Linkkoe Jurnal: kumpulan cerpen

Tools

Tampilkan postingan dengan label kumpulan cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kumpulan cerpen. Tampilkan semua postingan

Minggu, 12 April 2020

Cerpen: Imajinasi





Cerpen: Imajinasi 


Dia memenuhi panggilanku, dan tentu saja, aku bahagia. Kenapa? Sebab sebentar lagi aku akan mendapatkan apa yang aku inginkan. Ya, tak lama lagi aku akan mencicipi tubuh yang terjebak dalam balutan baju dan celana super ketat itu, tubuh Alina. Tubuh yang setiap hari digunakan dengan sengaja sebagai alat untuk memikat mata orang-orang di kantorku. Aku juga tidak paham, kenapa dia begitu serampangan dan berlebihan memperlakukan tubuhnya, padahal sudah bersuami. 


Hari itu pagi begitu sepi, angin berkesiur lembut, dan burung-burung beterbangan damai di udara. 

Sebelum membawanya masuk ke dalam hutan, lebih dulu aku ajak Alina duduk di gardu kecil dekat jembatan kecil. Aku tatap wajahnya. Dia berusaha tampak tenang untuk menyembunyikan rasa takutnya. Aku sangat yakin, dia ketakutan. Aku bisa menangkap isyarat ketakutan itu. Mungkin juga dia sudah bisa membaca apa yang akan aku lakukan padanya. 

Sekadar iseng, aku tanyakan kepadanya tentang bagaimana cara dia bisa keluar rumah sendirian di hari Minggu. Aku tanya seperti itu karena memang peluang bisa keluar sendirian sangat kecil baginya, dan aku yakin, lelaki tua itu telah menanyai alasannya. 

“Aku katakan kepada suamiku kalau aku harus lembur karena ada tugas yang harus diselesaikan segera. Dia diam saja. Seharusnya aku tidak ada di sini. Tapi, karena kau mengancam, ya…, terus terang, aku takut pada ancamanmu.” 

Begitu jawabnya, dan itu, adalah kebohongan besar. Lembur? Omong kosong. Dia tak pernah lembur di hari Minggu, atau di hari apa saja. Dia pemalas. Tahunya hanya menyuruh dan menyusahkan temannya, pula suka menyusahkan aku. Tapi, berbohong, atau tidak, tak penting bagiku. Dia mau memenuhi panggilanku, itu yang penting. 

Aku mengancamnya? Benar sekali, dan itu disengaja. Sebab, kalau tak begitu, pasti dia tak mau datang. Aku memegang rahasianya. Rahasia besar. Ya. Dia mencuri uang kantor! Itu rahasianya. Aku juga heran, kenapa dia bisa melakukan itu. Padahal hartanya sudah berlimpah ruah. Dia punya rumah besar, mobil tiga, sepeda motor empat, dan tanah berhektar-hektar. Bila aku buka rahasia itu, petaka pasti akan menimpanya. Kalau tak dipecat atau dihukum, pastilah dibuang. Dibuang ke mana? Ke pulau. Pulau jauh. Aku tak bisa sebut namanya. Tapi, pulau itu menyedihkan. Gelap bila malam dan suram bila siang. Aku saja tak sanggup hidup di pulau itu. Pasti sengsara. Jadi, aku jadikan rahasia itu sebagai senjata untuk menakut-nakutinya. 

Untuk beberapa saat kami sama-sama merapatkan bibir. Sama-sama tak punya kata-kata untuk dijadikan umpan. Aku lihat dia jatuhkan sorot mata ke bawah, ke kedua kaki. Sementara aku sendiri menggunakan mataku terus merekam tubuhnya, mulai ujung kepala sampai lutut. Tubuhnya itu, oh, sungguh menggiurkan! Tak salah jika mata lelaki satu kantor terbelalak matanya saat melihat dia berjalan di hadapan mereka. Tak salah jika dia disebut primadona kantor. Tak salah juga kalau sebentar lagi dia akan jadi mangsaku. Haha. 

