Linkkoe Jurnal: sejarah janin

Tools

Tampilkan postingan dengan label sejarah janin. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sejarah janin. Tampilkan semua postingan

Kamis, 04 Juni 2020

Cerpen: Sejarah Janin

Cerpen: Sejarah Janin 

Oleh Yuditeha 





cerpen, cerpen sejarah janin, yuditeha, cerpen yuditeha
Picture: Pixabay


Kamu mengatakan, satu-satunya orang yang menyebabkan kamu merasa perlu berhati-hati saat menceritakan kisahmu adalah dia. Alasanmu bukan takut, alih-alih kamu ingin menghomatinya, karena dialah orang yang sesungguhnya kamu anggap bisa menentukan nasibmu di awal-awal hidupmu. 

*** 

Suasana teramat hening. 

Sunyi. 

Kamu menduga, bermula dari ketiadaanlah kamu ada, yang hal itu kamu sadari, ketika suatu hari, kamu merasa seperti tiba-tiba ada, ditandai dengan denyutan lembut di sebuah daging kecil. Pada daging kecil itulah kamu merasa kejiwaanmu bersemayam. Pada saat itu, sejenak kamu merasakan kenyamanan. Kamu kembali mengatakan tentang keheningan suasananya. Rumah yang kamu huni begitu menenteramkan dan karena hal itulah dulu kamu sempat meyakini bahwa rupa hidupmu selanjutnya akan dipenuhi dengan kegembiraan. 

Tapi yang terjadi selanjutnya tidak seperti apa yang kamu kira, karena tidak berselang lama sejak kamu memikirkan tentang kenyamanan itu, rumah yang menjadi tempat di mana kamu tinggal tiba-tiba bergoyang. Seiring dengan goyangan itu kamu mendengar teriakan panjang. 

“Tidak!” 

Teriakan itu terjadi berulang kali hingga terdengar menggema, kemudian melemah tapi kamu merasa suara itu terdengar seperti menyayat hati. Tiba-tiba rumahmu bergoyang-goyang lagi, dan badanmu ikut bergoyang ke kanan dan ke kiri, bahkan lambat laun arah gerakannya tidak pasti, sampai kamu tidak tahu lagi bagaimana menjelaskannya. Tapi dari keteranganmu bisa disimpulkan bahwa saat itu kamu sedang terombang-ambing oleh gerakan itu. Sesekali kamu merasa rumah yang kamu huni menyempit. Ruang itu seperti sedang mendapatkan tekanan. Tidak lama kemudian kamu mendengar tangisan dan sejurus dengan itu rumah yang kamu tinggali kembali mengalami penyempitan beberapa kali, tapi akhirnya terhenti dan berganti dengan hening sejenak sebelum akhirnya kamu mendengar suara-suara gaduh. 

“Ya ampun!” 

“Darahnya banyak sekali.” 

“Biadab!” 

“Cepat, bawa dia ke dokter.” 

Pada saat itu kamu merasa rumahmu kembali bergoyang, tetapi goyangan itu tidak sekeras yang kamu alami sebelumnya, sebelum akhirnya kamu merasakan keheningan yang cukup lama. Tapi dalam perjalanan keheningan saat itu kamu menjadi sering mendengar sayup-sayup suara. Kamu tidak bisa menerangkan suara apakah itu, karena suara itu tidak begitu jelas. Kamu menduga asal suara itu agak jauh dari tempat di mana kamu berada saat itu. Kamu merasa, keheningan dengan suara sayup itu teramat lama. Hanya sesekali muncul suara teriakan histeris sebelum akhirnya jatuh ke dalam keheningan lagi. Tapi kamu bisa menghafali keadaan, pada saat suara histeris itu muncul, tak lama kemudian selalu terdengar teriakan yang hampir sama. 

“Jangan! Saya tidak mau disuntik!” 

Hal itu terjadi tepatnya sebelum sampai kepada keheningan yang berikutnya. Ketika keheningan itu sedang terjadi, justru pada saat itu kamu bisa merasakan kenyamanan hidupmu. Kamu merasa hidupmu bisa tenteram tanpa adanya gangguan. Tapi jika keheningan itu berlangsung sangat lama, di dalam dirimu seperti ada yang hilang. Kamu justru seperti merindukan kehadiran suara histeris itu. Sampai suatu saat kamu tahu dari sebuah percakapan yang waktu itu kamu dengar. 

