langkah naik akan diikuti oleh peningkatan tanggung jawab dan kinerja yang lebih baik.

Namun, kenyataannya tidak selalu sesuai dengan harapan. PNS yang mencapai kelas jabatan yang tinggi seringkali merasa telah mencapai puncak dan tidak lagi merasa perlu berusaha. Mereka mungkin merasa bahwa kelas jabatan yang lebih tinggi adalah hadiah yang menjamin posisi dan keuntungan finansial yang lebih besar, bahkan jika kinerja mereka tidak mencerminkan pencapaian yang luar biasa. Mereka mungkin mencapai kelas jabatan tersebut dengan bantuan jaringan politik, nepotisme, atau faktor-faktor lain yang tidak berkaitan dengan prestasi mereka.

Tunjangan yang Membelenggu Kinerja

Tunjangan yang besar seharusnya menjadi imbalan atas kinerja yang luar biasa. Namun, dalam banyak kasus, tunjangan tersebut menjadi alasan untuk mengejar kelas jabatan yang lebih tinggi, bukan untuk meningkatkan kinerja atau pelayanan kepada masyarakat. Kesalahan utama adalah ketika kelas jabatan yang lebih tinggi diikuti dengan tunjangan yang lebih besar, terlepas dari pencapaian nyata. PNS yang berada di kelas jabatan yang lebih rendah mungkin merasa terpinggirkan, melihat kolega mereka yang berada di kelas jabatan yang lebih tinggi menerima tunjangan yang menggiurkan tanpa perlu membuktikan diri.

Namun, apakah pendapatan yang besar ini memberikan hasil yang lebih baik? Jawabannya seringkali tidak. PNS yang menerima tunjangan besar mungkin merasa kurang terdorong untuk mengejar kinerja yang luar biasa. Mereka merasa telah mencapai puncak karier mereka dan karenanya tidak lagi merasa perlu berusaha lebih keras. Mereka mungkin meremehkan pekerjaan mereka, merasa aman dalam keyakinan bahwa penghasilan mereka sudah mencukupi.

Dampaknya pada Pemerintah dan Masyarakat

Dampak dari kelas jabatan tinggi dan tunjangan yang besar tidak sejalan dengan kinerja adalah kerugian yang luas. Pemerintah mungkin mengeluarkan uang yang sangat besar untuk membayar tunjangan yang tidak selaras dengan kinerja. Ini dapat membebani anggaran pemerintah, yang pada gilirannya dapat menghambat kemampuan pemerintah untuk menyediakan layanan publik yang berkualitas. Ini juga dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi, karena mereka mungkin melihat bahwa uang pajak mereka digunakan dengan tidak tepat.

Ketika kinerja yang baik tidak lagi menjadi fokus utama, kelas jabatan yang lebih tinggi dan tunjangan yang lebih besar hanya menjadi perlindungan terhadap tuntutan untuk memberikan hasil yang nyata. Akibatnya, birokrasi mungkin gagal memberikan layanan yang efisien dan berkualitas kepada masyarakat, yang merupakan salah satu tujuan utama dari birokrasi itu sendiri.


Reformasi yang Diperlukan

Penting untuk diakui bahwa kelas jabatan dan tunjangan tinggi dapat menjadi alat yang efektif dalam mendorong kinerja yang luar biasa jika diatur dan diimplementasikan dengan benar. Dalam rangka mengatasi masalah kelas jabatan yang tinggi dan tunjangan besar, reformasi yang menyeluruh dan berkelanjutan diperlukan.

