Linkkoe Jurnal: karya sastra

Tools

Tampilkan postingan dengan label karya sastra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label karya sastra. Tampilkan semua postingan

Minggu, 10 Desember 2023

Esai Sebab dan Akibat dalam Karya Sastra

Esai Sebab dan Akibat dalam Karya Sastra



linkkoe.my.id - Dalam literatur, kecenderungan manusia untuk menggali akar penyebab suatu peristiwa atau fenomena, serta memahami dampaknya, tidak hanya tercermin dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga menjadi bahan eksplorasi yang menarik dalam sastra. Esai sebab akibat, suatu bentuk karangan yang memfokuskan perhatian pada hubungan kausalitas antara peristiwa atau gejala, menjadi medium yang menarik untuk mengeksplorasi kompleksitas manusia dan dunia sekitarnya.

Esai Sebab Akibat dalam Karya Sastra

Dalam literatur, eksplorasi sebab dan akibat sering kali menjadi landasan untuk menggambarkan kehidupan dan karakter. Para penulis menggunakan keahlian bahasa dan struktur naratif untuk menguraikan alur cerita yang tidak hanya memperlihatkan apa yang terjadi, tetapi juga mengapa dan bagaimana peristiwa tersebut terjadi. Esai sebab akibat dalam sastra memberikan dimensi tambahan, menyoroti perasaan, motif, dan konsekuensi yang terlibat dalam setiap tindakan atau kejadian.

Kata-Kata Sinyal dan Gaya Bahasa dalam Esai Sebab Akibat

Dalam esai sebab akibat, penggunaan kata-kata sinyal memegang peranan penting. Kata-kata seperti "karena," "sebab," dan "akibatnya" menjadi pilar utama dalam menggambarkan hubungan kausalitas. Di samping itu, gaya bahasa juga turut berkontribusi dalam memberikan warna dan nuansa pada setiap keterangan penyebab dan akibat. Sastrawan cenderung memilih kata-kata yang menggugah imajinasi pembaca, menciptakan atmosfer yang mendalam dan memikat.

Contoh Esai Sebab Akibat dalam Sastra

1. Mengapa Kami Mendambakan Film Horor" (oleh Stephen King)

Stephen King, seorang maestro dalam genre horor, memaparkan alasan manusia merasa tertarik pada ketakutan melalui film horor. Dalam esainya, ia tidak hanya mengeksplorasi fenomena popularitas film horor tetapi juga menyelami psikologi manusia yang mencari sensasi melalui ketakutan. King menggunakan bahasa yang menggugah dan ilustrasi yang kuat untuk menjelaskan dampak emosional yang diinginkan oleh penonton.


2. Innocents Afield" (oleh Buzz Bissinger)

Buzz Bissinger membahas keberartian olahraga di tingkat sekolah menengah. Esainya menyoroti kekaguman akan atletik sekolah sebagai suatu kebajikan yang murni. Dengan gaya bahasa yang tajam, Bissinger menggambarkan betapa olahraga di tingkat sekolah dapat menjadi fondasi kebodohan masa muda yang tak ternilai.

3. Pria Kulit Hitam dan Ruang Publik" (oleh Brent Staples)

Brent Staples mengeksplorasi dampak stereotip terhadap seorang pria kulit hitam dalam ruang publik. Esainya tidak hanya menunjukkan ketakutan seorang wanita, tetapi juga menyuguhkan dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari pria tersebut. Staples menggunakan narasi yang mendalam untuk menggambarkan ketidakadilan yang sering dialami oleh individu berkulit hitam.

Fungsi dan Kebermaknaan Esai Sebab Akibat dalam Sastra

Esai sebab akibat dalam sastra bukan hanya sekadar penyajian fakta dan kausalitas. Mereka menciptakan jendela yang mengarah pada pemahaman yang lebih dalam tentang kompleksitas manusia, masyarakat, dan dunia. Melalui kisah-kisah ini, pembaca diajak untuk merenung tentang sebab-sebab yang mendasari tindakan, serta akibat-akibatnya yang meluas ke dalam berbagai aspek kehidupan.

