Linkkoe Jurnal: Terjemahan
Tampilkan postingan dengan label Terjemahan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Terjemahan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 31 Juli 2020

Si Bos

Si Bos
Karya: Robert Coover










Pria bersenjata itu menyalakan rokok, melihat jam tangan dengan muka yang muram, saat senja jatuh di atas lorong yang kosong. Dia sendirian di tempat yang sepi, dipanggil ke sini untuk menerima instruksi dari penjahat kelas kakap yang biasa dipanggil Boss, tetapi Boss tidak ada di sini. Tidak ada satu orangpun. Ini menyeramkan. Dia merasa seperti pria yang sudah diincar. Ketika dia memerintah pembunuhan, maka seseorang akan benar-benar mati. Pria bersenjata itu ingin ada saksi untuk menyaksikan apa yang terjadi selanjutnya, tetapi gang itu sepi.

Dia melirik jam ditangannya, hadiah dari si Boss. Melihat koin emas, tidak ada angka. Lelucon, mungkin: waktu adalah uang atau mungkin uang adalah waktu; itu tergantung pada apa yang kamu butuhkan. Boss adalah joker hebat. Jam tangannya sangat tipis, seperti tepi silet, sulit dilihat, terutama dalam cahaya yang remang. Di sana dan tidak di sana, seperti waktu itu sendiri. Yang mungkin tidak dikencani –mungkin itulah yang dikatakan oleh wajah tanpa nomor. Bagaimana Kamu bisa mengukur kotoran yang Kamu kumpulkan? Dia tidak tahu apa yang membuat jam itu terus berjalan. Baterai di dalam mungkin. Kapan baterai mati? Jangan pikirkan tentang itu.

Pada satu penugasan, pria bersenjata itu telah menghabisi beberapa pengisap sabu yang berada di gang, tetapi tidak banyak. Dia piawai dalam menjatuhkan seseorang di stasiun kereta api, lobi hotel atau di jalan pada siang hari. Ada resiko lebih besar untuk tertangkap,itu jadi sebuah adrenalin berlebih. Itulah mengapa dia senang melakukan pekerjaan kotor yang diberikan si Boss. Adrenalin itu mengingatkannya bahwa ia hidup, padahal tidak banyak yang melakukannya.

Di atas kepala, lampu menyala, cahaya kuningnya hanya noda di bawah langit yang redup. Lalu seorang wanita lewat. Waktunya tiba, si penembak berpikir. Apakah dia sudah dikirim oleh si Boss? Apakah dia adalah kesaksiannya? Korbannya? Algojonya? Tangannya ada di dalam jaketnya bertumpu pada gagang revolver yang di sarungkan di bawah ketiaknya. Mungkin hanya seorang gadis pekerja yang tidak bersalah, mencari sesuatu, berkeliaran di tempat yang tidak pantas. Itu tidak akan menghentikan si Boss dari menargetkannya atau memanfaatkan dia.

Kamu mencari seseorang? Dia bertanya, bersembunyi dalam bayang-bayang, rokoknya terayun saat dia berbicara.

Saya tidak tahu, katanya. Dia melemparkan tatapan ingin tahu padanya, lalu dengan cepat membuang muka. Sebuah sinyal? Dia mungkin harus melemparkan dirinya ke balik tong sampah, tetapi kewaspadaannya membuatnya tetap di tempatnya berdiri.

Dia berjalan perlahan menjauh ke dalam bayang-bayang di ujung gang, lalu memutar dan berjalan kembali menuju cahaya. Dia tampak ketakutan, tersesat. Sangat rentan. Di atasnya, lampu jalan berayun berirama, menyebabkan bayangan meregang surut, meregang surut, seperti jantung yang berdetak perlahan. Dia berhenti di bawah lampu, melihat sekeliling, dengan jelas memikirkan sesuatu. Dia tidak cantik, tetapi memiliki paras yang manis. Jantungnya berpacu lebih kencang. Dia melepaskan tangannya dari revolver.

Ketika dia kembali berjalan menyusuri gang, pria bersenjata itu mengibaskan rokoknya dan berjalan bersamanya, bergerak saat dia bergerak. Kiri, kanan, kiri . . . itu semacam tarian. Dia bertanya apakah dia mengolok-oloknya. Dia bilang dia tidak tahu caranya bersenang-senang. Sebenarnya, dia merasa terjebak dalam sesuatu yang fundamental. Perasaan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Abstrak, namun anehnya erotis.

Itu tidak akan ada gunanya, katanya, pikirnya.

Ya, saya tahu, nona. Tapi aku suka itu.

Mereka mencapai ujung gang yang gelap, terus bersama-sama, dan kembali ke lampu jalan. Gang terlihat menghilang, cahaya lampu memudar. Ada kelelawar di suatu tempat. Tampaknya waktu mulai berhenti, meskipun dia tahu dan tak bisa menghentikannya, ini akan membuat berantakan. Si Boss punya rencana yang belum terjadi. Lupakan. Khawatir tentang mereka ketika mereka melakukannya.

Ketika tarian mereka berakhir, malam telah larut, nampak jelas kontras antara kolam dengan cahaya lampu yang telah mereka masuki dan seketika seluruh sdunia hilang dalam kegelapan. Itu hebatnya, katanya. Dia menatapnya, wajahnya pucat tetapi berseri-seri dalam remang cahaya. Dia mengangguk. Senyum sedihnya seperti berkata, ya, tapi itu tidak cukup, kan? Dia menatap ke bawah ke kakinya, dan ketika dia melakukannya, wajahnya ditutupi bayangan. Apakah dia akan mengkhianatinya? Dia bertanya-tanya. Apakah dia peduli?