“Katakanlah.” 

“Yang penting kamu sehat dulu, ya.” 

“Tolong, katakan.” 

“Sebentar lagi kamu sehat.” 

“Dokter.. Tolong katakan.” 

Kamu mengatakan, pada saat itu hening sejenak menyergap. Lama tidak ada tanggapan. Karena heningnya keadaan waktu itu, sampai kamu bisa mendengar dengan jelas suara ritmis detakan yang ada di luar dirimu. Bahkan kamu bisa merasakan detakan itu lambat laun seperti bertambah cepat, dan kamu merasa seakan detakan itu berada sangat dekat dengan dirimu. 

“Semoga kamu kuat.” 

Sejurus dengan perkataan itu, tak lama kemudian rumah yang kamu tinggali mengalami pemukulan. 

Buuk! Buuk! Buuk! Buuk! 

Seiring dengan pukulan itu, suara histeris berulang kali terdengar. 

Pukulan itu sangat keras dan getaran pemukulan itu cukup membuatmu terhenyak. Kamu terkejut, terlebih karena pukulan itu membuat beberapa kali tubuhmu terlempar mengenai dinding rumahmu. Saat itu kamu benar-benar merasakan ketidaknyaman dan karena hal itu dugaanmu tentang bagaimana rupa hidupmu selanjutnya akan dipenuhi dengan penderitaan mulai terbayang. Pukulan itu terus terjadi dan baru berhenti ketika kamu mendengar suara-suara gaduh. 

“Sabar, Sayang.” 

“Sabar, sabar! Tidak bisa! Aku ingin dia mati!” 

“Sabar ya, Sayang.” 

“Bodo amat! Dia anak bangsat!” 

Hening kembali menyergap. Tapi hanya sebentar, karena tak lama kemudian kamu merasakan rumahmu kembali berguncang oleh pukulan-pukulan yang semakin lama semakin membabi buta. 

Buuk! Buuk! Buuk! Buuk! 

Kejadian itu memberi pengertian bahwa tentu saja tubuhmu kembali terlempar. Terkait perihal pukulan itu kamu mengatakan sesuatu, meski dirimu berulangkali terlempar hingga mengenai dinding rumahmu, tapi entah mengapa kamu seperti tidak merasa sakit, bahkan kamu bilang bahwa kondisi tubuhmu seperti bertambah kuat. Jika pukulan itu diibaratkan sebuah ujian, pukulan-pukulan itu justru membuatmu menjadi kebal dan tumbuh menjelma sosok yang tahan banting. 

Kamu mengatakan, “Jika apa yang kualami itu dianggap derita, saya bilang kepada kalian bahwa sejak saat itu derita telah melekat dalam diriku. Saking lamanya derita itu berlangsung, sampai aku tak punya harapan lagi. Saya telah menganggap seluruh masa depanku adalah derita.” Setelah kamu mengatakan begitu, kamu sudah tidak lagi berhasrat menceritakan deritamu. Bahkan kamu memutuskan untuk tidak menceritakan kisah hidupmu yang bagian itu. Lalu kamu menjelaskan bahwa alasan kamu tidak menceritakan bagian derita tersebut semata karena kamu ingin menghormati dia, karena kamu menyadari bahwa derita yang kamu alami sesungguhnya belum seberapa jika dibandingkan dengan penderitaan yang menimpa dirinya. Dan menurutmu, celakanya hal itu baru bisa kamu ketahui pada saat kamu sudah tidak berada di rumahmu lagi. Kali ini kamu ingin menceritakan sebuah peristiwa di mana pada waktu itulah yang kamu anggap sebagai detik-detik kamu mengetahui bahwa deritanya begitu besar. Tapi sayangnya, pada saat itu kamu sudah berpisah dengan dirinya. 

Keheningan sejenak menyergap kembali, tetapi tiba-tiba kamu merasakan ada yang aneh. Ada sejumlah cairan yang mengaliri rumahmu hingga tempat yang kamu tinggali itu penuh dengan air. Sebenarnya air mengaliri rumahmu bukan sesuatu yang aneh, bahkan kesehariannya pun air sudah menjadi bagian penting dalam hidupmu, tetapi air yang mengaliri rumahmu kali itu berbeda. Kamu mencium aroma air yang datang saat itu tidak seperti biasanya. Ternyata kecurigaanmu benar, bahkan air itu mempunyai daya perusak, segala yang tersentuh air itu menjadi meradang, hingga sampailah kepada dirimu. Begitu air itu menyentuhmu, kamu seperti merasakan tubuhmu terbakar. Dan efek dari reaksi itu membuatmu terus bergerak. Kamu ingin terbebas dari segala yang panas. 

