Linkkoe Jurnal: fahrul rozi
Tampilkan postingan dengan label fahrul rozi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label fahrul rozi. Tampilkan semua postingan

Rabu, 10 Juni 2020

Perihal Ibu

Oleh: Fahrul Rozi 


*Fahrul Rozi bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY) cerpennya dimuat di berbagai media nasional dan lokal.






Aku melihat Ibu meloncat ke gerbong. Aku melihatnya menangis mencucurkan air mata sepanjang laju kereta… (Kau ingin dengar kelanjutannya? Maka, dengarkanlah.) 

*** 

Jakarta, 2016 

Perempuan dengan tangan kiri menenteng tas dan tangan satunya menggandeng anak laki-laki berjalan buru-buru di atas trotoar. Mereka berdesakan dengan pejalan kaki yang lain, melewati penjual asongan yang berdiri di bawah tiang listrik, lalu mereka mempercepat jalannya sampai lupa berhenti dan membeli minuman segar. Mereka masih berjalan sampai di ujung trotoar, ketika di sana lengang, dan hanya beberapa orang lewat, mereka berhenti dan melambaikan tangan pada angkot. 

Angkot biru berhenti, dan membawa mereka jauh. 

Perempuan muda dengan wajah tirus menggenggam erat tangan anaknya. Ia memangkunya karena angkot telah penuh. Anak laki-laki itu diam saja, melihat wajah-wajah baru di depannya dan mendengar suara aneh. Ia tidak pernah mendengar hal macam itu. 

Anak laki-laki itu berusia lima tahun. Sebenarnya ia ingin bertanya pada ibunya, tetapi ia begitu malu karena dilihat banyak orang. Ia memalingkan wajah dan menghadap wajah ibunya. Teduh, dan damai. Ia tidak mengerti mengapa wajah ibu bisa begitu. Wajah Ibu serupa pohon yang tumbuh di dekat rumah. Menyejukkan dan membawa kedamaian. 

Anak laki-laki itu menggeliat ingin turun. Urat-uratnya terasa keram dan ingin berdiri. Setidaknya begitu. Namun di dalam angkot penumpang tidak dapat bergerak banyak, sebab bila bergerak terlalu banyak mereka akan terjatuh karena guncangan yang diberikan. Atau barang mereka akan menggelinding ke ujung dan jatuh keluar. Anak laki-laki itu hanya ingin keluar dari angkot dan menghirup udara segar. 

“Kita pergi ke mana, Bu?” tanyanya ketika mobil berhenti menurunkan penumpang. 

“Ke satu tempat yang tidak diketahui Ayah,” bisiknya, “bukankah kamu yang ngusulin Ibu untuk kabur dari penjara Ayah?” Anak laki-laki itu segera mengangguk. Ia mengingat kekerasan Ayah. 

“Aku tidak suka Ayah!” jawabnya geram. 

“Kamu tahu, Ibu sudah lama ingin kabur, tapi Ibu sangat takut bila ketahuan,” Anak laki-laki itu mendekap ibunya. Lalu berkata, “sekarang Ibu sama Andy—Ibu tidak perlu takut.” 

Angkot berjalan cepat meninggalkan jalan, gedung, dan masa lalu yang suratm. Lalu angkot masuk ke jalan kecil yang menghubungkan ke rel kereta api. Setelah menyeberanginya angkot berhenti, dan anak laki-laki itu dituntun keluar oleh ibunya. 

“Kita sudah sampai.” bisik perempuan di kuping anaknya, ujung rambutnya terurai mengenai wajah anak laki-lakinya. 

“Di mana ini, Bu?” 

*** 

Jakarta, 2010 

Perempuan itu bernama Mina, memiliki rambut yang halus dan hitam, wajah tirus dan hidung timur. Ia baru saja sampai di kota memenuhi panggilan kerja. Datang ke kota dengan impian merubah nasib keluarganya. Namun impian itu sering kali diolok teman dan kerabatnya. “Impian sebesar itu tidak mungkin merubah hidupmu, bisa makan saja sudah untung,” Tapi Mina akan membuktikannya pada mereka. 

Sesampainya di stasiun ia dijemput seorang lelaki, supir majikannya. Ia mengikuti supir dan masuk ke dalam mobil. Setelah sampai supir menyuruh Mina untuk duduk. Tidak lama menunggu datanglah lelaki muda, yang tidak beda jauh dengan umurnya berdiri di depan Mina. “Benarkah kau yang bernama Mina?” 

“Iya, Tuan,” 

“Kau bisa mulai bekerja besok. Dan satu lagi, tidak usah panggil aku ‘tuan’, sebutan itu hanya cukup untuk mendiang ayahku.” 

“Baik, T-u-n,” 

“Panggil aku Abang saja,” 

Mina mengangguk dan segera diantar ke kamarnya oleh supir. 

Namun mata Abang tidak lepas dari punggung Mina. Ia terpikat oleh kecantikannya. Ia jadi teringat mendiang ibunya yang meninggal sebelum Abang lulus SMU. Supir itu kembali menghadap Abang dan melaporkan tugasnya. “Menurutmu perempuan itu cantik, tidak?” tanya Abang teringat pinggul Mina yang bergerak seperti ombak. 

