Linkkoe Jurnal: kala munyeng

Tools

Tampilkan postingan dengan label kala munyeng. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kala munyeng. Tampilkan semua postingan

Jumat, 19 Juni 2020

Kala Munyeng

Kala Munyeng
Picture by linkkoe



Kala Munyeng 
Oleh: Muhammad Daffa*


KAU tak mungkin mengira bahwa penyebab wafatnya seorang sunan hanya karena disebabkan sebuah pusaka miliknya telah sirna dari raga. Ya, begitulah tuturan kisah yang aku dengar bertahun-tahun lalu dari seorang tua yang kebetulan singgah ke dusun kami dan mengaku sebagai keturunan langsung dari sang sunan. 

Saptono mengisahkan kejadian datangnya orang tua misterius itu ketika rumahku sedang sepi dan beberapa ekor anak kucing tampak hilir-mudik dengan ngeongnya yang menyedihkan. Aku tak bisa mengira apa yang sedang berkecamuk dalam pikiran mereka. Bisa saja kucing-kucing itu menyangkal kisah Saptono, atau sebaliknya, menginginkan episode lanjutan dari kisah seorang sunan yang mengembara dengan satu pusaka tertanam di perutnya hingga ajal menjelang. 

Konon, keris itu bermula dari seekor ular sebesar pohon kelapa yang muncul dari arah Laut Selatan dan mengganggu warga kerajaan pada zamannya. Sang sunan, yang mendapat mandat dari Giri Kedaton untuk menangkap ular raksasa, segera mendatangi kampung terakhir yang menjadi amukan ular tersebut. Pertarungan berlangsung sengit. Sang sunan mengerahkan seluruh ilmu linuwihnya, demikian pula ular raksasa yang membabi-buta itu. Akibat dari pertarungan itu sungguh di luar dugaan, gempa bumi terjadi tujuh hari tujuh malam, ombak di lautan bergemuruh, disertai hujan yang turun dengan sangat derasnya, mengakibatkan beberapa kampung tergenang banjir cukup parah. 

Tak ingin membuang waktu terlalu banyak, sang sunan mengeluarkan tasbih pusaka yang sebelumnya telah ia rajah dengan kekuatan gaib. Tasbih pusaka yang pada malam sebelumnya direndam dengan air bunga tujuh rupa itu dilemparkan sang sunan ke arah si ular yang tengah menyemburkan api dari mulutnya. Semburan berbalik dan justru malah menyerang si ular raksasa yang mendadak moksa. Tubuh besarnya digantikan dengan sebilah keris pusaka lengkap beserta warangka yang berputar-putar di udara beraroma bacin. Sang sunan mengibaskan sorban miliknya ke arah keris pusaka, hingga terjadi suara lengkingan yang cukup dahsyat. Kau boleh saja mengira itu adalah suara gaib dari ular Laut Selatan yang moksa dan menjelma keris tanpa nama. 

Tapi sayangnya suara itu bukan berasal dari tubuh ular yang moksa, melainkan dari kegaiban udara yang bertuba kegeraman tingkat dewa-dewa penjagal. 

Sang sunan pada akhirnya berhasil menangkap keris jelmaan ular raksasa, meneluhnya dengan mantra-mantra, menyimpannya ke dalam kotak rahasia yang hanya boleh dibawanya seorang. Konon, hanya anak keturunannya lah yang kelak mendapat restu untuk membawa keris pusaka jelmaan sang ular raksasa, dengan syarat tidak menggunakannya di jalan kebatilan. Atau daya linuwihnya akan pudar ke angkasa baka dan menyerang balik si pemilik keris. 


Kau tentu tak seratus persen percaya dengan kisahku, terlebih mengaminkan bahwa keris sang sunan telah tertanam di lambungku sejak beberapa tahun yang lalu. Itu terjadi setelah datangnya orang tua yang tiba-tiba berkisah tentang Kala Munyeng, pusaka perwujudan ular raksasa yang disabda sang sunan dengan tasbih pusaka miliknya. 

Semua orang telah menjadi korban kisahku, mereka anggap aku gila, tapi nyatanya aku masih waras dan berupaya menularkan kembali kisah tertanamnya Kala Munyeng. Kau malah menertawaiku, menganggap semua omonganku hanya bual belaka. Tak apa. Mungkin nanti kau bakal percaya. Setelah ini, kisahku akan mengendap berjam-jam hingga beberapa minggu ke depan dalam kepalamu. Aku yakin kau akan menyuruhku datang kembali. Berkisah tentang Kala Munyeng yang moksa ke dalam lambungku. 