Reformasi ini harus mencakup:

  1. Penilaian Kinerja yang Obyektif: Kinerja harus menjadi faktor penentu utama dalam menentukan kenaikan gaji dan tunjangan. Penilaian kinerja harus dilakukan secara obyektif dan transparan.
  2. Pengawasan yang Efektif: Penting untuk memiliki pengawasan yang kuat dan efektif untuk memastikan bahwa kelas jabatan yang lebih tinggi dan tunjangan yang besar berdasarkan kinerja yang sebenarnya.
  3. Kebijakan Anti-Nepotisme: Kebijakan anti-nepotisme yang ketat harus diterapkan untuk mencegah praktik-praktik yang tidak sehat dalam kenaikan kelas jabatan dan pemberian tunjangan.
  4. Budaya Reformasi: Pemerintah harus berkomitmen untuk menciptakan budaya reformasi di dalam birokrasi, di mana kinerja dan pelayanan publik yang lebih baik menjadi prioritas utama.
  5. Transparansi dan Akuntabilitas: Transparansi dalam pengambilan keputusan dan akuntabilitas dalam pelaksanaan kelas jabatan dan tunjangan adalah penting untuk menghindari penyalahgunaan.

Kesimpulan

Kelas jabatan yang tinggi dan tunjangan besar adalah alat yang efektif untuk mendorong kinerja yang luar biasa jika diatur dengan baik. Namun, ketika kelas jabatan yang tinggi dan tunjangan besar diberikan tanpa memperhatikan kinerja, mereka menjadi sumber konflik dan ketidakpuasan dalam birokrasi. Reformasi yang sesuai harus mengarah pada perubahan budaya, di mana kinerja dan pelayanan publik yang lebih baik menjadi prioritas utama. Hanya dengan langkah-langkah ini kita dapat memastikan bahwa birokrasi mengabdi kepada masyarakat dengan efisien, efektif, dan sesuai dengan tujuannya. (lk)

Sabtu, 14 Oktober 2023

Taman TPS Simpang Lima: Kontravisual antara Diorama Indah dan Sampah

Taman TPS Simpang Lima: Kontravisual antara Diorama Indah dan Sampah



Linkkoe - Sumenep: Kamis kemarin saya iseng berselancar di intenet, dan setelah beberapa lama, saya menemukan berita yang terbit di laman website rri.co.id dengan tajuk: TPS di Simpang Lima Sumenep Disulap Jadi Taman (03 Oktober 2023), dan inilah alasan kenapa saya menulis prosa non fiksi ini.

Di dalam berita itu tertulis: TPS disimpang lima saat ini disulap menjadi Taman Kampong Arab. Proses pembangunannya baru mencapai 50% dari desain awal. Wow! Cepat amat! Begitu decak kagum saya, sebagai tanda penghormatan atas kesigapan dan keseriusan Pemerintah Kabupaten Sumenep dalam soal penyelesaian pembangunan Taman ini. Padahal, serasa baru kemarin saya mendengar kabar kalau TPS Simpang Lima Sumenep mau dibuat jadi taman, dan sekarang sudah hampir selesai. 

Di dalam berita itu juga tertulis: Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sumenep, Arif Susanto menceritakan, keberadaan TPS yang dekat dengan pemukiman warga, seakan kurang indah dan lestari. Sehingga TPS nya di pindah ke lokasi yang jauh dari pemukiman. Ah, ini ngawur, batin saya. Saya tidak kenal siapa Arif Susanto, tetapi yang jelas, ngawur. Kenapa saya bilang begitu? Karena TPS simpang lima itu sudah lama ada dan dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Sumenep juga, dan tentu menggunakan uang negara! Bukan uang pribadi Arif Susanto (Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sumenep). Dengan berkata seperti itu, dia sama saja menuding kalau Pemimpin Sumenep sebelumnya kurang tahu soal indah dan lestari. Nalar yang pendek (istilah kerennya: tidak kreatif dan tidak inovatif), akan cepat mengambil kesimpulan dan tidak mau capek berpikir, apalagi berbuat. Seandainya dia kreatif, maka TPS itu akan disulap menjadi taman dan sekaligus TPS yang mendunkung Ruang Terbuka Hijau (RTH), misalnya halte sampah—ah, saya yakin dia tidak tahu soal ini—seperti gambar di bawah ini.