Kesimpulan: Merangkai Kausalitas dalam Karya Sastra

Esai sebab akibat dalam sastra menawarkan pengalaman mendalam bagi pembaca. Dengan menggabungkan keahlian bahasa, gaya bahasa yang kaya, dan analisis mendalam, sastrawan menghadirkan kisah-kisah yang tidak hanya memaparkan apa yang terjadi, tetapi juga mengapa dan bagaimana hal tersebut terjadi. Melalui eksplorasi sebab dan akibat, sastra menjadi cermin yang memantulkan kompleksitas dan kedalaman manusia serta dunia yang dihuni oleh mereka. (lk)

Selasa, 05 Oktober 2021

Teori-Teori Ekspresivisme: Munculnya Paham Individualisme dan Otonomi

Teori-Teori Ekspresivisme: Munculnya Paham Individualisme dan Otonomi




Teori-Teori Ekspresivisme: Munculnya Paham Individualisme dan Otonomi



Teori ekspresivisme muncul bersamaan dengan perubahan-perubahan sistem sosial dan filsafat yang menempatkan manusia sebagai makhluk otonom yang memiliki kebebasan dan keutuhan sebagai individu. Karya-karya manusia sepe­nuhnya dipandang sebagai pengucapan kreatif pribadi individu tersebut. Dalam bidang karya sastra: pencurahan perasaan dan pikiran, bahkan kejiwaan yang berasal dari dalam diri individu tersebut.

Teori ekspresif sastra (The expressive theory of literature) adalah sebuah teori yang memandang karya sastra terutama sebagai pemyataan atau ekspresi dunia batin pengarangnya. Karya sastra dipandang sebagai sarana pengungkap ide, angan-angan, cita-cita, cita rasa, pikiran dan pengalaman pengarang. Dalam ungkapan yang lain, sastra adalah proses imajinatif yang mengatur dan menyintesiskan imajinasi-imajinasi, pemikiran-pemikiran, dan perasaan-perasaan pengarang (Abrams, 1987: 20). Studi sastra dalam model ini berupaya mengungkapkan latar belakang kepribadian dan kehidupan (biografi) pengarang yang dipandang dapat membantu memberikan penjelasan tentang penciptaan karya sastra. Oleh karena itu, teori ini seringkali disebut pendekatan biografi.



Teori ini merupakan studi yang paling mapan dan tertua dalam sejarah studi sastra (Wellek & Warren, 1993: 82). Teori ini dapat dianggap sebagai studi yang sistematis tentang psikologi pengarang dan proses kreatifnya. Dalam teori ini unsur 'manusia' sebagai pencipta mendapat perhatian serius. Ditinjau dari segi perkembangan pemikiran manusia, teori ini dapat dianggap tonggak sejarah baru yang membebaskan manusia dari gagasan lama yang mengungkung, bahwa banya Tuhanlah Sang Pencipta dan manusia banyalah peniru-peniru belaka.

Teori Ekspresivisme sering disebut pula sebagai teori pendekatan biografis karena tugas utama penelaah sastra adalah menginterpretasikan dokumen, surat, laporan saksi mata, ingatan, maupun pernyataan-pernyataan otobiografis pengarang. Teori ini banyak mendapat kritikan karena mengalihkan pusat perhatian dari karya sastra ke pribadi dan psikologi pengarang.

Sulit sekali menetapkan kapan teori ekspresivisme muncul pertama kali dalamjagat studi sastra. Teeuw (1988) dan Abrams (1987) menyebut Longinus, seorang negarawan dan ahli kritik sastra yang hidup dalam abad ke-3 M, sebagai pelopor teori ini. Dalam bukunya berjudul Peri Hypsous (Yun.= Tentang Keluhuran) Longinus mengungkapkan bahwa ciri khas dan ukuran seni sastra adalah keluhuran (yang luhur, yang mulia, yang unggul) sebagai sumber utama pemikiran dan perasaan pengarang. Sumber keluhuran itu antara lain: daya wawasan yang agung, emosi atau nafsu (passion) -yang mulia, retorika yang unggul, pengungkapan (diksi) dan penggubaban yang mulia. Unsur terpenting dalam penciptaan seni sastra adalah kreativitas dalamjiwa pengarang. Sumber­ sumber keagungan itu mengilhami dan merasuki kata-kata dengan semangat ilahi.

