Linkkoe Jurnal

Tools

Selasa, 05 Oktober 2021

Teori-Teori Ekspresivisme: Munculnya Paham Individualisme dan Otonomi

Teori-Teori Ekspresivisme: Munculnya Paham Individualisme dan Otonomi




Teori-Teori Ekspresivisme: Munculnya Paham Individualisme dan Otonomi



Teori ekspresivisme muncul bersamaan dengan perubahan-perubahan sistem sosial dan filsafat yang menempatkan manusia sebagai makhluk otonom yang memiliki kebebasan dan keutuhan sebagai individu. Karya-karya manusia sepe­nuhnya dipandang sebagai pengucapan kreatif pribadi individu tersebut. Dalam bidang karya sastra: pencurahan perasaan dan pikiran, bahkan kejiwaan yang berasal dari dalam diri individu tersebut.

Teori ekspresif sastra (The expressive theory of literature) adalah sebuah teori yang memandang karya sastra terutama sebagai pemyataan atau ekspresi dunia batin pengarangnya. Karya sastra dipandang sebagai sarana pengungkap ide, angan-angan, cita-cita, cita rasa, pikiran dan pengalaman pengarang. Dalam ungkapan yang lain, sastra adalah proses imajinatif yang mengatur dan menyintesiskan imajinasi-imajinasi, pemikiran-pemikiran, dan perasaan-perasaan pengarang (Abrams, 1987: 20). Studi sastra dalam model ini berupaya mengungkapkan latar belakang kepribadian dan kehidupan (biografi) pengarang yang dipandang dapat membantu memberikan penjelasan tentang penciptaan karya sastra. Oleh karena itu, teori ini seringkali disebut pendekatan biografi.



Teori ini merupakan studi yang paling mapan dan tertua dalam sejarah studi sastra (Wellek & Warren, 1993: 82). Teori ini dapat dianggap sebagai studi yang sistematis tentang psikologi pengarang dan proses kreatifnya. Dalam teori ini unsur 'manusia' sebagai pencipta mendapat perhatian serius. Ditinjau dari segi perkembangan pemikiran manusia, teori ini dapat dianggap tonggak sejarah baru yang membebaskan manusia dari gagasan lama yang mengungkung, bahwa banya Tuhanlah Sang Pencipta dan manusia banyalah peniru-peniru belaka.

Teori Ekspresivisme sering disebut pula sebagai teori pendekatan biografis karena tugas utama penelaah sastra adalah menginterpretasikan dokumen, surat, laporan saksi mata, ingatan, maupun pernyataan-pernyataan otobiografis pengarang. Teori ini banyak mendapat kritikan karena mengalihkan pusat perhatian dari karya sastra ke pribadi dan psikologi pengarang.

Sulit sekali menetapkan kapan teori ekspresivisme muncul pertama kali dalamjagat studi sastra. Teeuw (1988) dan Abrams (1987) menyebut Longinus, seorang negarawan dan ahli kritik sastra yang hidup dalam abad ke-3 M, sebagai pelopor teori ini. Dalam bukunya berjudul Peri Hypsous (Yun.= Tentang Keluhuran) Longinus mengungkapkan bahwa ciri khas dan ukuran seni sastra adalah keluhuran (yang luhur, yang mulia, yang unggul) sebagai sumber utama pemikiran dan perasaan pengarang. Sumber keluhuran itu antara lain: daya wawasan yang agung, emosi atau nafsu (passion) -yang mulia, retorika yang unggul, pengungkapan (diksi) dan penggubaban yang mulia. Unsur terpenting dalam penciptaan seni sastra adalah kreativitas dalamjiwa pengarang. Sumber­ sumber keagungan itu mengilhami dan merasuki kata-kata dengan semangat ilahi.

Pandangan Longinus ini untuk kurun waktu yang lama tidak banyak mempengaruhi pertumbuhan teori ekspresionisme. Baru sekitar tahun 1800 (pada jaman Romantik, abad 18-19) teori ekspresivisme mendapat perhatian dan berkembang dengan pesat. Tahun 1800 disebut oleh Abrams (1987) mengingat dalam tahun itu Wordsworth (seorang penyair lnggris terkenal) menulis sebuah dokumen penting yang menandakan awal pergantian teori sastra dari sudut pandang mimetik dan pragmatik kepada sudut pandang ekspresif.

Pergantian sudut pandang ini jelas tidak terjadi dengan tiba-tiba dalam sekejap. Ide tentang 'manusia individu sebagai pencipta' merupakan basil perkembangan yang munculnya tersendat-sendat dalam kebudayaan Barat (lihat Teeuw, 1988: 157-172). Dalam abad Pertengahan (abad 14, 15, 16), suatu kurun waktu yang disebut juga sebagai Abad Kegelapan, kebudayaan Eropa seolah­ olah tenggelam oleh kuatnya ikatan agama, teologi, clan filsafat Kristen yang menegaskan bahwa hanya Tuhanlah Pencipta sejati, sedangkan kegiatan manusia hanyalah meniru kembali. Manusia yang menyejajarkan diri dengan Tuhan dianggap berdosa. Manusia adalah hamba yang harus takluk pada Tuhan, dan hanya Tuhanlah yang menentukan masa depan manusia.