Tempat Pembuangan Sampah Sementara



Lanjut. Setelah membaca berita itu, karena gambar yang menjadi pendukung berita kurang jelas, keesokan harinya, sekira pukul 6 lebih sedikit, saya pun didesak rasa penasaran untuk melihat langsung ke lokasi. Saya bangkit dari kemalasan berbuat dan berpikir. Dengan menunggangi sepeda motor Honda Grand saya berjalan-jalan, dan beberapa menit kemudian saya sampai di lokasi. Ternyata benar. TPS Simpang Lima Pajagalan sudah jadi taman, taman yang indah! Saya turun dari kendaraan, dan duduk di sekitar taman. Sambil menghadap ke arah matahari yang sudah sepenggalah tingginya, saya hidu udara dalam-dalam. Terasa segar sekali. Saya merasakan ketenangan sudut simpang lima pajagalan sambil menikmati orang lalu-lalang. Tetapi, tak lama dari itu, ketenangan saya dikejutkan dengan suara orang berteriak, yang mengatakan: Hei, jangan buang sampah di situ! Saya pun segera menolehkan kepala. Mata saya dikejutkan dengan sebuah adegan: seorang laki-laki tua yang ketakutan, belari ke arah barat dan tenggelam di utara. Saya juga melihat petugas sampah yang kembali khusyuk menyapu. Saya juga melihat tumpukan sampah di trotoar, pas di belakang taman. Nah, ini sungguh pemandangan yang kontravisual: diorama indah dan sampah, begitu batin saya, dan pertanyaan yang muncul dalam kepala saya: kenapa ini dibiarkan? Kenapa? Saya tidak mau berspekulasi dalam pikiran saya sendiri. Jadi saya dekati petugas sampah itu, saya beri sebatang rokok, dan saya tanyai dia.

“Kenapa Bapak berteriak?”

“Saya menghalagi warga yang membuang sampah di sekitar taman itu.”

“Kenapa masih ada warga yang membuat di situ.”

“Mungkin karena tempat pengganti pembuangan sampah sementara ini terlalu jauh.”

“Lho, bukannya pemerintah bisa menugaskan petugas sampah untuk mengangkuti sampah-sampah warga?”

“Itu saya tidak tahu. Itu urusan atasan. Jadi jangan tanya saya.”

“Memangnya tempat penggantinya di mana?”

“Dekat bandara.”

“Lho, kenapa di Bandara? Bukannya itu menggangu orang-orang yang ingin ke Bandara?”

“Itu saya tidak tahu. Itu urusan atasan. Jadi jangan tanya saya.”

“Apakah di sana sudah dibangun TPS penggantinya?”

“Sudah dibilang jangan tanya saya. Tanya atasan saya.”

Karena saya tidak mau terlalu lama menggangu pekerjaan Bapak itu, dan sepertinya Bapak itu sudah mulai kesal, maka saya sudahi percakapan kami.

Matahari sudah terlalu terik, maka saya putuskan pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, saya mendekam lagi di kamar. Saya berselancar lagi di internet dan mencari artikel yang ada hubungannya dengan TPS Simpang Lima, dan saya menemukannya. Artikel ini dimuat dalam laman situs https://sumenepkab.go.id (situs Pemerintah Kabupaten Sumenep), 04/10/2023, dengan tajuk: Dinas PUTR Sumenep Siap Bangun TPS di Beberapa Lokasi. Dalam artikel itu tertulis begini:

Sehubungan pembangunan Tempat Pembuangan Sampah (TPS) di Kelurahan Pajagalan Kecamatan Kota, ditolak warga. Sehingga, pembangunannya ditempatkan di Desa Pabian tepatnya berdekatan dengan batas sebelah barat Bandar Udara Trunojoyo.

Kepala Bidang Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Permukiman (PLP) Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Kabupaten Sumenep, Dedi Falahuddin, mengungkapkan, jika pembangunan TPS di tempat yang sebelumnya merupakan area Rumah Potong Hewan (RPH) ditolak warga, atas saran Dinas Lingkungan Hidup (DLH) untuk membangun TPS di tempat yang jauh dari pemukiman.