Pandangan Longinus ini untuk kurun waktu yang lama tidak banyak mempengaruhi pertumbuhan teori ekspresionisme. Baru sekitar tahun 1800 (pada jaman Romantik, abad 18-19) teori ekspresivisme mendapat perhatian dan berkembang dengan pesat. Tahun 1800 disebut oleh Abrams (1987) mengingat dalam tahun itu Wordsworth (seorang penyair lnggris terkenal) menulis sebuah dokumen penting yang menandakan awal pergantian teori sastra dari sudut pandang mimetik dan pragmatik kepada sudut pandang ekspresif.

Pergantian sudut pandang ini jelas tidak terjadi dengan tiba-tiba dalam sekejap. Ide tentang 'manusia individu sebagai pencipta' merupakan basil perkembangan yang munculnya tersendat-sendat dalam kebudayaan Barat (lihat Teeuw, 1988: 157-172). Dalam abad Pertengahan (abad 14, 15, 16), suatu kurun waktu yang disebut juga sebagai Abad Kegelapan, kebudayaan Eropa seolah­ olah tenggelam oleh kuatnya ikatan agama, teologi, clan filsafat Kristen yang menegaskan bahwa hanya Tuhanlah Pencipta sejati, sedangkan kegiatan manusia hanyalah meniru kembali. Manusia yang menyejajarkan diri dengan Tuhan dianggap berdosa. Manusia adalah hamba yang harus takluk pada Tuhan, dan hanya Tuhanlah yang menentukan masa depan manusia.


Perbandingan pandangan antara Agustinus dan Rousseau berikut ini memperlihatkan sudut pandang yang sangat berbeda mengenai diri pengarang dalam abad yang berbeda. Agustinus adalah uslup Roma yang hidup dalam abad kelima. Setelah mengalami pertobatan batin yang radikal, dia menjadi manusia saleh dan pemimpin agama terkemuka. Dia jugalah yang meletakkan dasar sistem filsafat Kristen. Bagi Agustinus, Tuhanlah yang menjadi pusat dunia. J .J. Rousseau adalah tokoh romantik yang terkenal karena menolak peradaban rasionalis dan lebih mengagungkan kemuliaan alam dan hati nurani. Bagi dia, manusia individuallah yang menjadi pusat dunia, yang bebas .menciptakan kehidupannya sendiri.

Ada empat pokok pertentangan antara Agustinus dan Rousseau dalam melihat  kedudukan manusia dan sejarahnya. Keempat pokok pertentangan itu sebagai berikut (Jaus, 1977: 85; Teeuw, 1984: 160-162).


Pandangan Agustinus


l) Dalam bukunya Confessiones (Pengakuan), Agustinus menggambarkan manusia sebagai hamba yang takluk pada Tuhan. Cerita mengenai sejarah hidup manusia harus larut dalam cerita tentang Tuhan. Riwayat manusia hanya bertujuan untuk menghilangkan dirinya.

2) Agustinus mempertentangkan Tuhan yang tidak berubah, abadi, dan kekal; Tuhanlah yang mengubah segala sesuatu dalam alam semesta. Manusia hanya ciptaan yang fana, riwayat hidupnya tidak utuh, terpecah-belah akibat dosa (asalnya). Keterputusan dengan masa lampau adalah ciri khas riwayat hidup manusia.

3) Tuhan yang abadi itu adalah sempurna. Dia tidak terikat pada waktu dan tempat. Manusia hanyalah makhluk yang tidak sempuma dan terikat pengalaman hidupnya menurut tempat dan waktu tertentu. Ingatan dan pengetahuannya tidaklah sempurna.