Dia tiba-tiba melirik kembali ke gang. Dia mengikuti tatapannya. Uh oh. Sesuatu bergerak. Tangannya terlalu lambat untuk keluar dari saku jaket. Awas! Dia menangis, dan melempar dirinya di depannya. Sebuah tembakan, darrr. Dia ambruk ke pelukannya. Memegangnya, dia menembak ke dalam kegelapan. Pelurunya memantul melalui gang seperti tawa ironis. Tunggu, sayang? Dia memohon, tetapi sudah terlambat.

Itu pasti . . . kenapa . . . dia berbisik, dan mati dalam pelukannya.

Jantungnya mengeras lagi. Gigitan kemarahan di sudut matanya. Dia tidak mengerti apa-apa.

---------------------------------------------
Diterjemahkan dari cerpen The Boss karangan Robert Coover yang terbit di The New Yorker. Robert Coover menulis fiksi dan karya terbarunya sebuah novel “Huck Out West”.

Jumat, 24 Juli 2020

Matahari Terbit

Matahari Terbit
Oleh: Erika Kobayashi




Dia perlahan membuka matanya. Dia melihat ke cahaya matahari. Matahari memiliki diameter 1.400.000 kilometer. Energi dari fusi nuklir di pusatnya membutuhkan lebih dari sejuta tahun untuk mencapai permukaan. Panas permukaannya lebih dari 6000°C. Panasnya disertai cahaya, cahaya yang membutuhkan waktu delapan menit sembilan belas detik untuk mencapai Bumi.

Dia lahir di Tokyo pada 10 Agustus, dua tahun lebih sehari setelah Nagasaki diledakkan, tiga hari setelah Hiroshima, oleh kilatan bom nuklir.

Dia muncul dari rahim ibunya setelah meringkuk selama sepuluh bulan lebih sepuluh hari.

Dia bernama Yoko, yō dari Taiheiyō, bahasa Jepang untuk Samudra Pasifik.

Pada usia enam tahun, dia masuk sekolah dasar. Ibunya membagi rambut hitamnya yang panjang menjadi tiga bagian dan mengepangnya. Di Pasifik, cahaya terang muncul di atas Bikini Atoll. AS sedang menguji bom, mengaturnya untuk melihat apa yang akan terjadi, pertama atom dan kemudian hidrogen. Ledakan cahaya, kolom air, awan berbentuk jamur, di luar sana di tengah lautan. Ledakan itu menyapu perahu nelayan, S.S. Lucky Dragon No. 5. Awaknya jatuh sakit, beserta tunanya, sekarang “atom” dibawa ke pasar ikan Tsukiji hanya untuk dikubur di tanah.

Dia duduk di samping ibunya dalam kegelapan gedung bioskop dan menyaksikan ceritanya terungkap dalam tayangan hitam-putih. Ibunya sedang merajut di sampingnya dalam kegelapan, jari-jarinya lincah dengan benang seperti rambut putrinya, dan ia menyelesaikan syal yang dibuatnya hari itu.

Kemudian pada bulan Maret itu, Parlemen menyetujui, untuk pertama kalinya sejak perang, pendanaan untuk tenaga nuklir. Dana totalnya mencapai 235 juta yen, dan produksi dimulai dengan sungguh-sungguh untuk membuat isotop U-235.

Pada usia sebelas tahun, setahun sebelum dia masuk sekolah menengah, Jepang mengeluarkan pecahan uang 10.000 yen pertamanya. Menampilkan Pangeran Shōtoku, yang dikenal di zaman kuno sebagai Surgawi-yang-dari-mana-matahari terbit. Dia menatap wajahnya, terpesona. Suatu hari aku akan memegang di tanganku sebanyak mungkin yang bisa ditahan, pikirnya.


Pada usia enam belas tahun, dia adalah seorang senior di sekolah menengah, dan Jepang mengalirkan listrik pertama yang dihasilkan nuklirnya. Kegentingan terjadi di sebuah desa kecil bernama Tōkai, rumah dari Reaktor Demonstrasi Tenaga Jepang. Hal itu muncul pada berita televisi, tetapi keluarganya tidak memiliki televisi dan dia melewatkannya. Apa yang dia ingat adalah guru matematika sekolah menengahnya pergi ke Tōkai ketika suaminya mendapat pekerjaan baru di sana.

Pada usia delapan belas tahun, dia pergi ke perguruan tinggi junior khusus wanita. Protes mahasiswa atas Perjanjian Keamanan AS-Jepang mencapai puncaknya, tetapi dia tetap tidak tersentuh. Dia lulus tanpa kesulitan dan mencari pekerjaan.

Pada usia dua puluh tahun, dia mendapat pekerjaan itu, di Bank Kredit Jangka Panjang Jepang. Rambutnya tidak lagi terbagi tiga dan dikepang—rambutnya pendek dan melengkung menjadi gelombang permanen.

Keinginannya menjadi kenyataan: setiap hari, tangannya dipenuhi dengan lembar-lembar 10.000 yen. Semua milik bank, bukan miliknya, tentu saja, tetapi dia tetap lupa diri ketika menghitungnya. Hari ini, mesinlah yang melakukan penghitungan, tetapi dulu pekerjaan itu dilakukan oleh wanita yang duduk di dekat jendela di bank.

Pada usia tiga puluh tahun, setelah bekerja selama sepuluh tahun, dia menikah dengan seorang pria yang berhenti menjadi dokter untuk mengejar impiannya menjadi seorang penulis. Dia sendiri, segera saja, menjadi ibu dari empat anak perempuan. Aku mungkin harus menyebutkan bahwa salah satu dari keempat putri ini adalah aku. Karena ini adalah kisah ibuku.