Perbandingan pandangan antara Agustinus dan Rousseau berikut ini memperlihatkan sudut pandang yang sangat berbeda mengenai diri pengarang dalam abad yang berbeda. Agustinus adalah uslup Roma yang hidup dalam abad kelima. Setelah mengalami pertobatan batin yang radikal, dia menjadi manusia saleh dan pemimpin agama terkemuka. Dia jugalah yang meletakkan dasar sistem filsafat Kristen. Bagi Agustinus, Tuhanlah yang menjadi pusat dunia. J .J. Rousseau adalah tokoh romantik yang terkenal karena menolak peradaban rasionalis dan lebih mengagungkan kemuliaan alam dan hati nurani. Bagi dia, manusia individuallah yang menjadi pusat dunia, yang bebas .menciptakan kehidupannya sendiri.

Ada empat pokok pertentangan antara Agustinus dan Rousseau dalam melihat  kedudukan manusia dan sejarahnya. Keempat pokok pertentangan itu sebagai berikut (Jaus, 1977: 85; Teeuw, 1984: 160-162).


Pandangan Agustinus


l) Dalam bukunya Confessiones (Pengakuan), Agustinus menggambarkan manusia sebagai hamba yang takluk pada Tuhan. Cerita mengenai sejarah hidup manusia harus larut dalam cerita tentang Tuhan. Riwayat manusia hanya bertujuan untuk menghilangkan dirinya.

2) Agustinus mempertentangkan Tuhan yang tidak berubah, abadi, dan kekal; Tuhanlah yang mengubah segala sesuatu dalam alam semesta. Manusia hanya ciptaan yang fana, riwayat hidupnya tidak utuh, terpecah-belah akibat dosa (asalnya). Keterputusan dengan masa lampau adalah ciri khas riwayat hidup manusia.

3) Tuhan yang abadi itu adalah sempurna. Dia tidak terikat pada waktu dan tempat. Manusia hanyalah makhluk yang tidak sempuma dan terikat pengalaman hidupnya menurut tempat dan waktu tertentu. Ingatan dan pengetahuannya tidaklah sempurna.

4) Hanya Tubanlah yang Mahatahu, sedangkan manusia bahkan tidak menge­tahui dan memahami dirinya sendiri. Jadi dalam menulis riwayat hidupnya, manusia tidak sanggup mengungkapkan siapa dirinya yang sebenamya sehingga lebih baik berdiam diri saja. Yang dapat dilalrukan hanyalah memuji dan memuliakan Tuhan selaku Penciptanya yang Mahaagung.


Pandangan Rousseau

l) Dalam bukunya Les Confessions (Pengakuan), Rousseau menekankan bahwa manusia adalah otonom. Dia hanya takluk pada hukumnya sendiri. Sebagai individu dia justru mewakili sifat universal yang tidak takluk pada apa dan siapa pun. Tujuan riwayat hidup manusia adalah penemuan dan pengungkapan dirinya yang unik. Manusia individu adalah pusat kehidupan dan pengalamannya sendiri.

2) Rousseau menekankan keutuban dan kesatuan riwayat hidup manusia. Menurut dia, pada dasamya manusia tidak berdosa dan eksistensinya tidak terputus. Situasi sosial masyarakat itulah yang merusak dunia manusia.

3) Manusia sebagai individu mempunyai pengalaman dan penghayatan diri yang total dan menyeluruh. Melalui daya imajinasinya manusia dapat mem­ bayangkan keunikannya sebagai individu sehingga dia harus bangga akan dirinya sendiri.

4) Manusia juga mahatahu. Dia dapat membenarkan dirinya sendiri. Dengan menuliskan riwayat hidupnya, manusia dapat memecahkan masalah keselamatan dan pembenaran dirinya.

Dari perbandingan di atas tampak jelas bahwa manusia semakin mengarahkan dirinya pada otonomi dan individualitasnya. Dia tidak lagi takluk dan terikat pada pandangan supranatural yang terasa kabur dan asing.

Sejalan dengan perubahan pandangan tersebut, juga dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, khususnya di bidang teknik (tekhne), pandangan bahwa manusia hanya sebagai peniru berangsur-angsur memudar. Pada abad ke-16, kepandaian dan kesanggupan manusia untuk mencipta, mengetahui, dan mema­hami mulai diakui dan berkembang pesat. Manusia mulai diakui sebagai kokreator. Dia mendasari penciptaannya pada otonomi dan individualitasnya. Perkembangan ini tidak dapat dilepaskan dari gerakan intelektual dan atmosfer kebudayaan yang berkembang di Eropa Barat yang dikenal dengan nama "Gerakan Pencerahan" (Enlightenment, Aujkliirung) (Abrams, 1981: 49-52).

Unsur terpenting dalam Gerakan Pencerahan itu adalah: menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan manusia atas kemampuan pikirannya dalam menangani dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan. Manusia sendirilah yang menetapkan norma-norma substansial bagi hidupnya sendiri. Gerakan ini menyurutkan pandangan-pandangan yang dianggap sebagai tipuan seperti takhyul (the darkness of superstition), prasangka (prejudice), dan kebiadaban (barbarity) yang membuat manusia takut untuk mengambil sikap otonom. Rasionalitas dipercaya mampu membawa manusia kepada sebuah dunia yang ideal.