Apakah ia juga makan nasi dan buang tai layaknya kita? Tanyamu. 

Aku tak langsung menjawab, hanya mengangguk. Kupikir tak ada gunanya memberi penjelasan dengan orang yang tak terlalu percaya dengan kisah-kisah penuh bumbu masa lalu. 

Melihat wajahmu yang datar seolah kehadiranku hanya mengganggu waktu sibuk, kuputuskan berlalu dan meninggalkan kediamanmu, dengan mulut yang penuh gerutu. Alangkah bodohnya orang-orang. Tak satupun di antara mereka yang percaya dengan kisah yang aku bawa. Padahal itulah kenyataan yang terjadi. Kala Munyeng, keris dengan warangka berukiran ular naga berlidah api, masuk ke dalam lambungku. Keris itu sesekali bersuara jika sedang merasa lapar, atau membutuhkan tumbal untuk dibunuh dengan tanganku. Tentu saja aku senang melakukannya. Laparnya terlampiaskan, dan aku bebas dari amuknya jika ia tengah meraung-meraung dan membakar dunia dalam seisi lambungku. 

Kau mungkin tak mau tahu bagaimana reaksi orang-orang ketika aku bercerita kepada mereka perihal keganasan Kala Munyeng jika sedang marah dan mengaduk-ngaduk seisi tubuh pemuda kurus ceking. Tubuhku bisa mendadak dikuasai penuh olehnya dan melayang-layang di udara, mampu mengeluarkan bola-bola api dari telapak tangan dan mulut. Membakar apa saja yang aku mau. Memanggang ayam-ayam tetangga adalah salah satu hobi yang aku jadikan kebiasaan tingkat lanjut. 

Aku senang membakar ayam-ayam itu. Aku juga senang membakar apa saja yang ada di sekelilingku. Tak peduli itu manusia atau hewan. Tak peduli itu benda hidup atau mati. Yang pasti, aku selalu buas memakan mereka, mengunyahnya hingga ke belulang. Menjadikannya serpih-serpih halus. Yang sudah jadi serpih-serpih pun juga kumasukkan ke mulut. Semuanya punya rasa yang sama. Legit dan kenyal di lidah. Aku kerap membayangkan Kala Munyeng menghadirkan wujud aslinya ketika aku sedang mematut-matut wajah di depan cermin setiap akan keluar rumah guna keperluan tertentu. Aku kerap membayangkan bayanganku bukan bayangan wajahku yang purna, melainkan wajah seekor ular dengan lidah merah menyala yang menjulur meminta tumbal untuk disegerakan. Kala Munyeng selalu mampu mempengaruhiku dengan daya magisnya yang kuat, sehingga aku menjadi manusia yang buas dan seketika mendapat julukan baru: manusia kanibal. Dulu di kampung ayahku juga ada yang dijuluki manusia kanibal, tapi kasusnya beda. Orang itu memang kelainan sejak awal. Ia tidak suka makan nasi dan lebih suka buang angin daripada buang tai. Ketika buang tai pun, ia membuangnya di jalan utama desa sehingga orang-orang dari desa lain yang ingin mendatangi desa kami menjadi terganggu perjalanannya karena pemandangan tersebut. Orang itu buang tai tanpa tanggung-tanggung; setelah beres dengan tai yang dimuntahkan dari duburnya, ia melahapnya dengan buas tanpa rasa jijik sedikit pun. Tindakannya itu kemudian dilihat bocah-bocah yang sesekali melintas, membuat mereka gemar mengejeknya sebagai lelaki gila. Meski kenyataannya lelaki itu tidak gila sama sekali. Hanya mengidap gejala kelainan bawaan. Konon katanya itu diwariskan dari sang kakek yang hidup miskin sejak belia. Sang kakek yang tak ingin bakat alaminya menghilang begitu saja segera mengajarkan kebiasaan menjijikkan itu kepada anak turunannya, hingga bakat itu mengalir pula ke dalam darah si cucu yang di kemudian waktu lebih gemar membunuh belasan perawan dan menyantap dagingnya hingga ludes tak bersisa. 