“Apa yang kau inginkan lagi?” tanyanya tiba-tiba dengan kepala tetap tertunduk. “Aku sudah memberimu uang. Apa masih kurang?” 

Aku tak suka pertanyaan itu. Terlalu merendahkan. Uang? Ah, kenapa semua harus diukur dengan uang? Kenapa dia selalu berpikir semuanya bisa diselesaikan dengan uang? Bodoh. 

“Kalau masih kurang, tinggal bilang,” katanya lagi. 

“Sebaiknya jangan bicara soal itu dulu. Kita perlu pindah tempat,” kataku. 

“Ke mana? Apa masih kurang sepi?” 

“Kurang. Kita harus ke hutan.” 

“Aku tidak mau?” 

“Kalau menolak, kau tahu sendiri akibatnya.” 

Dia diam. Terlihat seperti berpikir. Aku yakin, dia pasti sedang menimbang dua pilihan. Apa itu? Aku tak tahu. Tapi, apapun itu, aku tak peduli. Aku hanya peduli pada tubuhnya. 

“Baiklah, aku ikuti maumu,” katanya kemudian. 

Aku tak mau menunda-nunda lagi. Aku bawa dia meluncur menuju hutan. Kami menuju hutan mengendarai kendaraan kami masing-masing. Setengah jam kemudian, kami sampai di tujuan. Kendaraan kami parkir di dekat pohon. Lalu, aku giring langkahnya ke tengah hamparan rerumputan. Aku hampar jaketku sebagai alas tempat duduknya. Dia aku suruh duduk. Dia duduk. Aku duduk tepat di sampingnya. 

Namanya hutan, pastilah sepi. Tidak ada mata, telinga, mulut lain selain milik kami. Andai dia nanti berontak dan berteriak, aku yakin tidak akan ada yang mendengar. Kalau dia mencoba lari, pasti aku bisa mengejarnya. Karena aku tahu, sepasang kakinya tidak terbiasa dengan jalan berumput dan berbatu. Bila lari, pasti akan cepat jatuh. 

Dia diam untuk beberapa saat. Aku juga begitu. Tapi mataku tidak. Mataku merekam wajahnya, punggungnya, dadanya dan pahanya. Lalu aku tersenyum. Senyum kemenangan. 

“Seharusnya kau tidak membawaku ke sini. Aku sudah bersuami,” katanya. 

Aku tersenyum. 

“Apa yang kau inginkan?” tanyanya. 

Aku masih tersenyum. 

“Aku punya dua anak. Aku tak ingin jadi ibu yang kotor bagi mereka,” katanya lagi. 

Aku masih tersenyum. 

“Aku berusaha menjadi istri yang baik, meski aku tahu suamiku sudah tua.” 

Aku masih tersenyum. 

“Aku tidak mau mengkhianatinya.” 

Aku tahu betul siapa suaminya. Usianya memang sudah tua. Alina sengaja menumbalkan tubuhnya, mau menikah dengan lelaki itu hanya karena alasan harta dan kehormatan saja. Suaminya memiliki jabatan penting dalam pemerintahan kota. Punya banyak anak buah. Dan sebagai ASN, suaminya tergolong penjilat lihai. Demi menjaga jabatannya tetap aman, dia berani mencuri uang negara untuk diberikan pada atasannya sebagai upeti. Bangsat. Dia memang bangsat. Tetapi bukan hanya dia, masih banyak pejabat-pejabat serupa lelaki tua itu di kotaku. Nyaris rata-rata melakukan perbuatan semacam itu. Seharusnya mereka diberantas. Tetapi, ya, mungkin mereka belum terbaca oleh mata hukum. Ah, sudahlah. Aku tidak ingin membahas itu. 

Satu hal yang penting bagiku dan tak bisa terlupakan. Dulu suami Alina pernah menyakitiku dengan kata-kata kasar, yang sesungguhnya tidak pantas keluar dari mulut seseorang yang bergelar. Waktu itu aku geram dan ingin memukulnya. Paling tidak membuat biru pipinya. Andai tak ada yang menahanku, pasti itu terjadi. Tetapi aku mengajak Alina bukan karena dendam pada lelaki tua itu. Ya. Aku melakukannya karena memang ingin mendapatkan tubuhnya. Aku tergila-gila pada tubuh Alina. Kenapa aku bisa begitu? Mungkin karena Alina terlalu sering mengumbar keindahan bentuk tubuhnya di depan mataku. Ah, tak tahulah. 

