Linkkoe Jurnal: kritik sastra mimetik
Tampilkan postingan dengan label kritik sastra mimetik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kritik sastra mimetik. Tampilkan semua postingan

Kamis, 17 Februari 2022

Teori Sastra Strukturalisme

Teori Sastra Strukturalisme



Teori Sastra Strukturalisme

Teori struktural bila dihubungkan dengan konsep yang diungkapkan oleh Abrams dikategorikan sebagai teori atau kritik dengan pendekatan objektif (Abrams, 1976: 26). Dalam hubungannya dengan karya sastra, bangunan ini memiliki ciri yang khas, otonom, dan tidak dapat digeneralisasi. Strukturalism memandang karya sebagai segi struktur karya itu sendiri. Menurut Teeuw (1984), karya sastra sebagai aspek yang utuh, pokok, lepas dari penulis, kehidupan, serta pembaca.

Penerapan strukturalisme ini menganggap karya secara tertutup dan berdasarkan karya itu sendiri (close reading). Kajian ini terfokus dan mengupas unsur karya di dalam karya sastra itu sendiri (intrinsic). Menurut Pradopo (1997: 118), dalam analisis struktural, unsur yang terkandung dalam karya sastra menentukan arti. Struktur memiliki bagian kompleks yang pemaknaannya diarahkan ke dalam hubungan antar unsur secara menyeluruh (Endraswara, 2013: 49). Dengan demikian, kajian struktural pada unsur intrinsik akan lebih berarti.

Ide dasar yang melandasi kemunculan strukturalisme atas penolakan terhadap konsep mimetik, ekspresif yang sebelumnya mendapat tempat dalam kajian kesusastraan. Stukturalisme hadir untuk melengkapi penelitian sastra yang bernuansa ekspresif dan historis. Dalam pandangan strukturalisme, kemunculan aliran ekspresivisme dan historis tidak sesuai untuk memahami karya sastra secara keseluruhan. Padahal, karya sastra dibangun berdasarkan kode dan unsur tertentu yang telah disepakati dan memungkinkan adanya pemahaman secara mandiri (Endraswara, 2013: 51).

Selepas era Abrams, muncul kembali di era formalisme Rusia. Meskipun pada saat itu belum sepenuhnya membahas tentang strukturalisme, tetapi Jakobson telah meletakan pandangan yang mengarah pada strukturalisme. Formalisme Rusia ini diteruskan kembali oleh strukturalisme Ceko. Munculnya strukturalisme telah mengalami evolusi panjang dan dinamis. Kemunculan strukturalisme tidak terlepas dari pandangan Ferdinand de Saussure dalam buku Cours Linguistque (1915) yang menganggap bahasa sebagai tanda yang dapat dikaji pada tataran diakronis dan sinkronis (Aminuddin, 1987: 109).

Teks menurut kaum strukturalis dianggap tidak memiliki asal, tiap tuturan manusia didahului dengan bahasa. Asal mula makna tidak hanya dari kejadian dan dunia penulis atau pembaca, tetapi pergerakan dalam bahasa atau teks. Dalam strukturalis, terdapat 'gairah' untuk mendapatkan praktik sosial, kode, dan budaya (Selden 1991: 71). Untuk menemukan hal demikian, kaum strukturalis memulai pemikirannya melalui bahasa yang lebih sempit, yaitu fonem (bunyi bermakna yang dipahami pemakai bahasa). Manshur (2019) menjelaskan bahwa structuralisme sebagai teori sastra, memiliki hubungan erat dengan linguistik (fonem) untuk membantu studi tentang gaya bahasa dan tanda dalam karya sastra. Hal itu membuat kajian mengenai strukturalisme yang bersinggungan dengan linguistic membuat kajian ini memiliki ruang lingkup yang begitu luas. Kajian ini melibatkan berbagai ahli bahasa dan juga ahli sastra dalam perkembangnya.