Dalam bidang teori sastra, pandangan tentang seniman sebagai pencipta mencapai puncak perkembangannya pada zaman yang dikenal sebagai zaman Romantik, suatu periode yang berkisar antara tahun 1789 (sejak dimulainya Revolusi Perancis) dan berakhir tahun 1832 (yang ditandai dengan munculnya era Victorian) (Abrams, 1984: 165). Istilah Romantik dalam sastra mengacu pada suatu gerakan pemikiran dan penulisan karya sastra di seluruh Eropa dan Amerika yang menunjukkan karakteristik tersendiri, yang menganggap imajinasi lebih penting daripada aturan formal dan fakta. Romantisisme merupakan aliran yang meunjukkan minat yang besar pada keindahan alam, kepercayaan asli (agama hati nurani dan alam gaib), dan cara hidup yang sederhana sebagai pemberontakan terhadap gaya hidup teratur kaum borjuis. Mereka sangat menekankan spontanitas dalam mengungkapkan pikiran dan tindakan.

Tiga Aspek yang Dapat Mempengaruhi Kualitas Proses Pembelajaran Dilihat dari Faktor Guru

Tiga Aspek yang Dapat Mempengaruhi Kualitas Proses Pembelajaran Dilihat dari Faktor Guru



Tiga Aspek yang Dapat Mempengaruhi Kualitas Proses Pembelajaran Dilihat dari Faktor Guru


Guru merupakan salah satu komponen yang sangat menentukan dalam implementasi suatu strategi pembelajaran di kelas. Pada saat ini komponen guru sangat menentukan keberhasilan proses pembelajaran. Artinya bagaimanapun bagus dan idealnya suatu strategi pembelajaran dirancang, apabila faktor kemampuan guru tidak mendukung untuk mengaplikasikannya maka strategi itu hanya bagus di atas kertas saja. 

Setiap guru akan memiliki pengalaman, pengetahuan, kemampuan, gaya, dan bahkan pandangan yang berbeda dalam mengajar. Guru yang menganggap mengajar hanya sebatas menyampaikan materi pelajaran akan berbeda dengan guru yang menganggap mengajar adalah suatu proses pemberian bantuan kepada peserta didik. Masing-masing perbedaan tersebut dapat mempengaruhi baik dalam penyusunan strategi atau implementasi pembelajaran. Peran guru yang sangat penting ini akan lebih terasa urgensinya pada anak usia pendidikan dasar, yang sangat mudah terpengaruh oleh berbagai media yang berkembang saat ini seperti: televisi, radio, komputer, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, di tingkat SD sangat memerlukan bimbingan dan bantuan orang dewasa.


Dalam proses pembelajaran, guru tidak hanya berperan sebagai model atau teladan bagi siswa yang diajarnya, tetapi juga sebagai pengelola pembelajaran (manager of learning ). Dengan demikian, efektivitas proses pembelajaran terletak di pundak guru. Oleh karenanya, keberhasilan suatu proses pembelajaran sangat ditentukan oleh kualitas atau kemampuan guru. Norman Kirby (1981) menyatakan : “one underlying emphasis should be noticeable: that the quality of the teacher is the essential, constant feature in the success of any educational system .”

Menurut Dunkin (1974) ada tiga aspek yang dapat mempengaruhi kualitas proses pembelajaran dilihat dari faktor guru, yaitu ‘teacher formative experience’, ‘teacher training experience’, dan ‘teacher properties’.

1) Teacher formative experience, meliputi jenis kelamin serta semua pengalaman hidup guru yang menjadi latar belakang sosial mereka. Yang termasuk ke dalam aspek ini di antaranya meliputi tempat asal kelahiran guru termasuk suku, latar belakang budaya, dan adat istiadat. Juga keadaan keluarga dari mana guru itu berasal, misalkan apakah guru itu berasal dari keluarga yang tergolong mampu atau tidak, apakah mereka berasal dari keluarga harmonis atau bukan.

2) Teacher training experience, meliputi pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan aktivitas dan latar belakang pendidikan guru, misalnya pengalaman latihan profesional, tingkat pendidikan, pengalaman jabatan, dan lain sebagainya.

3) Teacher properties adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan sifat yang dimiliki guru, misalnya sikap guru, kemampuan atau inteligensi guru, motivasi dan kemampuan mereka.

Dengan kata lain faktor guru dalam sistem pembelajaran salah satu faktor yang saat ini sangat dominan pengaruhnya terhadap keberhasilan dalam proses pembelajaran. Oleh sebab itulah maka standar nasional pendidikan menghendaki guru memiliki kompetensi profesional yang dibuktikan dengan lulus sertifikasi profesi guru.