Dengan tertanamnya Kala Munyeng di lambungku, aku merasa tak seorang pun mampu mengalahkanku, terlebih mengirim nyawaku ke kerak neraka yang paling jahanam sekalipun. Sampai tahun-tahun mendatang, tubuhku akan tetap kebal senjata. Tak mampu ditembus peluru dan runcing sembilu. 


Saptono berpikir kesintinganku meningkat seratus persen ketika kembali aku datang ke kediamannya di minggu pagi dan menunjukkan adegan yang seketika itu juga membuat perutnya mual, memuntahkan bubur ayam asli Jakarta yang dibelinya sehabis subuh. 

“Kau benar-benar sudah sinting”, umpatnya. Ada sedikit penekanan di kata ‘sinting’ yang ia ucapkan. Tentu saja aku hanya tergelak. 

Ketika kembali kulakukan adegan itu, ia kembali menunjukkan wajah seseorang yang ingin memuntahkan seisi kota dalam perutnya, bergelombang dan dihajar angin mabuk: 

Aku menetak kelima jari tangan kananku dan melemparkannya secara terpisah di pekarangan. Darah mengalir dari nganga luka di jemariku. Saptono bergidik. Aku hanya tergelak. Seperti yang sebelumnya. 

“ini belum apa-apa. Masih ada kehebatan lain yang sebetulnya ingin kupertontonkan kepadamu, mungkin kapan-kapan aku akan kembali dan menengokmu.” 

Kelima jari yang ditetak itu mengambang beberapa meter di atas tanah dan bertaut kembali dengan ruas jemariku yang buntung. Saptono limbung. Ia nyaris pingsan. Tapi beberapa waktu kembali bertahan dengan kesadarannya yang tampak tinggal separuh. 

“kau benar-benar gila”, katanya, “kalau saja kau bukan kawan lamaku, sudah kuusir kau dari rumahku sejak awal.” 

“kapan pun kau mau, undang aku lagi. Biar kupertontonkan atraksi yang lebih membuatmu mual daripada yang ini.” 

Ketika kalimat terakhir ini meluncur dengan lancarnya dari mulutku, Saptono sudah limbung dan kesadarannya timbul-tenggelam. Maka kuputuskan untuk membawanya ke dalam rumah dan meninggalkannya beberapa jam kemudian. Ia belum juga siuman. 

Kau pasti bertanya-tanya, mengapa kelima jariku bisa terpotong dengan sekali tebasan, sedangkan nyatanya tubuhku telah dilindungi dengan kekebalan Kala Munyeng. Baiklah, akan aku uraikan dengan sesingkat-singkatnya dan dalam tuturan yang tidak membuatmu puyeng tujuh keliling: 

Jika ada orang yang ingin menghajarku dengan senjata tajam, maka tubuhku pasti kebal. Dan senjata itu akan bengkok setelah berupaya membungkamku. Namun, jika aku sendiri yang melakukannya, kekebalan Kala Munyeng tidak akan melindungiku. Tapi di satu sisi ada keajaiban lain yang dapat kupertontonkan kepada orang-orang seperti Saptono tadi; setiap ada bagian tubuhku yang terluka atau terputus karena sabetan senjata yang kuhujamkan sendiri, maka tidak akan terasa sakit. Selain itu, bagian tubuhku yang terluka atau terputus itu akan bertaut kembali seperti sediakala. Tanpa meninggalkan gurat cacat apa pun. 

Aku tak tahu sampai kapan menyimpan Kala Munyeng dalam diriku. Lambungku masih bertahan menampungnya. Lagipula aku tetap manusia yang sehari-harinya makan nasi. Di antara kewajaran-kewajaran itu, Kala Munyeng selalu mempengaruhiku sewaktu-waktu. Dan jika ia lapar, maka akan berimbas pada diriku. Menjadi buas dan tak terkendalikan. Membunuh siapa pun yang kutemui. Tak peduli tua atau muda. Kadangkala, ada bagian dari diriku yang lain berbisik di telinga, suaranya teduh dan meninggalkan gema yang lamur, aku menebak ia pasti suara Tuhan yang sengaja disemayamkan di dalam tubuhku sejak aku masih ada di dalam kandungan, suara asli diriku yang selalu membisikkan peringatan-peringatan akan bahaya. Bahaya hanya bagi mereka yang tak menyimpan Kala Munyeng dalam lambungnya, sayangnya Kala Munyeng hanya ada satu, jadi sangat tidak mungkin kalau mereka juga ingin memilikinya dan mencurinya dari lambungku. Itu hal yang tak masuk akal. 