"Pembangunan TPS di sebelah timur SMA PGRI Sumenep ini akan dibangun melalui dana Perubahan Anggaran Kegiatan (PAK) dalam waktu dekat," ujar Dedi, Selasa (03/10/2023).

Dari artikel itu, saya mulai sedikit mengerti, bahwa pemindahan lokasi TPS Simpang Pajagalan Sumenep ke sebelah barat Bandar Udara Trunojoyo, karena upaya persuasif Pemerintah Kabupaten Sumenep di tolak warga sekitar RPH (Rumah Potong Hewan) yang jaraknya tidak terlalu jauh dari TPS Simpang Lima. Dan lebih aneh lagi, bahwa dana pembangunan TPS pengganti tersebut akan didanai dari Anggatan Perubahan Anggaran Kegiatan (PAK). Ini benar-benar ironi! Dalam urusan ini, saya bertanya-tanya: Apa sebenarnya yang ada dalam kepala OPD di Kabupaten Sumenep? Taman sudah hampir selesai, tetapi lokasi penggantinya masih akan dibangun dan itu pun harus menunggu anggaran dari PAK. Ini sungguh menciderai nama besar Bupati Sumenep, Achmad Fauzi Wongsojudo. Beliau sudah semangat menata kota, tetapi kepala OPDnya tak mau mengimbangi.

Jadi, sebelum menutup prosa non fiksi ini, Pemerintah Kabupaten Sumenep harus segera mencarikan solusi terkait dengan pengelolan sampah di Sumenep. Kalau TPS Simpang Lima dianggap tidak indah dan asri, seharusnya TPS yang ada di dekat pasar dan makam di Pamolokan juga demikian adanya. Saya yakin Bupati Sumenep mampu memberikan solusi yang terbaik, seperti mengoptimalkan para petugas sampah dan armadanya. Dalam Perda Nomor 12 Tahun 2012 sudah jelas diatur. Pasal 7, poin a dan b, menyebutkan:

Setiap orang berhak :
  • mendapatkan pelayanan dalam pengelolaan sampah secara baik dan berwawasan lingkungan dari pemerintah daerah dan/atau pihak lain yang diberi tanggungjawab untuk itu;
  • berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, penyelenggaraan, dan pengawasan di bidang pengelolaan sampah; 


Baiklah, sebelum benar-benar menutup prosa non fiksi ini, saya ingin menyertakan beberapa hal, sebagai berikut: 

  • Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjamin bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa. Kebebasan atas hak tersebut merupakan hak asasi manusia yang melekat secara kodrati sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak tersebut tidak dapat diingkari. Pengingkaran terhadap hak ini berarti mengingkari martabat kemanusiaan, yang berarti harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
  • Selain menjamin kemerdekaan berekspresi, Negara juga menjamin dan memberikan perlindungan terhadap hak individu atas kehormatan atau reputasi (right to honour or reputation) setiap warga negaranya. Salah satu bentuk perlindungan negara terhadap hak atas kehormatan atau reputasi tersebut adalah dengan mencantumkannya ke dalam hukum pidana nasional, yaitu dengan melakukan kriminalisasi terhadap setiap serangan atau perbuatan yang merampas atau merusak integritas setiap orang, mulai dari perbuatan pencemaran nama baik (defamation), penghinaan (insult), hingga kepada fitnah dan menista (libel). 

Baiklah, salam akal sehat, dan jangan baper ya. 

Minggu, 21 Mei 2023

Elliza Mengaku Kawin dengan Telepon Selulernya


Elliza Mengaku Kawin dengan Telepon Selulernya




Elliza Mengaku Kawin dengan Telepon Selulernya
Cerpen: Zaenal Radar T. (Kompas 21/05/2023)


“Sah...?”
“SAAAAH!!!”