Hingga sekarang, kajian struktural masih dipakai di berbagai penelitian. Perkembangan teori ini dapat dikategorikan cukup lama dan pada umumnya telah digunakan berbagai kajian analisis atau kritik mengenai karya sastra (Suhariyadi, 2014:99). Penggunaan teori struktural dalam melakukan analisis karya sastra memiliki kelebihan. Menurut Semi (1989: 70), pendekatan struktural memberikan kesempatan melakukan kajian secara rinci dan mendalam. Pendekatan ini juga memandang karya sastra dengan memfokuskan pada aspek di dalamnya saja. Selain itu, kajian ini juga memberi sinergi kepada penulis sehingga dapat menghaslkan karya lebih baik, teliti, dan berhati-hati. Dalam menggunakan teori struktural untuk menganalisis karya sastra, terdapat pula kelemahan di dalamnya.

Menurut Teeuw (1984: 176), strukturalisme ini memiliki kelemahan dalam menjabarkan teori sastra secara sistematik. Teeuw menganggap karya tidak bisa dikaji dengan luas dalam aspek eksternal karena mengacu pada suatu sistem yang ada didalamnya. Unsur otonom pada suatu karya perlu dipertanyakan sebab dalam unsur tersebut pembaca akan terlibat dalam pemberian makna. Dalam menganalisis sebuah puisi dengan teori ini akan terpacu pada aspek otonom saja. Penafsiran akan melepaskan konteks serta fungsi yang membuat lepasnya aspek sosial di dalamnya. Struktural menilai karya sastra sebagai suatu hal yang otonom dan tidak ada aspek luar. Dalam karya sastra tidak bisa dilepaskan dari situasi sosial budaya.

Teori struktural tetap memiliki tempat dalam kajian sastra meskipun perkembangan teori-teori yang baru mulai dan kelemahan teori struktural. Menurut Teeuw (1983: 61), seorang akademisi atau kritikus sastra yang akan menggunakan perspektif lain sebelum melakukan kegiatannya, akan terlebih dahulu menggunakan teori struktural untuk mengupas makna di dalamnya. Akibatnya, teori ini akan tetap digunakan sesuai dengan substansi, porsi, dan tempatnya tetapi meninggalkan prinsip otonomi yang melekat. Dengan demikian peneliti dapat mengkaji secara mendalam dan menggunakan perspektif eksternal dengan menggunakan perspektif lain, seperti dekonstruksi, intertekstual, semiotik, dekonstruksi, dan lainnya. (*)

Rabu, 16 Februari 2022

Histori Formalisme Sastra

Histori Formalisme Sastra



Histori Formalisme Sastra

Formalisme lahir di Rusia sekitar awal abad kedua puluh. Formalisme muncul sebagai suatu ketidakpuasan terhadap aliran positivisme yang memperhatikan data biografis dalam studi ilmiah. Formalisme menolak pandangan lama bahwa ilmu dan kritik sastra sepenuhnya mengarah pada bentuk karya itu sendiri, bukan berhubungan dengan psikologis, ideologis, biografis, ataupun sosiologis. Selain itu, hadirnya aliran formalisme ini juga menetang pemikiran pragmatism yang berpedoman pada bentuk dan isi yang berkaitan dengan kehidupan sosial dan pandangan hidup. Isi dan bentuk itu dapat didekati dari fungsi estetika yang membentuk karya sastra (Endraswara, 2013: 47).

Dalam runtutan sejarah, awal mula aliran ini akibat munculnya gerakan Avant Garde antara 1919—1915 di Italia dan Rusia yang lebih popular dengan gerakan Futurisme (Masa Depan). Gerakan ini dianggap sebagai pelopor tumbuhnya teori strukturalisme. Oleh karena itu, dalam perkembangannya, formalisme tidak lepas dari Gerakan Futurisme dan Strukturalisme. Pergerakan aliran ini dilandasi pergeseran paradigma ilmu humaniora dari diakronis ke sinkronis. Hingga pada gilirannya, aliran formalisme ini menjadi titik awal munculnya ilmu sastra modern (Holub, 2004:325; Syuropati & Agustina, 2012:11).