Bagaimana seseorang pendidik dapat dikatakan profesional? Beberapa ahli mengemukakan sebagai berikut: Robert F. McNergney (dari University of Virginia) dan Carol A. Carrier (University of Minnesota) menyatakan ada dua tugas dan perilaku guru yang merupakan refleksi profesional dalam tugas: (1) mempunyai komitmen yang tinggi terhadap siswa (Commitment to the student) dan (2) mempunyai komitmen yang tinggi terhadap profesi itu sendiri (Commitment to the Profession). Dalam perspektif lain, tetapi masih dalam arah konsep yang senada Glickman (1987) mengungkapkan dua indikator yang dapat menggambarkan refleksi sikap dan perilaku profesionalisme guru dalam melaksanakan tugas profesi keguruannya. Kedua indikator tersebut adalah: (1) Teacher commitment (komitmen guru terhadap pelaksanaan tugas-tugas sebagai guru) dan (2) Teacher’s ability to think abstractly (kemampuan guru dalam memiliki wawasan dan perkembangan dirinya menjadi seorang tenaga ahli dengan kemampuan yang tinggi).

Di sisi lain pendidik juga harus memiliki kewibawaan dalam melaksanakan tugasnya sebagai guru. Langeveld mengemukakan ada tiga hal pembentuk kewibawaan yaitu: 

(1) “kepercayaan” (percaya diri sendiri dan percaya bahwa peserta didik bagaimanapun keadaannya dapat dididik), 

(2) “kasih sayang” yaitu adil dalam kasih sayang terhadap semua peserta didik, tidak ada anak emas dan sebagainya), dan 

(3) “kemampuan” (yaitu kemampuan pendidik dalam mengembangkan diri baik menyangkut kemampuan penguasaan materi bahan ajar maupun kemampuan dalam melaksanakan prosedur dan pendekatan proses pembelajaran).

Masalah guru/pendidik biasanya berkisar pada persoalan kualifikasi, kompetensi, kesejahteraan dan etos kerja serta komitmen profesi. Dalam kaitan dengan guru yang profesional seperti diuraikan di atas, Indra Jati Sidi (2001) mengungkapkan bahwa guru masa depan tidak hanya tampil sebagai pengajar (Teacher) seperti fungsinya selama ini yang menonjol, melainkan juga sebagai pelatih (coach), pembimbing (counselor) dan manajer belajar (learning manager).

Sebagai pelatih, guru mendorong peserta didik untuk bekerja keras dan mencapai prestasi yang setinggi-tingginya, membantu menghargai nilai belajar dan pengetahuan. Sebagai konselor, guru berperan sebagai sahabat siswa, menjadi teladan dalam pribadi yang mengandung rasa hormat dan keakraban dari siswa.

Sebagai manajer belajar, guru membimbing peserta didik untuk selalu belajar, mengambil prakarsa dan mengeluarkan ide-ide yang baik yang dimilikinya.

Kamis, 30 September 2021

Definisi Sastra dan Ciri Khas Sastra




Definisi Sastra dan Ciri Khas Sastra

Dalam bahasa-bahasa Barat, istilah sastra secara etimologis diturunkan dari bahasa Latin literatura (littera = huruf atau karya tulis). Istilah itu dipakai untuk menyebut tatabahasa dan puisi. Istilah Inggris Literature, istilah Jerman Literatur, dan istilah Perancis litterature berarti segala macam pemakaian bahasa dalam bentuk tertulis. Dalam bahasa Indonesia, kata 'sastra' diturunkan dari bahasa Sansekerta (Sas- artinya mengajar, memberi petunjuk atau instruksi, mengarahkan; akhiran -tra biasanya menunjukkan alat atau sarana) yang artinya alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran. Misalnya: silpasastra (buku petunjuk arsitektur), kamasastra (buku petunjuk mengenai seni cinta).

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa istilah 'sastra' (yang di Eropa baru muncul sekitar abad ke-18 itu) pertama-tama digunakan untuk menyebut pemakaian bahasa dalam bentuk tertulis. Fokus perhatian kepada 'bahasa tulis' itu menimbulkan pertanyaan, misalnya apakah 'sastra' lisan tidak termasuk sastra? Apakah semua bentuk tulisan (kedokteran, arsitektur, agama, filsafat, dan politik) juga dapat disebut sastra?


Ada upaya Iain telah dilakukan untuk menghindari kerancuan pengertian tentang sastra. Dalam bahasa Perancis, dipergunakanlah istilah belles-lettres (yang berarti: tulisan yang indah dan sopan) istilah yang khas untuk menyebut karya sastra yang bemilai estetik. Dalam babasa Indonesia, ada teoretisi yang menyebut awalan -su dalam kata susastra yang berarti: baik, indah, perlu dikenakan kepada karya-karya sastra untuk membedakannya dari bentuk pemakaian bahasa lainnya.

Pandangan-pandangan ini didasarkan pada suatu anggapan bahwa ciri khas sastra adalah pemakaian bahasa yang indah. Persoalannya adalah tidak semua karya sastra (terutama terlihat pada seni-seni modem) menggunakan bahasa yang indah dan berbunga-bunga. Foucault menyebutkan bahwa sastra modem lahir dan bertumbuh di dalam kemapanan bahasa dan kungkungan pola-pola linguistik yang kaku. Oleh karena itu, sastra modem berlomba-Iomba mentransgresikan dirinya pada suatu ruang abnormal. Sastra modem justru menawarkan suatu dunia dan bahasa yang aneh dalam kesadaran masyarakatnya. Perhatikan "Fenomena Sade" (yang menekuni bahasa dan keasingan dunia): sadisme dan seksualitas dieksplorasi dan dipertontonkan habis-habisan. Pembaca justru diajak untuk merasa takut, jijik, ngeri, bodoh, emosi, marah, dan diam. (Catatan: Sade adalah seorang sastrawan narapidana Perancis yang memelopori model sastra ini. Pengikutnya antara Iain Holderlin, Flaubert, Nietzche, dan Baudelaire, Oscar Wilde).