Pertanyaan Pak Penghulu itu dijawab dengan sigap dan serempak oleh para saksi. Lalu saksi dan hadirin mengucap syukur. Setelah itu penghulu kampung membaca doa. Semua yang hadir mendengarkan dengan khusuk dan mengaminkan, termasuk segelintir tamu undangan lain yang hadir baik secara off-line maupun virtual, karena acara ini digelar live melalui medsos mempelai perempuan. Elliza, perempuan cantik itu, telah resmi dan sah bersuamikan telepon selulernya.

Para tamu undangan yang hadir langsung memberikan selamat kepada kedua mempelai, terutama kepada mempelai perempuan. Adapun mempelai lelaki, si telepon seluler itu, banyak mendapatkan ucapan dari para netizen. Baik ucapan suka cita maupun pujian dan bahkan makian. Tidak sedikit netizen mencemooh dan menghujat. Tapi kata si mempelai perempuan, “Apa peduliku sama kaum netizen? Mereka enggak berhak ngatur hidupku. Cuekin aja!”

Demikianlah cerita Elliza kepada saya. Saya sendiri belum begitu percaya. Sebab saya masih belum menemukan jawaban, apakah telepon seluler memiliki jenis kelamin? Kalau ada telepon seluler laki-laki, tentu ada pula perempuan, atau mungkin banci? Saya kemudian kembali mendengarkan cerita Elliza, yang tak lain sahabat saya ini.

Setelah itu, lanjut Elliza, dia yang sudah resmi menjadi sepasang pengantin baru berpredikat suami-istri menempati sebuah rumah baru di kompleks perumahan elite. Sengaja rumah lama di dalam gang dia tinggalkan, berikut sejumlah tetangga yang dianggap selalu nyinyir terhadapnya, bikin Elliza overthinking.

Di tempatnya yang sekarang, dia katakan, berharap mendapat suasana baru, jauh dari ibu-ibu tetangganya dulu yang selalu hectic dengan urusan orang lain. Elliza merasa tentram setentram-tentramnya, walau baru beberapa hari tinggal di sana, bersama pasangan hidupnya, si telepon selular.

Makhluk yang dia katakan tidak pernah neko-neko, tidak pernah protes, tidak pernah ngambek, dan selalu setia bersama menemani hari-harinya, yeah si telepon selulernya itu. Kalau soal netizen yang kerap memberi komentar negatif kepada pasangan baru ini, Elliza cukup me-nonaktifkan kolom komentar telepon selulernya, eh suaminya. Beres!

***

Dua tahun lalu, sebelum dia memutuskan mengaku kawin dengan telepon selulernya, Elliza pernah dekat dengan seorang lelaki. Bahkan kedekatannya dengan kekasihnya itu sudah sangat serius, sepakat akan melangkah ke jenjang pernikahan. Tetapi entah kenapa, si lelaki membatalkannya begitu saja tanpa alasan yang jelas. Sampai saat ini Elliza tidak pernah tahu alasan si lelaki membatalkan perkawinan mereka, meskipun undangan sudah disebar, hotel tempat melangsungkan resepsi sudah di-booking, dan katering sudah lunar dibayar.

Saya masih ingat, selepas kejadian itu, sepanjang siang dan malam selama hampir seminggu Elliza mengurung diri di kamar. Elliza tidak mau menemui siapa pun, termasuk saya yang kerap mondar-mandir di depan rumahnya, khawatir dia bunuh diri. Setelah masa cuti kantor berakhir, Elliza kembali bekerja seperti biasa. Hanya saja, kepribadiannya menjadi berubah seratus delapan puluh derajat. Dia sudah tidak lagi seceria sebelumnya. Elliza berubah menjadi sosok pendiam dan tertutup. Bahkan hilang dari pergaulan dengan karyawan lain.

Hanya kepada saya Elliza bersedia mencurahkan perasaanya. Boleh dibilang, sayalah lelaki satu-satunya sahabat perempuan itu. Banyak orang menduga, saya kekasihnya. Padahal saya hanya berteman biasa. Saya dan Elliza sudah bersahabat sejak kecil. Satu kelas sejak sekolah dasar, bahkan satu sekolah di jenjang berikutnya. Setelah lulus perguruan tinggi, takdir mempertemukan kami di tempat kerja yang sama.