Aliran formalisme Rusia dipelopori oleh Skhlovsky, Roman Jacobson, Sjklovski, Eichenbum. Kritik yang dilancarkan oleh kaum formalisme yang begitu tajam, termasuk pihak pragmatisme, membuat pemerintah Rusia yang berpaham politik komunis melarang aliran tersebut. Jakobson beserta tokoh lainnya memutuskan untuk keluar dari Rusia dengan dukungan kelompok Praha untuk melanjutkan pemikirannya di Cekoslovakia (Jabrohim, 2001: 66—67). Beberapa tahun berselang, karya-karya kaum formalism dapat tersebar ke dunia barat yang sebelumnya diolah dan dibantu oleh kaum structuralism Cekoslovakia (Luxemburg, 1986: 32—33).

Kaum formalis menekankan bahwa kesusastraan memiliki bahasa yang khas. Sifat kesusastraan muncul akibat penyusunan bahan yang awalnya bersifat netral yang disusun oleh pengarang, diubah atau disulap menjadi teks dengan pembiasan yang menghilangkan otomatisasi untuk dipahami pembaca. Proses ini membuat pembaca tidak secara langsung memahami teks tanpa melakukan penafsiran. Proses pengubahan atau penyulapan (making range) disebut dengan defamiliarisasi (Jefferson, 1987; Taum, 1997; Endraswara, 2013). Istilah ini diperkenalkan oleh Shklovsky yang menyatakan bahwa sastra memiliki kemampuan untuk menunjukkan realitas dengan cara baru yang membuat penangkapan pembaca mengalami otomatisasi. Dalam bahasa Selden (1996), karya sastra yang hanya imajinasi saja, mampu menciptakan khayalan menyerupai kehidupan nyata.

Dalam teori teks naratif, kaum formalis Rusia menempatkan alur, cerita, dan motif sebagai unsur yang berbeda. Menurut mereka, dalam analisis teks naratif terdapat motif yang menjadi satuan paling kecil pada kejadian yang diceritakan; cerita atau fabula menjadi perpaduan motif pada susunan cerita atau peristiwa; serta alur atau sjuzet menjadi rangkaian kejadian motif dalam tataran penceritaan secara artistic (Luxemberg, 1986;). Alur tidak hanya susunan peristiwa, tetapi juga alat yang digunakan pengarang untuk mengatur cerita. Dengan demikian, alur inilah yang dapat dinilai dalam substansi karya sastra (Syuropati & Agustina, 2012: 12—13).

Minggu, 19 September 2021

Kritik Sastra Mimetik: Pendekatan Mimetik dalam Kritik Sastra

Kritik Sastra Mimetik: Pendekatan Mimetik dalam Kritik Sastra



Kritik Sastra Mimetik: Pendekatan Mimetik dalam Kritik Sastra 

Kritik sastra telah diterapkan sejak abad ketujuh belas hingga deskripsi, pembenaran, analisis, atau penilaian karya seni. Kritik di zaman modern adalah diklasifikasikan dalam berbagai cara. Abrams pada karyanya The Mirror and the Lamp berbicara tentang empat teori kritis yang berbeda, yaitu mimetik, pragmatik, ekspresif, dan objektif.

Mimetik menurut Abrams (1976:16) sebagai kajian yang paling primif dibandingkan yang lainnya. Mimesis sebagai konsep pada dasarnya merujuk pada prinsip dasar dalam seni di mana seorang seniman menciptakan karya dengan menyalin dari alam. Dengan kata lain, teori mimesis seni terutama didasarkan pada asumsi bahwa segala bentuk seni representatif adalah salinan alam. Mimetik, sebagai istilah kritis seperti lazimnya digunakan saat ini, pada awalnya muncul dari tulisan teoretis dan diskusi sumber Yunani klasik terkemuka. Mode pendekatan ini, yang pertama kali muncul di Plato dan (dalam cara yang memenuhi syarat) di Aristoteles yang tetap menjadi ciri khas teori modern tentang realisme sastra (Abrams, 1981: 8).