“Cantik tuan, gadis desa itu berbeda dengan gadis yang lain,” 

“Bagaimana kalau aku menikahinya,” 

“Lagi pula aku sudah seharusnya menikah, bukan?” Sopir itu masih diam, tak berani menjawab. Abang mengulang pertanyaannya. 

“Tentu, Tuan.” Sopir berbohong karena takut dipecat. Abang berlalu dan masuk ke kamarnya. Ia membayangkan pernikahan yang meriah, dan teman-temannya tidak akan percaya bahwa istrinya adalah pembantu, gadis desa. 

Hari berguling, lalu bulan tenggelam bersama tahun. Tidak disangka Abang sudah setahun memendam perasaannya pada Mina. Ia menunggu waktu yang tepat, dan kini sudah waktunya—ketika Mina mengelap meja dan Abang sengaja menjatuhkan gelas, sontak Mina melonjak dan segera berjongkok memungut pecahan gelas, tetapi Abang melarangnya, ia angkat kedua tangan Mina, menatap matanya. 

“Menikahlah denganku,” 

“Kau tidak perlu khawatir, hidupmu akan terangkat dan jadi orang terpandang.” 

Mina tiba-tiba teringat niat awalnya datang ke kota. Ia ingin memperbaiki perekonomian orang tuanya. Maka, ia langsung menerima ajakan Abang. 

*** 

(Cinta memang sederhana untuk diungkapkan, tapi apakah kau tahu apa arti di baliknya? Makanya kau jangan beranjak dulu, cerita ini masih belum selesai. Dan kau boleh menebak bagaimana nasib Mina, ibuku setelah menikah dengan Abang, lelaki kaya raya yang dulu menjadi majikannya.) 

Jakarta, 2011 

Cinta itu mulai pudar ketika usia pernikahan mereka beranjak lima bulan. Mereka sering bertengkar dengan masalah-masalah kecil. Abang, jadi jarang di rumah, sedang Mina menghabiskan hari-harinya di rumah, dengan memasak, menonton televisi, dan merumpi. 

Namun pertengkaran besar terjadi ketika Mina positif hamil. Abang tidak suka Mina hamil. Katanya, Mina terlihat gendut dan tak lagi cantik. Mina membantah alasan itu karena Abang selalu melihat dirinya dari sisi luar. Dan Abang semakin benci pada Mina dan bayi di perutnya. Karena bayi di dalamnya, ia tidak lagi bisa keluar rumah. Ia tidak lagi bisa bertemu pacar-pacarnya. 

Hingga anaknya lahir Mina tidak berhenti dipukul oleh Abang, tidak memedulikan kalau anaknya melihat. Ia tidak peduli. Abang benci pada anak dan istrinya. 

*** 

Jakarta, 2016 

“Ibu, kenapa kita tinggal di sini?” Suatu kali Jali, anak Mina bertanya seperti itu di ambang pintu. Suaranya tenggelam ketika deru kereta menyambar. Sedang yang ditanya tidak kunjung menjawab. Bu Mina repot membongkar-bongkar kardus dan tas. Ia masukkan isinya ke dalam lemari tanpa pintu, kemudian ia membawa tas ke belakang, menggantungkannya ke paku. 

“Ibu, kenapa kita tinggal di sini?” Jali masih menunggu jawaban. Ia pura-pura membantu ibunya membereskan rumah barunya yang sedikit kumuh. Rumah di pinggir rel kereta memang murah sekali, walau pun kondisinya jauh dari kata baik. Tapi setidaknya bisa berteduh dan terhindar dari dingin yang mencekam. 

Rumah itu berdinding kayu bekas dengan atap tripleks, dengan undakan kecil di depan pintu, yang biasanya para ibu di kampung itu duduk menunggu kepulangan suaminya sambil mengutui. 

“Ibu, ibu…” Suara Jali tenggelam ditelan deru kereta yang menggetarkan dinding rumah. Jali berlari ketakutan dan menemukan ibunya duduk termangu di belakang, “kenapa kita tinggal disini sih?” 

Mina meraih anak laki-lakinya, ia pangku Jali, dan menenangkan anaknya dengan senandung. Jali menguap. Mina membawa Jali masuk ke dalam dan menidurkannya di atas tikar. 

“Bertahanlah, Jali. Jangan buat Ibu derita lebih parah lagi, sudah cukup! Tidurlah dengan nyenyak. Ibu akan pergi sebentar. Jangan khawatir, Ibu tidak akan lama.” 

Mina keluar dari balik pintu. Ia melangkah pasti ke pinggir rel, lalu berhenti. Ia menunggu seseorang. Atau juga kereta, dan bisa apa saja. Mina menoleh ke belakang melihat rumah gubuknya. Hatinya tiba-tiba bergerak, lantas berdoa. Ia akan mengingat Jali dalam hidupnya, ia akan mengingat rumah gubuk, ia akan mengingat semua tentang Jali, kecuali Abang, suaminya. 

Dari timur datanglah kereta dengan peluit panjang. Kereta berdesis, roda besinya bergesekan hingga menghasilkan bunyi yang pilu. Kereta berhenti, dan Mina naik dari gerbong belakang. Ia melihat Jali terbangun dan memanggil-manggil ibu. Mina segera memalingkan wajah, ia tidak ingin lagi melihat Jali. 

“Ibu… Ibu… Ibu….” (*)

Kragilan, 13-03-2020 

Copyright

Review

Food

pendidikan