Benarlah bahwa definisi mengenai 'sastra' dan upaya merumuskan 'ciri khas sastra' sudah banyak dilakukan orang tetapi sampai sekarang agaknya belum memuaskan semua kalangan. Van Luxemburg et.al. (1986: 3-13) menyebutkan alasan-alasan mengapa definisi-definisi mengenai sastra tidak pemah memuaskan. Alasan-alasan itu adalah: 1) Orang ingin mendefinisikan terlalu banyak sekaligus, tanpa membedakan definisi deskriptif (yang menerangkan apakah sastra itu) dari definisi evaluatif (yang menilai sesuatu teks termasuk sastra atau tidak); 2) . Sering orang ingin mencari sebuah definisi ontologis yang normatif mengenai sastra (yakni definisi yang mengungkapkan hakikat sebuah karya sastra). Definisi semacam ini cenderung mengabaikan fakta bahwa karya tertentu bagi sebagian orang merupakan sastra tetapi bagi orang lain bukan sastra; 3) Orang cenderung mendefinisikan sastra menurut standar sastra Barat; dan 4) Definisi yang cukup memuaskan hanya berkaitan dengan jenis sastra tertentu (misalnya puisi) tetapi tidak relevan diterapkan pada sastra pada umumnya.


Para ahli kesusastraan umumnya sepakat untuk mengatakan bahwa tidak mungkin dirumuskan suatu definisi mengenai sastra secara universal. Apa yang disebut 'sastra·· sangatlah tergantung pada lingkungan kebudayaan tertentu di mana sastra itu dijalankan. 'Sastra' hanyalah sebuah istilah yang dipergunakan untuk menyebut sejumlah karya dengan alasan tertentu dalam lingkup kebudayaan tertentu pula.

Beberapa definisi 'ontologis' (yakni definisi yang bermaksud merumuskan hakikat sastra) terbukti tidak dapat diterapkan untuk menyebut sastra secara universal. Definisi-definisi ontologis itu misalnya: "Sastra adalah karya ciptaan atau fiksi yang bersifat imajinatif"; "Sastra adalah penggunaan bahasa yang indah dan berguna yang menandakan hal-hal lain"; "Sastra adalah teks-teks yang bahasanya dimanipulasi atau disulap oleh pengarangnya sehingga menghasilkan efek 'asing' (deotomatisasi) dalam pencerapannya.

Terhadap definisi-definisi tersebut telah banyak diajukan keberatan­ keberatan. Dalam lingkungan sastra Cina, unsur fiksionalitas temyata tidak berlaku bagi sastra mereka. Bahasa sastra tidak seluruhnya indah clan berbunga­ bunga. Banyak juga karya sastra yang menggunakan kata-kata kotor dan menjijikkan. Jean Paul Sartre (1948) membantah anggapan bahwa bahasa sastra adalah 'tanda-tanda' (code). Menurut dia, bahasa sastra adalah "benda-benda" (mots-choses).

Yang dapat dilakukan untuk kepentingan studi sastra adalah merumuskan seperangkat ciri-ciri teks yang disebut 'sastra' itu dengan berpijak pada asas kenisbian historis. Memang mustahil merumuskan satu definisi sastra yang berlaku secara universal. Namun di dalam praktik kita dapat membedakan teks-teks sastra dari teks-teks yang bukan sastra. Teks-teks bukan sastra berfungsi dalam komunikasi praktis, siap dipakai, dan dimanfaatkan. Teks-teks sastra tidak terutama memenuhi fungsi komunikatif melainkan fungsi estetik dalam suatu lingkup kebudayaan tertentu. Agar dapat memenuhi fungsi estetik itu suatu teks harus disusun secara khas sesuai dengan model estetika yang berlaku dalam lingkungan kebudayaannya. Teks-teks sastra merupakan modul kebudayaan yang mengungkapkan nilai-nilai dan norma-norma kebudayaan tersebut. Seperti kebudayaan dapat berubah demikian juga modul-modulnya berubah.

Minggu, 26 September 2021

Menulis Skenario Hidup Sendiri, Terus Berkembang dan Menjadi Menarik

skenario hidup,terus berkembang,menjadi menarik,Serba-Serbi,motivasi,



Menulis Skenario Hidup Sendiri, Terus Berkembang dan Menjadi Menarik



Menulis Skenario Hidup Sendiri

Skenario tentang hidup kita pada saat ini masih dalam proses penulisan. Penulisnya adalah kita sendiri. Marilah kita menulis apa saja yang kita inginkan. Tentu saja kita akan berjumpa dengan berbagai tantangan. Jika kita tidak pernah memiliki sesuatu untuk ditaklukkan, bagaimana mungkin kita akan bisa berkembang?