Plato mencoba mengaitkan mimetik dengan imitasi atau tiruan. Menurut Plato, bagaimanapun juga, imitasi yag terkiat akan berbahaya dalam pembuatan karya karena menghilangkan dari kebenaran itu sendiri. Bagi Plato, mimetic terikat dengan ide penciptanya. Ide tersebut tidak dapat menghasilkan tiruan yang sama. Melalui mimetic ini tataran yang dihasilkan dalam tataran tertinggi hanya sebatas angan-angan. Karya seni (sastra) tidak dapat berubah menjadi sempurna secara langsung. Pandangan Plato terhadap karya cukup negatif. Plato beralasan bahwa apa yang dijadikan karya sastra merupakan daya khayal yang masih jauh dari kebenaran. Sebagai contoh, wujud meja adalah suatu ide yang otentik, sementara tukang pembuat meja meniru dalam dunia ide. Hasil tiruan ini tidak dapat menyamai dengan meja yang ada di dalam ide. Meskipun meja hasil tukang kayu belum mendekati aslinya, tetapi masih lebih mendekati kebenaran bila diperbandingkan dengan hasil yang dilakukan oleh penyair (Luxemberg, dkk., 1984: 16). Plato percaya bahwa hal itu akan menyesatkan karena hanya terbatas ilusi. Bahkan Plato mengatakan seni hanya memunculkan nafsu karena menimbulkan emosi dan bukan rasio. Seniman cenderung mengumbar nafsu, padahal seharusnya menjadi manusia yang berasio dan meredakan nafsu (Teeuw, 1984). Karena itu, Plato membangun model mimetic yang tidak menguntungkan.

Pandangan Plato tentang mimetik dikritik dan dikembangkan oleh muridnya, Aristoteles. Aristoteles setuju dengan pandangan Plato pada prinsip puisi dan kata sebagai bentuk seni yang representatif dari mimetic dari alam. Namun, Aristoteles mendalilkan mimetic yang menunjukkan imitasi dan menimbulkan interpretasi (Hagberg, 1984: 364). Aristoteles meyakini bagian alami manusia adalah seorang makhluk yang imitatif. Gagasan Aristoteles tentang mimetic menunjukkan cara di mana suatu tindakan yang ditimbulkan, tetapi tidak sebenarnya dilakukan menyamai fitur penting dari semua tiruan. Setiap mimetic adalah kebangkitan dari suatu tindakan yang benar-benar terjadi, yang tidak benar-benar dilakukan, yang hanya memberikan ilusi berlangsung (Murnaghan, 1995: 757; Ratna, 2011: 70).

Aristoteles membebaskan teks dari hubungannya dengan alam semesta sebagaimana pandangan Plato, sambal tetap mengakui hubungan teks yang meniru itu dengan alam semesta. Aristoteles juga menunjukkan bahwa cara peniruan dan bukan hubungan yang dengan kebenaran yang penting dalam karya seni atau sastra, dan bahwa evaluasi esetika harus didasarkan pada penilaian ―cara peniruan‖ dan efek emosional yang dihasilkan oleh penonton. Aristoteles juga memandang bahwa dunia dalam karya seni atau karya sastra lebih menguntungkan dan menarik daripada dunia nyata.

Di era postmodern, gagasan tentang tekstual dan intertekstual muncul dengan mempertanyakan kemungkinan mimetik sebagai representasi dan klaim bahwa tidak ada dokumen asli tetapi hanya salinan yang secara serius menentang otoritas mimetik. Namun demikian, pandangan sastra sebagai tiruan telah kembali bertahan. Paul Ricoeur (1976: 39) berkomentar bahwa mimetic adalah poesis (perbuatan demi suatu hasil di luar perbuatan itu), dan poisis adalah mimetik bukan hanya penegasan kembali mimetic sastra. Ricoeur mencetuskan konsep transfigurasi atau (mimesis III) yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Hal ini merupakan akibat adanya efek dari teks bacaan dan mendapat penghayatan sehingga mengubah dirinya atau membantu memahami diri dengan lebih baik.