Pabrik nuklir bermunculan di seluruh Jepang. Pada saat ibuku berusia empat puluh, tiga puluh lima reaktor mengalirkan 27.881.000 kilowatt listrik ke kota-kota di seluruh negeri. Jalan-jalan mereka bersinar siang dan malam dengan cahaya bertenaga nuklir.

Pada usia lima puluh satu tahun, Bank Kredit Jangka Panjang Jepang bangkrut; anak-anak perempuannya, termasuk aku, telah meninggalkan rumah untuk bekerja atau menikah. Yukichi Fukuzawa sudah lama menggantikan Pangeran Shōtoku dalam uang 10.000 yen. Saham bank yang dibeli dengan uang tabungannya menjadi begitu banyak kertas.

Pada usia enam puluh tiga tahun, suaminya meninggal, diikuti oleh ibunya pada tahun berikutnya. Kami semua harus membeli pakaian baru untuk setiap pemakaman.

Pada tahun yang sama ketika ibunya meninggal, gempa bumi dan tsunami menghantam Tohoku. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi meledak dalam kilatan cahaya. Awan putih naik ke langit dalam video internet menjadi bahan radioaktif tak terlihat yang menghujani kehidupan nyata. Kematian ibunya bukan karena bencana atau radiasi, sekalipun; hanya usia tua. Dia meninggal saat malam hari, pada Hari Natal. Dia meninggalkan sweater dan topi yang belum selesai dan beberapa bola benang berwarna merah. Lampu jalan dan rambu-rambu neon bersinar saat salju turun dari langit malam Tokyo yang aneh.

Dia mengenakan gaun berkabung hitam legam dengan rambut ditarik ke belakang dan kacamata hitam saat menghitung uang yang dia habiskan di pemakaman. Tangannya dipenuhi dengan lembar-lembar 10.000 yen. Operasi katarak beberapa tahun yang lalu telah membuat cahaya dalam ruangan terlalu terang, dan dia membutuhkan kacamata hitam untuk melihat.

Segera setelah itu, kami semua pergi ke kafe. Sebagai latar belakang, Glenn Miller Orchestra memainkan “Moonlight Serenade.”

Aku kemudian tahu kalau lagu di sisi-B album aslinya disebut “Sunrise Serenade.”

Aku juga tahu kalau bom nuklir pertama di dunia jatuh di Trinity Site di New Mexico, radio memainkan lagu itu.

Bom, yang disebut “The Gadget”, berdiameter 1,5 meter. Pendanaan Proyek Manhattan mencapai dua miliar dolar. Energi yang dilepaskan oleh fisi plutonium di pusatnya menghasilkan panas mencapai 66.000°C, sebelas kali lipat dari panas permukaan matahari. Apa pun yang terpapar cahayanya akan terbakar.

Pada usia enam puluh delapan tahun, anak perempuannya yang lain akan menjadi seorang ibu.

Setelah sepuluh bulan lebih sepuluh hari, bayi itu akan keluar dari perutku.

Dan ketika perlahan-lahan membuka matanya, apakah ia akan melihat ke cahaya matahari?




----------------------------------
Catatan:

[1] Diambil dari Asymptote, cerpen ini diterjemahkan oleh Ahadul Fauzi Ahmady dari “Sunrise” karya Erika Kobayashi. Terjemahan bahasa Inggris oleh Brian Bergstrom.

[2] Erika Kobayashi, lahir di Tokyo pada 1978, adalah seniman visual, mangaka, dan novelis yang berbasis di Tokyo. Novelnya, “Madame Curie to choshoku wo” (Breakfast with Madame Curie, 2014) yang menghubungkan Jepang pasca-Fukushima dengan sejarah penemuan listrik dan radiasi yang lebih luas, menjadi nominasi untuk Yukio Mishima Award dan Akutagawa Award pada tahun 2014.

[3] Brian Bergstrom adalah dosen di Departemen Studi Asia Timur di McGill University di Montréal. Terjemahannya dari cerita Erika Kobayashi “See” dianugerahi runner-up dalam kontes Close Approximations Translated Fiction 2017 yang diselenggarakan oleh Asymptote.

Senin, 20 Juli 2020

Monster Hijau Kecil

Monster Hijau Kecil
Cerpen Haruki Murakami



Suamiku pergi bekerja seperti biasa, dan aku tidak bisa memikirkan apapun yang harus dilakukan. Aku duduk sendirian di kursi dekat jendela, menatap ke kebun melalui celah di antara tirai. Aku punya alasan kenapa melihat ke kebun: Tidak ada lagi yang bisa aku lakukan. Dan kupikir cepat atau lambat, jika aku duduk disana, aku mungkin dapat memikirkan sesuatu. Dari sekian banyak hal yang ada di kebun, yang paling sering aku lihat adalah pohon oak. Itu pohon kesukaanku. Aku menanamnya ketika aku masih kecil, aku terus-menerus melihatnya, berbicara dengannya sepanjang waktu.

Hari itu juga, aku mungkin sedang berbicara dengan pohon oak – aku tidak ingat persis. Dan aku tidak tahu berapa lama aku menatap sana. Menjelang sore aku masih menatap kebun. Tak berapa lama gelap menghampiriku: pasti aku sudah lama menatap sana. Kemudian, aku mendengar suara. Suara yang datang dari tempat yang jauh–semacam suara menggaruk-garuk. Awalnya aku pikir itu berasal dari tempat yang jauh di dalam diriku, aku mendengar sesuatu–suatu peringatan dari kepompong gelap yang berputar-putar dalam diriku. Aku menahan napas dan mendengarkannya. Iya, tidak salah lagi. Sedikit demi sedikit, suara itu bergerak mendekatiku. Apa itu? Aku tidak tahu. Tapi membuat tubuhku merinding.