Bayangkan saat ini kita diminta untuk menulis pidato pada waktu kematian kita. Apakah kita puas dengan pekerjaan-pekerjaan yang pernah kita buat? Jika tidak puas ingatlah bahwa hidup ini belum berakhir. Hari ini hanyalah satu titik dari keseluruhan hidup kita.

Kita masih dapat mulai lagi. Kita masih memiliki kesempatan untuk menjadi diri yang terbaik. Kesalahan-kesalahan kita bisa diluruskan, bahkan dihapuskan.

Kita belum terlambat. Tidak pernah. Mari kita pegang urat nadi kita dan kita rasakan. Kita masih hidup bukan? Berterimakasihlah pada Tuhan atas tantangan- tantangan yang dianugerahkan pada kita. Jangan berhenti. Maju terus setapak demi setapak.

Terus Berkembang

Kita adalah bagian dari lingkungan kita. Mari kita lihat dan tatap diri kita. Kita pasti akan menemukan keindahan dalam diri kita. Orang bilang: "Di mana kita ditanarn, di situ pula kita harus berkembang".

Jadilah tumbuh-tumbuhan yang selalu hijau. Tumbuh- tumbuhan yang tetap mekar sepanjang tahun, tanpa perlu ditanyakan apa sebabnya. Bunga-bunga liarpun bisa bermekaran. Di pegunungan-pegunungan bunga-bunga menyemarakkan keindahan alam. Taman- taman di tepi jalan membuat kota-kota semakin asri. Dan di rumah kita, kita adalah bunga-bunga itu.

Kita ajak sesama kita untuk bertukar pikiran, bertukar impian ataupun berrukar pengalaman. Kita tanyakan kepada mereka apa yang mereka miliki. Hal seperti itu dapat diibaratkan seperti penyerbukan silang. Senyumlah pada waktu kita mendengarkan pengalaman orang lain itu. Seperti halnya sinar mentari bermanfaat bagi tumbuh-tumbuhan, demikianpun hidup kita membawa manfaat bagi orang lain.

Menjadi Menarik

Percayalah bahwa diri kita betul-betul menarik. Keindahan kita diperhitungkan. Memang kita bukan ratu kecantikan. Juga bukan orang yang paling tampan di seluruh negeri. Tetapi percayalah bahwa kita memiliki ketampanan tersendiri. Kita adalah kita. Kita adalah diri yang "khas'', "khusus", "istimewa".

Kebaikan dan kasih membuat orang-orang yang nampaknya biasa-biasa saja menjadi amat memikat, walaupun mereka itu tambun ataupun krempeng.

Jangan pernah minder. Yakinlah bahwa pakaian yang kita kenakan mampu membuat kita menjadi menarik dan "make up" yang kita pakai mampu membuat wajah kita menjadi tampan. Namun bukan melulu karena pakaian dan "make up", melainkan karena kita hidup, tepatnya hidup dengan gairah.

Kita hanya perlu mengenal keindahan diri kita. Kita hanya perlu meyakinkan diri kita sendiri: "Saya sungguh menarik" atau "Saya sungguh cantik". Camkan itu baik-baik.

Sabtu, 25 September 2021

Pendidikan dari Orang Tua Sangat Berpengaruh pada Perkembangan Sikap Anak

pendidikan,pendidikan orang tua,sikap anak,perkembangan anak,



Pendidikan dari Orang Tua Sangat Berpengaruh pada Perkembangan Sikap Anak


Seseorang mulai mendapatkan pendidikan sejak memperoleh pengalaman dalam lingkungannya, terutama lingkungan keluarga di mana anak dilahirkan dalam keadaan lemah tidak berdaya. Kelangsungan dalam proses hidupnya sangat tergantung kepada pertolongan orangtuanya atau orang yang menyusui dan mengasuhnya. Anak yang dalam keadaan lemah tidak berdaya tersebut, sebenarnya telah menyimpan beberapa potensi pembawaan yang serba memungkinkan untuk ditumbuhkan dan dikembangkan, bagi kelangsungan hidup dan pemenuhan kebutuhan hidup manusia.

Adapun potensi-potensi anak yang dibawa sejak lahir yang dibina dan dikembangkan menjadi sikap anak, meliputi hal di bawah ini.

1. Potensi jasmani dan pancaindra

Dengan mengembangkan sikap hidup sehat, memelihara gizi makanan, olahraga yang teratur, istirahat yang cukup, lingkungan hidup bersih.

2. Potensi pikir (rasional)

Dengan mengembangkan kecerdasan suka membaca, belajar ilmu pengetahuan yang sesuai dengan minat, mengembangkan daya pikir kritis, dan objektif.

3. Potensi perasaan dikembangkan

  • perasaan yang peka dan halus dalam segi moral dan kemanusiaan (etika) dengan menghayati tata nilai ketuhanan, keagamaan, kemanusiaan, sosial budaya, dan ilsafat.
  • perasaan estetika dengan mengembangkan minat kesenian dengan berbagai seginya, sastra dan budaya.


4. Potensi karsa atau kemauan yang keras

Dengan mengembangkan sikap rajin belajar atau be-kerja, ulet, tabah menghadapi segala tantangan, berjiwa perintis (pelopor), suka berprakarsa, termasuk hemat, dan hidup sederhana.