Jujur saja, saya mencintainya sejak baru mengenal arti jatuh cinta. Perasaan itu tidak pernah saya utarakan sampai detik ini. Sebab Elliza sudah lebih dulu berucap, dia sudah menganggap saya sebagai saudaranya. Sudah beberapa kali lelaki menjadi kekasihnya, putus-nyambung, nyambung putus lagi, bahkan yang terakhir ingin serius menikah dengannya. Disela-sela setiap hubungan asmaranya, saya berada di tengah-tengahnya. Saya menjadi sapu tangan di saat dia menangis, menjadi ember saat air matanya tumpah, menjadi sandaran saat dia terluka.

Elliza sudah tidak lagi punya keluarga sejak kecil, ayah dan ibunya tewas dalam sebuah kecelakaan kereta api. Dia hidup dan dibesarkan di sebuah panti asuhan, sampai akhirnya berhasil keluar setelah mendapat pekerjaan. Elliza pun telah menganggap keluarga besar saya sebagai keluarganya.

Ada perasaan sakit bercampur senang saat mendengar Elliza mengutarakan kepada saya dia akan melepas masa lajang. Namun kala itu saya berharap semua berjalan dengan baik. Elliza hidup bersama lelaki lain yang dia cintai, saya cukup menjadi sahabat selama-lamanya. Dia katakan, dia tidak akan bisa jauh dari saya meskipun telah menjadi milik orang lain. Waktu itu saya menyetujuinya, memakluminya, asalkan dia bahagia.

Yang membuat saya heran waktu itu, Elliza melarang saya mengundang keluarga saya di resepsi perkawinannya. Hanya saya yang boleh hadir. Dia bilang tidak mau mengundang banyak orang. Tempat resepsi sengaja digelar di pelosok. Bukan di vila atau motel. Tidak apa-apa di dusun terpencil, yang penting masih ada sinyal.

Elliza mengaku membayar penghulu kampung. Penghulu yang dia katakan biasa menikahkan kawin kontrak, menikahkan pasangan sejenis, bahkan sekarang si penghulu menikahkan dirinya dengan telepon seluler. Saya shock saat tahu, pasangan hidup perempuan yang sangat saya cintai ternyata telepon selulernya! Sayangnya, saya sendiri tidak bisa hadir karena waktu itu sedang diare berat.

***

Saya penasaran dengan kehidupan Elliza sekarang. Apa yang dilakukan sepasang pengantin baru di rumah baru mereka, seorang perempuan yang kawin dengan telepon selulernya. Dan saat liburan kantor, pagi-pagi sekali saya tiba di kediaman Elliza. Perempuan itu menyambut saya, memeluk saya dengan hangat, lalu menarik lengan saya masuk ke halaman rumahnya yang luas. Dia bilang sudah menyiapkan hidangan untuk saya. Elliza akan mengambil sendiri minuman lebih dulu, karena dia memilih tidak punya pembantu.

Sebuah telepon seluler, yang dia katakan sebagai pasangan hidupnya, teronggok di ujung meja taman. Saya duduk menunggu Elliza mengambil minuman. Saya meraih telepon seluler itu, menggenggamnya sesaat, lalu tiba-tiba saya ingin membukanya. Tapi saya ragu. Saya takut perempuan itu tahu dan bakalan marah.

Selama ini saya belum pernah meminjam atau memegang telepon selulernya. Baru kali ini, setelah si telepon selulernya ini dia katakan resmi menjadi pasangan hidupnya, saya memberanikan diri memegangnya. Saya benar-benar penasaran ingin melihat isinya.

Sayang, saya gagal membukanya, karena tidak tahu kata sandinya. Saya letakkan kembali telepon seluler itu, sambil menunggu kedatangan Elliza membawa minuman. Elliza datang membawa dua cangkir kopi dan menyodorkan satu untuk saya. Dia tak perlu bertanya lagi soal selera saya pada kopi hitam dengan sedikit gula.