Tanah di dekat pangkal pohon mulai bergerak ke atas seolah ada cairan tebal yang mendorongnya ke permukaan. Aku kembali menarik napas. Lalu tanah itu mulai terbuka dan runtuh seketika yang kemudian terlihat sebuah cakar tajam. Mataku tertuju pada mereka, dan tanganku gemetar. Sesuatu akan terjadi, kataku dalam hati. Dimulai dari sekarang. Cakar itu menggores-gores ke tanah, dan segera lubang itu terbuka lebih lebar, dari sana muncullah seekor monster kecil yang merayap.

Tubuhnya ditutupi sisik hijau yang bersinar. Begitu keluar dari lubang itu, ia bergertar sampai ujung tanah yang menempel padanya terlepas. Ia memiliki hidung yang panjang dan lucu, berwarna hijau dan semakin menghijau. Ujung hidungnya sangat sempit seperti cambuk, tapi mata makhluk itu persis seperti manusia. Melihat mereka aku merasa gemetar. Mereka menunjukan perasaan, sama seperti matamu atau mataku.

Tanpa ragu-ragu, bergerak perlahan, monster itu mendekati pintu, dimana ia mulai mengetuk-ngetuk dengan ujung ramping hidungnya. Suara kering dan menggetarkan terdengar di dalam rumah. Aku beranjak ke ruang belakang, berharap binatang itu tidak sadar bahwa aku ada di sana. Aku tidak bisa menjerit. Rumah kami satu-satunya yang berada di daerah itu, dan suamiku baru pulang ketika larut malam. Aku juga tidak bisa keluar melalui pintu belakang, karena rumahku hanya memiliki satu pintu, satu-satunya tempat dimana monster hijau mengerikan itu sekarang mengetuk. Aku bernapas sepelan mungkin, berpura-pura tidak sedang berada disini, berharap monster itu akan menyerah dan pergi. Tapi dia tak menyerah. Hidungnya tidak lagi mengetuk, dia mulai meraba kunci. Sepertinya berhasil membuka kunci, dan kemudian pintu itu mulai terbuka. Di sekitar pintu, hidungnya merayapi. Untuk waktu yang lama seperti ular dengan kepala terangkat, memeriksa kondisi rumah. Andai saja aku tahu ini akan terjadi, aku akan tetap berada di dekat pintu dan memotong hidungnya, aku berkata pada dirikui: Dapur memiliki banyak pisau tajam. Tidak lama setelah ide itu terpikirkan olehku, makhluk itu bergerak melewati tepi pintu, tersenyum, seolah-olah telah membaca pikiranku. Kemudian ia berbicara, bukan gagap, tapi mengulangi kata-kata tertentu seolah-olah masih berusaha untuk mempelajarinya. Tidak ada gunanya bagimu, kata monster hijau kecil itu. Hidungku seperti ekor kadal. Selalu tumbuh kembali–lebih kuat dan lebih lama, lebih kuat lagi dan lebih lama lagi. Kamu hanya akan mendapat kebalikan dari apa yang kamu bayangkan. Lalu ia memutar matanya untuk waktu yang lama, seperti dua baju aneh.

Oh, tidak, aku berpikir dalam hati. Bisakah itu membaca pikiran orang? Aku benci ada yang tahu apa yang kupikirkan–terutama yang mengetahui pikiranku itu makhluk kecil yang mengerikan itu. Aku berkeringat dingin dari kepala sampai kaki. Apa yang akan terjadi padaku? Aku akan dimakan? Aku dibawa ke dalam tanah? Oh, yeah, itu begitu buruk sehingga aku tidak tahan lagi membayangkannya. Tangannya kecil berwarna merah jambu dan kakinya menonjol keluar dari badannya yang berwarna hijau dan cakar panjang keluar dari ujung tangan dan kakinya. Semakin aku melihat mereka, semakin membuat makhluk itu mengerikan bagiku.

Tentu saja tidak, katanya kepadaku, sambil memiringkan kepalanya. Mereka saling berpegangan satu sama lain bergerak–seperti cangkir kopi yang menumpuk diatas meja ketika kamu mendorongnya. Betapa mengerikannya, Nyonya: Tentu saja saya tidak akan memakanmu. Tidak dan sama sekali tidak mungkin. Maksud saya tidak ada salahnya, tidak ada salahnya, tidak ada salahnya. Jadi aku benar:ia tahu persis apa yang aku pikirkan.

Nyonya, nyonya, nyonya, tidakkah nyonya lihat? Tidak nyonya lihat? Saya datang kesini untuk melamarmu. Dari dalam dalam dari dalam dalam yang sangat jauh. Saya harus merangkak naik ke atas sini. Mengerikan, itu mengerikan, saya harus menggali dan menggali dan menggali. Lihatlah bagaimana saya menghancurkan cakar saya! saya tidak akan melakukan ini jika saya akan memakan nyonya. Saya cinta nyonya. Saya sangat mencintai nyonya sehingga saya tidak tahan lagi berada di dalam tanah. Saya harus merangkak naik ke atas, saya harus melakukannya. Mereka semua mencoba menghentikan saya, tapi saya tidak tahan lagi. Dan keberanian yang saya butuhkan. Bagaimana jika nyonya pikir itu kasar dan sombong, kasar dan lancang, untuk makhluk seperti saya mengungkap itu kepada nyonya.

Tapi itu kasar dan sombong, kataku dalam pikiranku. Betapa makhluk kecil yang kasar untuk datang mencari cintaku!