5. Potensi-potensi cipta

Dengan mengembangkan daya kreasi dan imajinasi dari segi konsepsi-konsepsi pengetahuan maupun seni budaya (sastra, puisi, lukisan, desain, dan model).

6. Potensi karya

Konsepsi dan imajinasi tidak cukup diciptakan se-bagai konsepsi, semuanya diharapkan dilaksanakan secara operasional. Inilah tindakan, amal, atau karya yang nyata. Misalnya, gagasan yang baik tidak cukup dilontarkan, kita berkewajiban merintis penerapan- nya.

7. Potensi budi nurani

Kesadaran ketuhanan dan keagamaan, yakni kesa-daran moral yang meningkatkan harkat dan marta- bat manusia menjadi manusia yang berbudi luhur, atau insan kamil atau manusia yang takwa menurut konsepsi agama masing-masing.


Dalam proses pendidikan, potensi-potensi tadi meru- pakan potensi dasar manusia dan merupakan isi pendidikan yang dibina dan dikembangkan dalam proses hidup dan ke- hidupan seseorang, mulai dari lingkungan keluarga hingga kepada masyarakat yang lebih luas. Seseorang mengalami kehidupan dimulai dari lingkungan keluarga. Semua pengalaman yang diperoleh dari lingkungan keluarga ini sebagai dasar bagi hidup dan kehidupan pada masa berikutnya.

Pendidikan dalam keluarga atau pendidikan orang tua berlangsung secara otomatis dan alami, dan memberikan kesan yang membekas sepanjang masa. Kehidupan dalam keluarga merupakan bentuk pertama pendidikan, karena dalam keluargalah tempat meletakkan dasar-dasar kepribadian anak pada usia yang masih muda. Biasanya pada usia ini, anak-anak masih sangat peka terhadap pengaruh lingkungan keluarga atau masyarakal di sekelilingnya.

Pendidikan dalam keluarga berlangsung secara otomatis dan alami, dan memberikan kesan yang membekas sepan- jang masa. Kehidupan dalam keluarga merupakan bentuk pertama pendidikan, karena dalam keluargalah tempat me- letakkan dasar-dasar kepribadian anak pada usia yang masih muda. Biasanya pada usia ini, anak-anak masih sangat peka terhadap pengaruh lingkungan keluarga atau masyarakal di sekelilingnya.

Rumah tangga atau keluarga yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak merupakan lingkungan pendidikan pertama bagi anak. Ayah, ibu, atau orang-orang yang diberikan tanggung jawab dalam suatu keluarga, memegang peranan terhadap pendidikan anak-anaknya. Jika ibu berhasil mena- namkan kasih sayang dan pendidikan yang baik, maka akan terkesan bagi anak untuk selama-lamanya. Hal itu, dilukis kan oleh seorang penyair kenamaan Hafez Ibrahim yang mengatakan, ”ibu adalah suatu sekolah”, bila dipersiapkan dapat membentuk bangsa yang baik dan kuat. Demikian pula pengaruh seorang ayah terhadap anak-anak sangat besar pula, dalam pembentukan sikap dan tingkah laku anak. Apa dan bagaimana cara suatu pekerjaan yang dilakukan seorang ayah akan berpengaruh pula terhadap cara pekerjaan anak dan lain sebagainya.

Di samping itu, anak bergaul pula dengan orang lain di luar keluarganya untuk mendapatkan pengalaman-pengalaman baru dalam proses pendidikan. Lingkungan masyara- kat merupakan pendidikan, selain keluarga dan sekolah yang akan membentuk kebiasaan, pengetahuan, minat dan sikap, kesusilaan, kemasyarakatan, dan keagamaan anak. Di dalam lembaga masyarakat atau dalam pergaulan di luar keluarga, si anak memperoleh pendidikan yang berlangsung secara informal, baik dari para tokoh masyarakat, pejabat atau penguasa, dan para pcmimpin agama, dan lain sebagainya.

Demikian pula sekolah atau madrasah, sebagai lembaga pendidikan formal berfungsi membantu keluarga untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan kepada anak sebagai kelanjutan proses pendidikan yang dialami anak, setelah keluarga dan lingkungan masyarakatnya. Pendidikan yang diterima anak di sekolah, berupa pengetahuan dan keterampilan yang masih bersifat umum sebagai dasar dan bekal, yang akan dikembangkan di kemudian hari setelah anak ke- luar atau tamat dari sekolah tersebut. Namun tidak jarang pula terjadi setelah keluar dari sekolah masih belum siap sepenuhnya untuk melaksanakan tugas hidup sesuai dengan profesi yang dipilihnya. Sehingga, masih perlu mendapatkan pendidikan persiapan tambahan yang termasuk dalam pendidikan nonformal.