4) Hanya Tubanlah yang Mahatahu, sedangkan manusia bahkan tidak menge­tahui dan memahami dirinya sendiri. Jadi dalam menulis riwayat hidupnya, manusia tidak sanggup mengungkapkan siapa dirinya yang sebenamya sehingga lebih baik berdiam diri saja. Yang dapat dilalrukan hanyalah memuji dan memuliakan Tuhan selaku Penciptanya yang Mahaagung.


Pandangan Rousseau

l) Dalam bukunya Les Confessions (Pengakuan), Rousseau menekankan bahwa manusia adalah otonom. Dia hanya takluk pada hukumnya sendiri. Sebagai individu dia justru mewakili sifat universal yang tidak takluk pada apa dan siapa pun. Tujuan riwayat hidup manusia adalah penemuan dan pengungkapan dirinya yang unik. Manusia individu adalah pusat kehidupan dan pengalamannya sendiri.

2) Rousseau menekankan keutuban dan kesatuan riwayat hidup manusia. Menurut dia, pada dasamya manusia tidak berdosa dan eksistensinya tidak terputus. Situasi sosial masyarakat itulah yang merusak dunia manusia.

3) Manusia sebagai individu mempunyai pengalaman dan penghayatan diri yang total dan menyeluruh. Melalui daya imajinasinya manusia dapat mem­ bayangkan keunikannya sebagai individu sehingga dia harus bangga akan dirinya sendiri.

4) Manusia juga mahatahu. Dia dapat membenarkan dirinya sendiri. Dengan menuliskan riwayat hidupnya, manusia dapat memecahkan masalah keselamatan dan pembenaran dirinya.

Dari perbandingan di atas tampak jelas bahwa manusia semakin mengarahkan dirinya pada otonomi dan individualitasnya. Dia tidak lagi takluk dan terikat pada pandangan supranatural yang terasa kabur dan asing.

Sejalan dengan perubahan pandangan tersebut, juga dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, khususnya di bidang teknik (tekhne), pandangan bahwa manusia hanya sebagai peniru berangsur-angsur memudar. Pada abad ke-16, kepandaian dan kesanggupan manusia untuk mencipta, mengetahui, dan mema­hami mulai diakui dan berkembang pesat. Manusia mulai diakui sebagai kokreator. Dia mendasari penciptaannya pada otonomi dan individualitasnya. Perkembangan ini tidak dapat dilepaskan dari gerakan intelektual dan atmosfer kebudayaan yang berkembang di Eropa Barat yang dikenal dengan nama "Gerakan Pencerahan" (Enlightenment, Aujkliirung) (Abrams, 1981: 49-52).

Unsur terpenting dalam Gerakan Pencerahan itu adalah: menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan manusia atas kemampuan pikirannya dalam menangani dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan. Manusia sendirilah yang menetapkan norma-norma substansial bagi hidupnya sendiri. Gerakan ini menyurutkan pandangan-pandangan yang dianggap sebagai tipuan seperti takhyul (the darkness of superstition), prasangka (prejudice), dan kebiadaban (barbarity) yang membuat manusia takut untuk mengambil sikap otonom. Rasionalitas dipercaya mampu membawa manusia kepada sebuah dunia yang ideal.

Dalam bidang teori sastra, pandangan tentang seniman sebagai pencipta mencapai puncak perkembangannya pada zaman yang dikenal sebagai zaman Romantik, suatu periode yang berkisar antara tahun 1789 (sejak dimulainya Revolusi Perancis) dan berakhir tahun 1832 (yang ditandai dengan munculnya era Victorian) (Abrams, 1984: 165). Istilah Romantik dalam sastra mengacu pada suatu gerakan pemikiran dan penulisan karya sastra di seluruh Eropa dan Amerika yang menunjukkan karakteristik tersendiri, yang menganggap imajinasi lebih penting daripada aturan formal dan fakta. Romantisisme merupakan aliran yang meunjukkan minat yang besar pada keindahan alam, kepercayaan asli (agama hati nurani dan alam gaib), dan cara hidup yang sederhana sebagai pemberontakan terhadap gaya hidup teratur kaum borjuis. Mereka sangat menekankan spontanitas dalam mengungkapkan pikiran dan tindakan.