Suatu malam, seorang tua datang ke dalam tidurku(aku tidak yakin apakah tengah benar-benar pulas tertidur saat itu atau berada di antara kantuk berat melanda), ia mengenakan jubah putih panjang dan membawa tongkat berukiran hijaiyah. Perawakannya tinggi besar dengan wajah yang meneduhkan siapa saja. Ia bergumam kepadaku. Aku tak bisa mendengarnya. Hanya memperhatikan gerak bibirnya yang terbata-bata. Tetap tak bisa mengeja apa yang ia katakan. Adakah ia nabi? Atau seorang wali? Jika iya, maka sosok tua itu pastilah telah berusia satu abad atau bahkan lebih. Kembali kuperhatikan gerak bibirnya agar mampu mencerna apa yang ia katakan, tapi telingaku telanjur buntu, mungkin karena pengaruh bawah sadar yang sedikit terganggu, sehingga frekuensi suara orang tua itu tidak begitu jelas di pendengaranku. Aku ingin menjerit. Menyeru ke arahnya. Posisi kami memang agak berjauhan. Tapi tidak terlampau jauh. Harusnya aku bisa mendengar apa yang ia katakan. Itu pastilah sesuatu yang penting yang harus aku ketahui. Mendadak, pikiranku diombang-ambingkan oleh kecamuk lapar. Lapar yang purba. Kala Munyeng! 

Jika rasa lapar yang memuncak itu tidak kupenuhi, maka tubuhku akan diambil sepenuhnya. Dikuasai sesuatu yang buas dan tidak terkendalikan. Aku merasakan Kala Munyeng lebih ganas dari dongeng yang pernah ada; dalam dongeng itu justru dikisahkan bahwa Kala Munyeng akan menghajar balik pemiliknya yang ugal-ugalan dan sembrono membawa keris jelmaan ular raksasa itu ke sembarang arah. menebar tulah. menebar petaka. Tetapi kenapa pada diriku kasusnya berbeda? Apakah ini keris palsu yang diciptakan seseorang pada masanya untuk menandingi Kala Munyeng yang daya linuwihnya tak tertandingi pusaka mana pun? 

Jika memang keris ini adalah kembaran dari Kala Munyeng, sudah tentu ia diciptakan seseorang yang berambisi dalam menguasai Tanah Jawa, berupaya menyingkirkan sang sunan. Sayangnya aku belum pernah satu kali pun mendengar cerita tentang adanya kembaran Kala Munyeng yang diciptakan seseorang untuk menyebarkan petaka. Sehingga aku tak ingin ambil pusing dengan prasangka-prasangka itu. Semuanya hanya bisik yang menyesatkanku. Maka kubiarkan lapar yang purba itu mengambil alih tubuhku. Menguasai jiwa yang sudah mulai kehilangan kewarasan. Setelah ini, akan lebih banyak lagi korban-korban berjatuhan meregang nyawa karena perbuatan tanganku. Setelah berhasil membunuh, biasanya aku menyantap jasad mereka langsung saat itu juga. Aku senang melakukannya. Terlebih seekor ular raksasa yang moksa ke dalam lambungku. Makhluk itulah yang membuatku lahap menyantap korban-korbanku yang tewas dalam keadaan usus terburai dan dada yang koyak sebelah. Aku senang memakan habis isi-isi perut mereka. Aku juga senang memakan jantung yang merah menyala serupa kemarahan. Serupa geram yang matang diperam. 



Banjarbaru, Mei 2020 


---------------------------------
Muhammad Daffa, lahir di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 25 Februari 1999. Menulis cerpen sejak akhir tahun 2016. Karya-karyanya tersebar di sejumlah media cetak dan daring: Radar Banjarmasin, Koran Merapi, Radar Malang, Radar Banyuwangi, Kompas.id, dan Nusantaranews. Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Airlangga, Surabaya. Bergiat di grup daring “Kelas Puisi Bekasi”. 

Copyright

Review

Food

pendidikan