Hans Georg Gadamer (1999) juga berusaha keras untuk mempertahankan dan mendefinisikan kembali mimetik. Gadamer mencetuskan fusion of horizons atau peleburan cakrawala untuk mengistilahkan pertemuan dua alam yang berbeda. Peleburan cakrawala terjadi akibat seorang pembaca yang tidak mungkin menangkap seluruh teks dan meninggalkan aspek aktual yang diserap dengan begitu saja. Alam pembaca akan terus mengalami transformasi. Gadamer menyebut bahwa alam tidak akan terus sama dan tidak menolak alam yang disajikan oleh teks. Kategori ini langsung berkaitan dengan keberadaan pembaca/penafsir. Mimetik sekali lagi menjadi topik penting dalam teori kritik sastra.

Kritik sastra mimetik mengasumsikan bahwa karya sastra adalah sebuah tiruan, dari dunia ide maupun manusia. Pendapat ini diilhami oleh aliran Marxis, sosiologi sastra, dan lainnya yang mengklaim bahwa karya sastra sebagai dokumen sosial. Berbagai pandangan dan pembaharuan membuat teori ini terus berkembang sejak zaman Yunani Klasik hingga postmodern saat ini.

Marx dan Engels menentukan bahwa dalam menciptakan suatu karya, kesadaran penulis bukan yang menentukan kehidupan. Namun, kehidupan itulah yang menentukan arah kesadaran. Seorang penulis yang peka terhadap kehidupan sekitar akan memiliki kesadaran dan proses berkarya yang renyah. Kehidupan sosial ini disesuaikan dengan cara pandang masyarakat dalam menciptakan kehidupan (Eagleton, 2002).

Pendekatan mimetik ini cukup mengilhami penulis-penulis sastra Indonesia dalam menuangkan suatu karya. Andrea Hirata dalam karyanya berjudul Laskar Pelangi (2005) yang menceritakan kehidupan masyarakat yang ada di Belitung. Andrea Hirata dala menuliskan ceritanya tidak terlepas dari lingkungan dan latar belakang hidupnya semasa kecil bersama orang tua, saudara, teman-temannya. Apapun yang dilakukan tidak terlepas dari tiruan yang ada dalam dunia nyata, meskipun pada beberapa bagian mengalami unsur gubahan dalam bentuk imajinatif.

Proses penuangan karya dengan melakukan tiruan berdasarkan kisah kehidupan juga dilakukan oleh Supaat I. Latif dalam karyanya Perahu Waktu (2012). Latief menceritakan kisah hidupnya dari masyarakat biasa ingin menuntut ilmu. Seorang anak kecil dari keluarga biasadari Lamongan yang berkeinginan besar untuk menuntut ilmu di Kota Malang. Perjuangan tersebut dituangkan dalam bentuk karya. Ada juga novel Iwan Setiawan berjudul Ibuk (2012) dan Summers 10 Autumns (Dari Kota Apel ke The Big Apple) (2011) yang melakukan imitasi dari kehidupannya. Beberapa penulis lainnya seperti tokoh Minke dalam tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer yang terinspirasi atau meniru tokoh Tirto Adi Soerjo. Tentu masih banyak lagi karya-karya sastra yang terilhami dengan proses mimetic atau imitasi dari segala hal, baik kisah hidup penulis, orang lain, atau lain sebagainya. Pendekatan mimetik yang menjadi salah satu pendekatan dalam sastra yang paling kuno dan bertahan lama, tetapi ada kelemahan didalamnya. Pendekatan mimetik menurut Siswanto (2013: 175) terlalu menekankan pada hal-hal nonsastra. Sehingga bila hendak melakukan kajian dengan pendekatan ini perlu meramu analisis sastra dengan aspek di luar sastra.




Copyright

Review

Food

pendidikan