“Kalau kau ingin tubuhku, aku tidak bisa memberikannya,” katanya tiba-tiba, seolah bisa menebak isi pikiranku. 

Aku tidak lagi tersenyum, tapi langsung membalas, “Kalau begitu, maka aku tidak bisa lagi mengendalikan mulutku. Artinya, aku bisa liar. Rahasiamu nanti tidak akan lagi menjadi rahasia. Apa kau sudah siap dibuang ke pulau atau dipecat atau dihukum?” 

Dia diam lagi. Mataku selalu saja tertarik merekam lekuk-lekuk tubuhnya. Luarnya saja indah, apalagi dalamnya, begitu kataku dalam hati. Dan itu membuat aku semakin tersiksa dengan gejolak dalam diri. Ingin rasanya aku lekas-lekas menerkamnya. Melucuti semua yang melekat di tubuhnya. Tetapi, bukan seperti itu skenarionya. Aku ingin dia menyerahkan diri kepadaku tanpa dipaksa. Begitu skenarionya. 

“Jujur, aku tidak siap. Kalau dibuang ke pulau, kau orang paling tahu, aku tidak bisa bekerja. Gelar pendidikanku memang tinggi, tapi itu hasil membeli. Hanya untuk menaikkan derajatku saja, juga pangkatku, juga gajiku. Jika sampai aku dibuang ke pulau, atau dipecat, atau dihukum, matilah aku. Tetapi, jika aku menuruti keinginanmu, maka hancurlah aku. Jadi, tolong, kasihani aku. Kalau keinginanmu bisa ditukar uang, berapa pun aku bayar,” katanya, dengan air mata mulai mengaliri pipinya. 

Aku tidak terpancing untuk menyerah karena air matanya. Sebab aku tahu, dia selalu begitu. 

“Baiklah. Jika tak mau menyerahkan tubuhmu, aku minta satu hal saja saja darimu,” kataku. 

“Apa?” tanyanya, dengan bibir gemetar, juga dengan air mata yang masih mengalir.  

“Aku minta bibirmu. Hanya itu. Kita harus berciuman. Berciuman seperti sepasang kekasih. Bukan ciuman keterpaksaan, tetapi ciuman kemesraan. Kau harus bisa menikmati ciuman itu. Bagaimana? Apa kau sanggup melakukannya?” kataku, tegas. 

Dia diam lagi. Berpikir. Agak lama. Dan itu membuat aku kehilangan kesabaran. 

“Hari sudah menjelang siang. Aku tidak mau membuang-buang waktu lagi. Cepat kau putuskan.” 

“Baiklah. Aku turuti kemauanmu. Cuma ciuman. Tidak ada yang lain.” 

Dan, apa yang terjadi? Pasti kalian menebak kalau kami berciuman, bukan? Haha. Tidak, tidak. Ciuman itu tidak pernah terjadi. Tidak pernah ada. Kenapa? Karena aku memang tidak pernah menyelesaikan cerita itu. Cerita itu ada di dalam folder komputer, bersama cerita-cerita lainnya. Ya, bersama cerita-cerita lainnya, yang semuanya bercerita tentang aku dan Alina, dan semua cerita itu, tidak ada endingnya. Ya, ya, setiap kali teringat tubuh Alina, aku pasti membuat cerita. Tak tahu apa sebabnya. Hanya saja, ketika tubuh Alina membayang di mata, imajinasiku jadi liar. 

Aku gila? Ya, mungkin aku memang gila. Gila pada tubuh Alina. Tetapi, meski begitu, aku tidak punya keberanian menyakiti tubuh Alina meski hanya dalam sebuah cerita. 



Asoka, 2020 


Copyright

Review

Food

pendidikan