Sebelum kami minum, terdengar notifikasi telepon selulernya. Lalu dia pamit sebentar dan berjalan menjauh, duduk di sudut dekat kolam renang. Elliza tidak bicara di telepon selulernya, melainkan menekan-nekan tuts telepon selulernya sambil tertawa-tawa, entah sedang mengetik apa. Dia terus menatap layarnya, memandanginya beberapa saat, setelah itu dia tertawa lagi. Elliza tampak bahagia sekali. Saya belum pernah melihat perempuan itu sebahagia seperti sekarang. Tawanya begitu lepas.

Saya terus menunggu dan memerhatikannya. Apa yang sedang dia lakukan terhadap pasangan hidupnya... telepon selulernya?

***

Sampai sore saya berada di sampingnya, ngobrol ngalor ngidul soal banyak hal, ditemani telepon selulernya. Saat saya pamit pulang, Elliza meminta saya untuk menginap. Elliza bilang saya bisa tidur di kamar tamu, sedangkan dia di dalam, sekamar dengan telepon selulernya.

Apa yang dilakukan sepasang pengantin baru, seorang perempuan dan pasangannya; telepon selulernya? Apa mungkin Elliza masih belum puas asyik masyuk dengan telepon selulernya itu. Seharian ini, di sela-sela percakapan kami, selalu saja diselingi dengan permintaan maafnya karena harus menjauh dari saya demi bercakap-cakap dengan telepon selulernya. Atau kadang dia tertawa terpingkal-pingkal sambil tangannya terus memegang erat telepon selulernya, sorot matanya tidak pernah lepas menatap layarnya, seolah-olah tiada peduli dengan siapapun di dekatnya. Berkali-kali dia meminta maaf karena sudah nyuekin saya.

Saya terhenyak saat Elliza menceritakan kenapa dia harus kawin dengan telepon selulernya. Elliza sempat mengatakan bahwa sebenarnya dia mencintai saya, dan pernah berharap menjadi istri saya. Tapi semua itu harus dia buang jauh-jauh. Elliza tidak ingin pertemanan yang sudah lama terjalin harus berakhir jika saya dan dia harus hidup bersama.

Elliza sudah seringkali mendengar ada pertemanan yang harus bubar gara-gara perceraian, Padahal sebelum menikah hubungan mereka baik-baik saja. Itulah yang membuat Elliza berharap hubungan saya dengannya cukup sebatas sahabat. Elliza hanya ingin hidup seperti sekarang ini, terus menjalin persahabatan dengan saya, merawat pertamanan yang sudah sekian lama terjalin, lalu memutuskan kawin dengan telepon selulernya.

Mendengar jawabannya, entah kenapa saya seolah terhipnotis kata-katanya. Saya jadi berpikir untuk menjadi seperti dirinya, kawin dengan telepon seluler saya. Tapi ini tentu sulit terjadi. Saya harus menghadapi keluarga besar saya, yang tentu akan menentang keinginan itu. Saya berbeda dengan Elliza, yang hidup sebatang kara, tidak seorang pun mampu menghalang-halangi keinginannya memutuskan hidup sesuai pilihannya.

“Kenapa perempuan itu menikah dengan telepon selulernya?” tanya atasan saya, perempuan lajang yang sudah berumur, saat saya ceritakan tentang Elliza.

Saya tidak mau menjawabnya langsung. Saya minta dia membuka email-nya besok pagi, semua alasan Elliza memilih menikah dengan telepon selulernya akan saya tuangkan semua di situ malam ini. ***

Tangerang Selatan, 2021-2023




Zaenal Radar T. Menulis cerpen, novel dan sejumlah acara televisi. Buku kumpulan cerpennya, Si Markum (Penerbit Alvabet, 2017). Menetap di Tangerang Selatan.

*Sumber: Kompas


Review

Food

pendidikan