Kamu bergerak, dan terus bergerak, sampai tidak memedulikan sekeliling. Bergerak, terus bergerak hingga tak sadar kamu telah keluar dari rumahmu. Begitu menyadari keadaan, tiba-tiba kamu merasakan dingin. Berkebalikan dengan rasa yang kamu alami sebelumnya. Bahkan hawa dingin itu berbeda dengan dingin yang kamu rasakan biasanya. Meski kamu menganggap bahwa sebagian besar apa yang kamu alami di rumahmu dulu adalah derita, tetapi jika dibandingkan dengan keadaan tempatmu saat itu, rasa-rasanya kamu tetap memilih untuk tinggal di rumahmu yang dulu. Di tempat yang baru itu kamu merasa seperti tidak ada yang melindungi dari segala jenis petaka. Dan kamu mengatakan, mungkin karena keadaan itulah pada akhirnya, ketika kamu tiba-tiba mendapat sebuah pukulan, kamu sangat terkejut, dan kamu menangis sekencang-kencangnya. Kamu menyadari bahwa tangisanmu kali itu adalah tangisan paling keras. Dan pada saat itu sayup kamu mendengar sebuah percakapan. 

“Untuk sementara amankan dia dari jangkauan cicik.” 

“Benar.” 

“Sebelum kita benar-benar yakin bahwa cicik menerimanya, jangan izinkan memegangnya.” 

Itulah yang kamu dengar terakhir sebelum kamu tinggal di rumah kamu yang baru. Kamu merasa, di rumah baru itu memang sangat nyaman, tetapi entah mengapa kamu tetap merasa lebih tenang jika tinggal di rumahmu yang dulu. Dan saat itulah kamu menyadari bahwa sesungguhnya kamu sudah berpisah dengan rumahmu. Saat itu kamu merasa sendirian, sampai datanglah hari itu, waktu di mana kamu dipertemukan dengan dia. Ketika dalam kesendirian kamu anggap sebagai derita, pada saat bertemu dia, apa yang kamu anggap derita itu seakan lebur begitu saja. Bahkan deritamu waktu berada di rumahmu yang dulu pernah kamu yakini sebagai derita paling sejati pun juga ikut luruh ketika kamu bertemu dengannya. 

Pada saat itu kamu tahu, dalam pandanganmu melihat ada seorang perempuan dewasa sedang menggedongmu. Rambutnya lurus, wajahnya oval, kulitnya kuning putih bersih, hidungnya mancung, bibirnya tipis, dan matanya tampak seperti belati yang dari celah kecil matanya itu seakan kamu bisa melihat ada kilatan bara api yang begitu dahsyat, sekali kelebat bisa membakar dan menghanguskan semua yang hidup, termasuk mematikan segala macam benih. Mungkin juga sebuah janin. 

Tapi pada saat itu kamu melihat, dari celah kecil matanya lambat laun berair hingga menggenang di kelopaknya hingga sebagian tumpah, dan salah satu tetesannya jatuh di pipimu yang ranum. Kamu menduga, mungkin dia tidak tega melihatmu yang ringkih dan bertepatan dengan itu kamu mendengar dia menangis sesenggukan, dan tangisnya semakin menjadi-jadi ketika dia mendengar sapaanmu yang mungkin dia anggap sebagai celoteh lucu.*** 


------------------------------------

Yuditeha: Penulis tinggal di Karanganyar- Jawa Tengah. Pendiri Komunitas Kamar Kata Karanganyar, dan Pendiri Media Seni & Budaya Ideide-id. Buku terbarunya Kumcer Filosofi Perempuan dan Makna Bom (Rua Aksara, 2020).











Catatan: bagi yang ingin menyedekahkan atau berkontribusi cerpen atau puisi di linkkoe my id, silakan kirim naskah ke email andi.kamboeja@gmail.com (cerpen 1000 kata dan 5 naskah untuk puisi), untuk sementara waktu tidak berhonor. 

Copyright

Review

Food

pendidikan