Tatapan kesedihan muncul di wajah monster itu begitu aku memikirkan hal ini, dan sisiknya merubah menjadi ungu, seolah mengungkapkan apa yang dirasakannya. Seluruh tubuhnya tampak sedikit mengecil. Aku melipat tangannku untuk melihat perubahan ini terjadi. Mungkin sesuatu seperti ini akan terjadi kapan pun ketiak perasaanya berubah. Dan mungkin penampilan luarnya yang tampak mengerikan itu menutupi hatinya yang lembut dan rentan seperti marshmallow. Jika demikian, aku tahu bisa seperti ini. Aku akan mencobanya dari tadi. Kamu adalah monster kecil yang jelek, kamu tahu. Aku berteriak sangat keras dari dari pikiran saya–sangat keras sehingga membuat hatiku bergema. Kamu adalah monster kecil yang jelek! Tubuhnya semakin berwarna ungu, dan mata makhluk itu mulai membesar seolah mengisap semua kebencian yang aku kirimkan kepada mereka. Mereka menonjol dari wajah makhluk itu seperti buah ara hijau matang, dan air mata seperti jus merah mengalir dari mereka, berlumuran di lantai.

Aku tidak takut lagi dengan monster itu. Aku melukiskan gambar dalam pikiranku tentang semua hal kejam yang ingin aku lakukan terhadapnya. Aku mengikatnya ke kursi dengan lilitan kabel tebal, dan kursi berat dengan kabel tebal, dan dengan tang aku mulai merobek sisiknya sampai akar, satu per satu. Aku mengasah ujung pisau tajam itu, dan dengan itu aku memotong setiap lekuk dalam daging merah yang lembut dari betisnya. Berulang kali, aku menusuk besi solder panas ke dalam matanya yang melotot. Dengan setiap siksaan baru yang aku bayangkan untuk itu, monster itu akan bergidik dan menggeliat dan meraung kesakitan seolah-olah hal-hal itu benar-benar terjadi padanya. Ia menangis dengan air mata berwarna dan mengeluarkan cairan tebal ke lantai, mengeluarkan uap abu-abu dari telinganya yang memiliki aroma mawar. Matanya seperti menatap siluman yang mengerikan. Kumohon, nyonya, oh, kumohon padamu, jangan pikirkan pikiran buruk seperti itu! Ia menangis. Saya tidak memiliki pikiran jahat kepada nyonya. Saya tidak akan menyakiti nyonya. Yang saya rasakan hanya cinta untuk nyonya, ya cinta. Tapi aku menolak untuk mendengarkan. Dalam pikirku, aku berkata, jangan konyol! Kamu merangkat keluar dari kebunku. Kamu membuka pintu rumahku tanpa izin. Kamu masuk ke dalam rumahku. Aku tidak pernah bertanya di sini. Aku berhak memikirkan apapun yang kumau. Dan aku terus melakukan hal itu–memikirkan makhluk yang semakin mengerikan. Aku memotong dan menyiksa dagingnya dengan setiap mesin dan alat yang dapat aku pikirkan, tidak memakai cara lain yang mungkin lebih menyiksa makhluk hidup dan membuatnya terasa lebih sakit. Kalau begitu, lihatlah monster kecil. Kamu tidak tahu apa itu wanita. Tidak ada habisnya hal mengerikan yang dapat aku pikirkan untuk kamu. Tapi segera kulit monster itu memudar, dan bahkan hidungnya yang hijau mulai mengerut tidak lebih besar dari pada cacing. Dengan mengulurkan tangan ke lantai monster itu mencoba untuk menggerakan mulutnya dan berbicara padaku, berusaha membuka bibirnya seolah ingin menyampaikan pesan terakhir, untuk menyampaikan beberapa pepatah bijaksana, beberapa pengetahuan penting yang tidak perlu diberikan kepadanya untukku. Sebelum itu terjadi, mulutnya sudah terdiam dan segera menghilang bersama kesunyian. Monster itu sekarang tampak seperti bayangan. Semua yang tersisa, tergantung di udara, matanya yang sedih dan membengkak. Itu tidak akan berhasil, pikirku. Kamu bisa melihat semua yang kamu inginkan, tapi kamu tidak bisa mengatakan apapun. Kamu tidak bisa melakukan apapun. Hidupmu sudah berakhir, selesai, selesai sampai di sini. Segera mata larut dalam kekosongan, dan ruangan itu dipenuhi kegelapan malam.




Diterjemahan dari cerpen berjudul The Little Green Monster karya Haruki Murakami dan disertakan dalam koleksi cerita pendek berjudul The Elephant Vanishes (Random House 1993).

Minggu, 19 Juli 2020

Dingin ~ Cerpen Ryunosuke Akutagawa

"Dingin"
Cerpen Ryunosuke Akutagawa 




Suatu pagi, setelah jatuhnya salju pertama.

Yasukichi duduk di kursi di ruang guru fisika, melihat api yang menyala di perapian. Api menjilat-jilat kegirangan berubah menjadi kuning, lalu saling bercengkrama, mereka seolah-olah bernafas: bukti perjuangan mereka yang terus-menerus melawan dingin yang memenuhi ruangan. Yasukichi memikirkan dingin yang terjadi di planet terluar atmosfer bumi, dan merasakan sesuatu mirip dengan rasa iba terhadap bara yang terang benderang di perapian.

“Tuan Horikawa”.

Yasukichi menatap fisikawan yang biasa dipanggi Miyamoto yang telah melangkah ke depan perapian. Tangannya diselipkan ke saku celananya, Miyamoto yang berkacamata melemparkan senyum ramah dibawah kumis tipisnya.

“Tuan Horikawa. Katakan padaku, apa Anda sadar bahwa wanita adalah objek fisik?”

“Saya sadar bahwa mereka adalah makhluk fisik.”