Sabtu, 11 April 2020

Pentingnya Interteks dalam Karya Sastra













Pentingnya Interteks dalam Karya Sastra




Apa itu INTERTEKS

Definisi Interteks:

Interteks adalah cara satu teks mempengaruhi teks yang lain. Ini bisa berupa pinjaman langsung seperti kutipan atau plagiarisme, atau sedikit lebih tidak langsung seperti parodi , pastiche , kiasan , atau terjemahan. Fungsi dan efektivitas interteks seringkali dapat sedikit bergantung pada pengetahuan dan pemahaman pembaca sebelum membaca teks sekunder; kutipan dan kiasan tergantung pada pembaca dalam mengetahui apa yang sedang dikutip atau dikiaskan. Namun, ada juga banyak contoh interteks yang kebetulan digunakan oleh sebagian penulis, dalam arti bahwa pembaca tidak diharuskan untuk memahami kesamaan antara teks untuk sepenuhnya memahami pentingnya teks sekunder.

Definisi interteks diciptakan oleh ahli semiotik Prancis Julia Kristeva pada 1960-an. Dia menciptakan istilah dari kata Latin intertexto , yang berarti "berbaur sambil menenun." Kristeva berpendapat bahwa semua karya sastra yang diproduksi secara kontemporer adalah intertekstual dengan karya-karya yang datang sebelumnya. Saat dia menyatakan seperti itu, dia memiliki argumen, teks dapat dibangun dari mosaik kutipan; teks apa pun adalah penyerapan dan transformasi dari teks yang lain. 


Signifikansi Interteks dalam Sastra:

Seperti yang ditulis Kristeva, teks apa pun dapat dianggap sebagai karya interteks karena ia dibangun di atas struktur teks yang ada sebelumnya. Ada banyak contoh penulis meminjam dari Alkitab dan dari Shakespeare, dari judul (William Faulkner's Go Down, Moses and The Sound and the Fury ) ke alur cerita (John Eden di Eden di Timur dan Jane Smiley's A Thousand Acres ). Namun, poin Kristeva lebih dalam daripada contoh-contoh penulis yang secara sadar dan langsung meminjam tema, nama, alur cerita, dengan argumen bahwa semua sistem penandaan, dari arti bahasa tubuh hingga struktur tulisan didasarkan pada sistem penandaan yang datang sebelumnya. Sebuah novel atau puisi tunggal tidak pernah dapat dianggap independen dari sistem makna di mana ia menyampaikan pesannya; sesungguhnya, setiap karya sastra yang baru mengubah dan menggeser wacana yang mendahuluinya.




Contoh Interteks dalam Sastra:

Contoh 1

Mereka yang menyindir bahwa Menard mengabdikan hidupnya untuk menulis Quixote kontemporer menodai ingatannya yang termasyhur. Pierre Menard tidak ingin membuat Quixote lain, yang tentunya cukup mudah — dia ingin membuat Quixote. Juga, tentu saja, tidak perlu ada yang mengatakan bahwa tujuannya tidak pernah merupakan transkripsi mekanis dari aslinya; dia tidak punya niat untuk menyalinnya. Ambisinya yang mengagumkan adalah menghasilkan sejumlah halaman yang bertepatan — kata demi kata dan baris demi baris — dengan halaman Miguel de Cervantes.