“Bukan makhluk. Objek. Ini adalah fakta bahwa saya baru saja menemukan diri saya sendiri, setelah tidak melakukan usaha sekecil apapun.”

“Tuan Horikawa, Anda tidak usah terlalu serius menanggapi Tuan Miyamoto.”

Ada instruktur lain, seorang fisikawan bernama Hasegawa. Yasukichi berbalik ke meja di belakangnya. Hasegawa menguel-nguel beberapa kertas ujian sambil senyum yang membuat sebuah aliran dari bibirnya menuju dahinya yang botak.

“Mengapa, saya tahu pasti bahwa penemuan saya membuat Anda sangat bahagia. Tuan Horikawa, apakah Anda familiar dengan Hukum Perpindahan Panas?”

“Perpindahan panas? Ada hubungannya dengan memindahkan batubara?”

“Teman sastra Anda cukup putus asa!”

Bahkan saat dia mengatakannya, Miyamoto menarik satu ember berisi batubara ke dalam mulut perapian yang mana menimbulkan pancaran dari api.

“Ketika Anda mengambil dua benda fisik dengan suhu yang berbeda, dan ketika mereka bersentuhan satu sama lain, perpindahan panas dari objek dengan suhu yang lebih tinggi ke objek dengan suhu lebih rendah akan terjadi sampai suhu mereka menjadi sama.”

“Bukankah itu hanya akal sehat?”

“Ya, itulah yang kami sebut Hukum Perpindahan Panas. Sekarang, katakan bahwa seorang wanita adalah objek. Setuju? Jika seorang wanita adalah objek, jadi – tidak diragukan lagi – oleh seorang pria. Dalam hal ini gairah sama saja dengan panas. Jika kita sekarang menyebabkan seorang pria dan seorang wanita bersentuhan satu sama lain, gairah layaknya panas yang harus disalurkan dari pria yang berapi-api kepada wanita yang kurang bersemangat, sampai gairahnya sama dengan dirinya. Kasus Tuan Hasegawa adalah contoh sempurna.”

“Kita mulai.”

Terlepas dari kata-katanya, Hasegawa terlihat senang, dan membuat suara seperti dia sedang digelitik.

“Sekarang, hubungi E jumlah panas yang berpindah dalam waktu T melintasi area permukaan S, kapan –apakah anda mengikuti? – H adalah suhu, X jarak dalam arah perpindahan panas, dan K konduktivitas material yang bersangkutan. Sekarang, dalam kasus Tuan Hasegawa … “

Miyamoto mulai menulis apa yang terlihat seperti formula di papan tulis kecil, tapi kemudian tiba-tiba berbalik dan melemparkan potongan kapurnya, terlihat cukup frustasi.

“Tidak ada gunanya mencoba membuat orang awam sepertimu menghargai penemuanku, Tuan Horikawa. Dalam hal apa pun yang terpenting adalah tunangan Tuan Hasegawa akan terlihat menjadi hangat, sesuai dengan rumusnya.”

“Dunia pasti akan menjadi tempat yang lebih bersahabat jika formula semacam itu benar-benar ada.”

Yasukichi mengulurkan kakinya, dan menatap kosong ke pemandangan bersalju di luar jendela. Ruang tunggu instruktur fisika berada di sudut lantai pertama gedung, ia bisa dengan mudah masuk ke lapangan atletik dengan peralatan olahraganya, dan di luar itu garis pohon pinus, dan di luar itu bangunan bata merah. Dan laut juga – laut terlihat di antara bangunan-bangunan itu, mengirimkan gelombang abu-abu yang tidak jelas.

“Tapi kemudian orang-orang itu akan keluar dari pekerjaan. Bagaimana penjualan buku terbaru Anda?”

“Tidak menggairahkan, biasa saja. Sepertinya perpindahan panas tidak terjadi antara penulis dan pembaca. Ngomong-ngomong, Tuan Hasegawa, tidak lama lagi pernikahan Anda?”

“Ya, tinggal sebulan lagi. Ada beberapa peraturan yang perlu ditaati sebelum itu – itu adalah sebuah gangguan karena tidak bisa menyelesaikan pekerjaan apa pun.”

“Terlalu terganggu untuk bekerja, ya?”

“Aku bukan Anda, Tuan Miyamoto! Untuk satu hal, kita perlu tempat untuk hidup, dan saya tidak dapat menemukan apa pun untuk disewakan. Baru seminggu lalu saya berjalan di sebagian besar kota mencari hal tersebut. Tetapi bahkan ketika Anda berpikir Anda berhasil menemukan rumah, itu tersentak sebelum Anda menyadarinya.”

“Bagaimana dengan aku? Asalkan Anda tidak keberatan naik kereta api setiap hari.”

“Anda sedikit terlalu jauh keluar. Saya mendengar ada rumah yang disewakan di sana, dan istri saya akan menyukainya; Namun – mengapa, Tuan Horikawa! Apakah sepatu Anda terbakar? “

Tampaknya salah satu sepatu Yasukichi entah bagaimana sebabnya bisa bersentuhan dengan perapian, seketika itu mengeluarkan segumpal asap yang diiringi bau kulit terbakar.

“Ini dia – perpindahan panas lagi.”

Miyamoto, membersihkan kacamatanya, mengintip ke arah Yasukichi, menyeringai.

***

Empat dari lima hari kemudian – adalah pagi yang membosankan. Yasukichi, mencoba mengejar kereta, bergegas secepat kakinya akan membawa melewati kota tepi pantai. Jalan setapak itu ditanggul sekitar enam meter lebarnya, dengan ladang gandum di sebelah kanannya, dan rel kereta di sebelah kirinya. Ladang-ladang yang sepi dipenuhi dengan suara sepi terderngar seperti suara seseorang yang sedang berjalan di antara deretan gandum; namun, sepertinya itu adalah suara dari lapisan es di bawah tanah yang dibajak, runtuh karena berat sendiri.

Tak lama kemudian, kereta yang dinanti-nanti pada pukul delapan lewat di tepi sungai, kecepatannya stabil, dan membunyikan tiupan panjang pada peluitnya. Kereta yang dibutuhkan Yasukichi seharusnya baru berangkat setengah jam lagi. Dia melihat jam ditangannya. Waktu menunjukan pukul delapan seperempat. Dia menyalahkan jamnya. Dia bahkan berpikir, dengan alasan yang bagus: Tidak takut tak kebagian kereta hari ini. Lahan gandum di sepanjang jalan akan memberinya jalan. Yasukichi menyalakan rokok merk Asahi dan terus berjalan, kini dia tak terburu-buru.

Jalur rel melandai menuju sebuah persimpangan. Yasukichi telah tiba di sana, dia melihat orang-orang berkumpul di kedua sisi jalur. Sebagian dari dirinya langsung berpikir: seseorang telah terbunuh. Untungnya, dia melihat bocah tukang daging itu dengan sepeda bermuatan daging. Masih dengan rokok ditangan, Yasukichi menyolek anak itu dari belakang.

“Hei, apa yang terjadi?”

“Mengejar, mengejar kereta terakhir.”

Bocah itu berbicara dengan cepat. Di bawah sarung telinga bulu kelincinya, wajahnya tampak bersinar dengan roman yang aneh.

“Siapa yang melakukan itu?”

“Penjaga perlintasan. Dia mencoba menyelamatkan seorang anak sekolah yang akan terlindas. Anda tahu toko buku bernama Nagai’s, di seberang Kuil Hachiman? Itu gadis kecil mereka.”

“Anak itu baik-baik saja?”

“Ya, dia yang menangis di sana.”

Anak laki-laki itu menunjukan ke kerumunan di sisi lain persimpangan. Yasukichi melihat bahwa memang ada seorang gadis muda yang sedang ditanyai oleh seorang polisi. Di sampingnya, seorang pria yang menjabat wakil kepala stasiun. Adapun penjaga perlintasan – Yasukichi melihat mayat di bawah tikar jerami, di depan pos jaga. Dia harus mengakui bahwa itu mengilhami rasa ingin tahu dalam dirinya. Bahkan dari jarak sejauh ini, dia bisa melihat sepatu penjaga yang mengintip dari bawah layar.

“Orang-orang itu menggerakan tubuh.”

Dua atau tiga petugas kereta api berdiri di bawah tiang sinyal penyebrangan, mengelilingi api unggun kecil. Api dengan api kuningnya memancarkan cahaya atau asap, dan tampak lebih dingin untuk itu. Salah satu pria sedang mengeringkan celana pendeknya di dekat api.

Yasukichi mulai menyebrang. Ini dekat dengan stasiun, banyak jalur berpotongan. Setiap kali dia melewati rel satu ke satunya lagi, dia penasaran di mana letak persisnya orang yang terlindas itu. Tapi itu segera terbukti. Darah yang masih segar di salah satu rel menandakan tragedi itu baru saja terjadi beberapa menit yang lalu. Secara refleks, dia memalingkan muka, tapi itu sia-sia saja. Bayangan darah merah kental yang tertinggal di besi rel itu terus terngiang di ingatannya. Darah itu bahkan menguap dari atas rel.

Sekitar sepuluh menit kemudian, Yasukichi mondar-mandir di peron stasiun. Kepalanya dipenuhi dengan pemandangan yang baru saja dia lihat. Khususnya, dia dengan jelas mengingat bagaimana darah itu menguap. Dia memikirkan gagasan perpindahan panas yang beberapa hari lalu dibahas. Panas kehidupan yang terkandung dalam darah berpindah ke rel menurut hukum yang diajarkan Miyamoto padanya – dengan kejam, dan tanpa sedikit kesalahan. Tidak ada bedanya kehidupan siapa itu; apakah dari seorang penjaga perlintasan atau penjahat yang dihukum, panas akan berpindah sama seperti hukumnya. Dia tahu, tentu saja, ini pemikiran yang tak berarti. Dia mencoba berulang kali untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa seorang anak yang patuh bisa saja tenggelam dalam air, bahkan seorang istri yang berbakti sekali pun bisa dibakar. Tapi kejadian yang dia saksikan telah meninggalkan kesan yang berat sehingga tidak mudah menerima alasan seperti itu.

Sementara itu, orang-orang di peron dan seluruh dunia tampak puas dengan keadaan ini, tidak peduli dengan keadaan pikirannya. Itu juga membuat Yasukichi kesal. Khususnya, obrolan keras yang berasal dari sekelompok perwira Angkatan Laut merupakan serangan secara visual. Dia menyalakan rokok, lalu berjalan ke ujung peron. Dari sana terlihat penyeberangan hanya berjarak beberapa ratus meter di depan. Kerumunan yang tadi ada di sisi persimpangan kini sudah hilang. Hanya tinggal api unggun di deket petugas tiang sinyal yang menyala-nyala.

Yasukichi merasakan sesuatu yang mirip dengan rasa iba untuk api yang jauh itu. Tapi persimpangan itu masih membuatnya gelisah. Dia membalikan punggungnya, dan mulai kembali berjalan ke arah kerumunan orang. Belum sepuluh langkah, dia menyadari bahwa dia telah menjatuhkan salah satu sarung tangan kulit merahnya, ketika tangan kanannya menyalakan rokok. Dia berbalik dan melihat ke belakang. Sarung tangganya tergeletak jatuh di ujung peron, telapak tangannya menghadap ke atas. Seolah-olah tanpa kata, sarung tanggan itu memanggilnya.