("Pierre Menard, Penulis Quixote " oleh Jorge Borges)

------------------------------
Cerita pendek Borges "Pierre Menard, Penulis Quixote " dapat dianggap sebagai eksplorasi estetika intertekstualitas, dan berisi intertekstualitas pada berbagai tingkatan. Gagasan utamanya adalah bahwa seorang penulis bernama Pierre Menard sedang merekonstruksi novel Cervantes Don Quixote kata demi kata. Dia tidak menerjemahkannya, tidak memperbaruinya, melainkan menulisnya lagi. Menard — dan, pada akhirnya, Borges — berpendapat bahwa tindakan menulis kembali kisah Quixote , bahkan kata demi kata, menciptakan teks baru. Borges menggunakan intertekstualitas dengan mengasumsikan pembaca memahami pentingnya karya Don Quixote karya Cervantes , meskipun pembaca tidak harus benar-benar membaca novel itu.



Contoh  2

Begitu. Tombak-Danes di masa lalu dan raja-raja yang memerintah mereka memiliki keberanian dan kebesaran.

Kami telah mendengar tentang kampanye heroik para pangeran itu.

( Beowulf , sebagaimana diterjemahkan oleh Seamus Heaney)

---------------------------------
Beowulf adalah contoh menarik intertekstualitas karena monster itu, Grendel, dikatakan keturunan dari tokoh Alkitab dalam Kain. Penyair Beowulf pertama mungkin akan berasumsi pembacanya akan memahami kiasan ini dan, tentu saja, tahu banyak tentang kisah-kisah Alkitab. Bacaan Beowulf kontemporer kita juga perlu intertekstual karena puisi aslinya ditulis dalam bahasa Inggris Kuno, yang tidak dapat dipahami oleh penutur bahasa Inggris modern. Seamus Heaney menggunakan teks asli untuk menghasilkan terjemahannya, tentu saja, tetapi hasil karyanya adalah ciptaannya sendiri. 


Contoh  3

“Bahkan Tuhan dapat memiliki preferensi, bukan? Anggaplah Tuhan lebih menyukai domba daripada sayuran. Saya pikir saya lakukan sendiri. Kain mungkin memberinya seikat wortel. Dan Tuhan berkata, 'Saya tidak suka ini. Coba lagi. Bawakan sesuatu yang aku suka dan aku akan menjebakmu bersama saudaramu. ' Tapi Kain marah. Perasaannya terluka. Dan ketika perasaan seorang pria terluka dia ingin menyerang sesuatu, dan Abel menghalangi kemarahannya. "

( East of Eden oleh John Steinbeck)

-----------------------------------
Karya John Steinbeck, East of Eden, adalah karya sastra lain yang didasarkan pada kisah Alkitab tentang Kain dan Habel. Steinbeck membuat kiasan ini sangat jelas, sebagaimana dibuktikan oleh kutipan di atas. Steinbeck keduanya merujuk cerita secara langsung, dan juga mengolah cerita melalui karakter kontemporer Cal dan Aron.


Contoh  4

Lagi pula, bagi pikiran yang teratur, kematian hanyalah petualangan besar berikutnya.

( Harry Potter dan Batu Bertuah oleh JK Rowling)

------------------------------------
Dalam intertekstualitas yang halus, sosok mentor Dumbledore memberitahu Harry Potter untuk tidak mengasihani penyihir yang sekarat. Penyihir yang dimaksud telah hidup selama ratusan tahun karena "batu penyihir," dan tidak takut mati. JK Rowling mengisyaratkan kembali pada garis di JM Barrie Peter Pan, yang pernah mengucapkan, "mati akan menjadi petualangan yang sangat besar." Ada tema yang sama antara dua kisah fantasi Harry Potter dan Peter Pan ini , namun pembaca tidak perlu memahami pengaruh pada karya JM Barrie untuk menghargai karya JK Rowling. JK Rowling juga meminjam dari sumber lain, seperti dari Lord of the Rings JRR Tolkien trilogi dan dari kengerian kehidupan nyata Jerman Nazi, namun sekali lagi pembaca dapat menghargai cerita tanpa memikirkan pengaruhnya.


Ya, itulah interteks, dan dari sebagian penulis besar telah melakukannya? Apakah plagiarisme termasuk di dalamnya? Silakan renungkan sendiri.

(Admin)


Copyright

Review

Food

pendidikan