Di bawah langit beku yang suram, Yasukichi merasakan kehangatan dari sarung tangan merah ketika menyentuh kulitnya. Pada saat itu, dia tahu bahwa dunia yang dingin ini nantinya akan ditembus oleh sinar matahari pertama yang menghangatkan.


-----------------------
Dialihbahasakan dari cerita pendek berjudul "The Cold" karya Akutagawa Ryunosuke

Rabu, 15 Juli 2020

Santini Terbang~Cerpen Etgar Keret

Santini Terbang
Cerpen Oleh: Etgar Keret 



Cerpen Etgar Keret, Santini Terbang, Cerpen Terjemahan



Italo melambaikan tangannya dan drum yang menjengkelkan itupun berhenti. Dia menarik nafas panjang dan memejamkan mata. Saat aku melihatnya berdiri diatas panggung kayu kecil itu–mengenakan kostum berkilaunya–hampir menyentuh langi-langit kanvas tenda, semuanya tampak jelas bagiku. Aku akan meninggalkan rumah dan bergabung ke sirkus! Aku juga akan menjadi salah satu Santini terbang, aku akan melompat meskipun udara seperti setan, aku akan menggantung pada tali dengan gigiku. 

Italo berputar dua setengah kali di udara dan ditengah jungkir balik ketiga dia menyambar tangan Enrico yang terulur, Santini termuda. Penonton pun bertepuk tangan dengan antusias, Ayah mengambil kotak berondong jagungku dan melemparnya ke udara, kepingan salju asin mendarat di kepalaku. 

Beberapa anak harus kabur dari rumah pada tengah malam untuk bergabung dalam sirkus, tapi ayah mengantarku dengan mobilnya. Dia dan ibu pun membantuku mengemasi barang-barangku kedalam koper. 

“Aku sangat bangga padamu ,nak,” kata ayah dan memelukku beberapa saat sebelum aku mengetuk pintu karavan Papa Luigi Santini. “Selamat berpisah, Ariel-Marcello Santini. Dan luangkan pikiranmu sedikit untukku dan ibumu kapanpun kamu terbang tinggi diatas lantai sirkus.” 

Papa Luigi membuka pintu, dia mengenakan celana panjang berkilau kostum sirkus dan piyama diatasnya. 

“Aku ingin bergabung denganmu, Papa Luigi,” aku berbisik. “Aku ingin menjadi Santini terbang juga.” 

Papa Luigi menatap tubuhku dengan tatapan tajam, merasakan otot-otot lengan kurusku dengan tertarik, dan akhirnya membiarkan aku masuk. 

“Banyak anak yang ingin menjadi Santini terbang,” ia berkata setelah hening beberapa detik. “Mengapa kau berfikir semua orang cocok?” 

Aku tak tau harus menjawab apa, aku menggigit bibir bawahku dan tak mengatakan apapun. 

“Kau berani?” Papa Luigi bertanya padaku. 

Aku menganggukan kepala. 

Dengan sebuah gerakan cepat ia meninjukan tinjunya ke depan wajahku. 

Aku tak bergerak semilimeter pun dan aku bahkan tak berkedip. 

“Hmmm…,” kata Papa Luigi sambil membelai dagunya. “Dan gesit?” Dia bertanya. “Kau tau ‘kan Santini terbang dikenal karena kegesitan mereka?” 

Lagi aku menganggukan kepala sambil menggigit bibir bawahku kuat-kuat. 

Papa Luigi membentangkan tangan kanannya, menaruh koin seratus lira disana, dan memberi isyarat kepadaku dengan alis kelabunya. 

Aku berhasil merenggut koin itu sebelum ia menutup tangannya. 

Papa Luigi menganggukan kepalanya. “Sekarang hanya ada satu tes yang tersisa,”dia meneriakan. “Tes kelenturan. Kau harus menyentuh kakimu dengan posisi kaki lurus.” 

Aku menyantaikan tubuhku, menarik nafas panjang dan memejamkan mata, persis seperti Italo, saudaraku, yang tampil di pertunjukan malam itu. Aku membungkuk dan menggapai dengan tanganku. Aku bisa melihat ujung jari-jariku pada jarak beberapa milimeter dari ujung sepatuku, hampir menyentuh. Tubuhku sama kencangnya dengan tali yang hendak dilipat tiap menit, tapi aku tak akan menyerah. Empat milimeter pemisahku dari keluarga Santini. Aku tau aku harus bisa melaluinya. Lalu, tiba-tiba, aku mendengar suara. Seperti suara kayu dan kaca pecah bersamaan, begitu keras-memekan telinga. Ayah tampaknya sedang menunggu di luar dalam mobil, merasa khawatir dan bergegas masuk ke dalam karavan. “Kau baik-baik saja?” Dia bertanya dan mencoba membantuku menegakan badan. Aku tak bisa meluruskan punggungku. Papa Luigi mengangkatku dengan tangannya yang kokoh dan kami semua berkendara bersama menuju rumah sakit. 

Dengan x-ray mereka menemukan satu sendi terlepas diantara L2-L3 tulang belakang. Saat aku memegang foto diseberang lampu aku bisa melihat semacam titik hitam, seperti tumpahan kopi, di tulang belakang transparan. Pada amplop coklat dinamai “Alfred Fledermaus” ditulis dengan sebuah bolpoin. Bukan Marcello, bukan Santini–hanya liuk-liuk, tulisan jelek. 

“Kau bisa saja menekuk lutut,” Papa Luigi berbisik dan menyeka salah satu air mataku. “Kau bisa saja menekuknya sedikit. Aku tak akan mengatakan apapun.”

(*)

Review

Food

pendidikan