Dari uraian singkat tadi, telah dapat dipahami bahwa proses pendidikan berlangsung bersama dengan proses hidup dan kehidupan seseorang untuk seumur hidup (long life education). Oleh karena itu, pendidikan mempunyai kedudukan sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan hidup dan kehidupan manusia. Sebagaimana dikemukakan oleh John Dewey dalam analisisnya, yaitu: Education as a ne- cessity o life, Education as social function, Education as direction, Education as growth, Preparation, unfolding and formal discipline. (pendidikan itu sebagai salah satu kebutuhan hidup, salah satu fungsi sosial, bimbingan, sarana pertumbuhan, dan mempersiapkan, mengembangkan dan membentuk kedisiplinan).

Jadi, pendidikan merupakan suatu aktivitas manusia terhadap manusia dan untuk manusia, atau yang berhubungan dengan hidup dan kehidupan manusia dengan segala problematikanya.

Minggu, 19 September 2021

Kritik Sastra Pragmatik: Pendekatan Pragmatik dalam Kritik Sastra

Kritik Sastra Pragmatik: Pendekatan Pragmatik dalam Kritik Sastra



Kritik Sastra Pragmatik: Pendekatan Pragmatik dalam Kritik Sastra

Ketika penekanan dialihkan ke pembaca, dan pandangan kritikus dalam hal efeknya terhadap penonton, ia menggunakan teori pragmatis yang dominan hingga akhir abad kedelapan belas. Abrams (1981: 15) menyebut kritikus pragmatik melatih pemahaman yang dilakukan pembaca sastra. Lebih tepatnya, kritik pragmatik mencoba mengeksplorasi intelektual dan hal-hal penting, dampak emosional dan etis yang dimiliki karya sastra kepada pembaca. Dari perspektif ini, sastra dievaluasi dengan mengacu pada yang baik atau buruk terhadap efek yang dianggap benar oleh pembaca. Bahkan, Siswanto dan Roekhan, 1991: 30), menyatakan bahwa karya sastra baru dianggap sebagai karya sastra dengan segala legalitasnya ketika telah sampai ke tangan pembaca dan telah dibacanya. Namun, bila karya sastra belum dibaca oleh pembaca, maka belum ada keutuhan komunikasi antara penulis dan pembaca.

Kritik pragmatis sebagian besar mendominasi diskusi sastra dari Art of Poetica oleh Horace Romawi (abad pertama SM) sampai abad kedelapan belas, telah terjadi dihidupkan kembali dalam kritik retorika baru-baru ini, yang menekankan strategi artistik dimana seorang penulis melibatkan dan mempengaruhi respons pembaca terhadap hal-hal yang diwakili dalam sastra.kerja. Pendekatan pragmatis juga telah diadopsi oleh beberapa strukturalis yang menganalisis teks sastra sebagai permainan kode yang sistematis yang memengaruhi respons interpretatif pembaca.

Pertama dan yang terutama dalam kritik pragmatis yaitu berkaitan dengan dampak etis dari setiap teks sastra kepada pembaca. Terlepas dari kelebihan dan kekurangan karya, tanggung jawab utama sastra bersifat sosial. Menilai, memenuhi, dan membentuk kebutuhan, keinginan, pembaca harus menjadi tugas seorang pembuat karya. Kritikus pragmatis percaya bahwa sastra sangat ambivalen dalam kemampuannya untuk mempromosikan kebaikan atau kejahatan. Tugas kritik pragmais adalah dengan membangun standar moral kualitas sastra dengan menentukan batasan artistic berdasarkan pedoman moral, etika, menghibur, menginspirasi, dan menginstruksikan pembaca dengan pengetahuan tentang kebenaran.

Kritik sastra dengan pendekatan pragmatik yang menitikberatkan pada peran pembaca sebagai penghayat memiliki peran utama dalam menilai baik atau buruk, layak atau tidak layak, bernilai atau tidak bernilai. Pembaca seolah-olah memiliki otonomi yang kokoh dan kedigdayaan dalam menilai suatu karya sastra. Karya yang dihasilkan oleh penulis sudah sepenuhnya menjadi tanggung jawab pembaca, sedangkan penulisnya sudah tidak memiliki kewenangan. Pembacalah yang menentukan setiap hal yang ditulis oleh sastrawan dalam menyampaikan pesan, nilai, dan unsur didalamnya (Selden, 1991: 106—107; Aminuddin, 1987: 94).

Teks sastra yang dihasilkan penyair dipandang sebagai benda yang perlu direkonstruksi ulang agar membentuk objek estetik. Respon atas karya tersebut sepenuhnya menjadi kewenangan seorang pembaca. Pembaca dapat memberikan respon dengan membuat ulang, merekonstruksi aspek yang baru, mencatat, atau menilai karya tersebut. Bahkan, pembaca berwenang untuk meninggalkan reaksi negatif dengan tidak membacanya lagi, marah, kesal, dan lain sebagainya (Endraswara, 2013 :119).

Perkembangan pendekatan pragmatik yang semakin lama melahirkan tokoh-tokoh baru, seperti Wolfgang Iser, Hans Robert Jausz. Tokoh-tokoh tersebut melahirkan pandangan resepsi sastra atau resepsi estetik (Junus, 1985). Resepsi sastra dapat dimaknai sebagai kajian yang mempelajari teks sastra dengan menitikberatkan pada pembaca untuk memberikan respon baik aktif maupun pasif (Junus, 1985; Endraswara, 2013).

Seorang penikmat sastra akan mendapatkan pesan yang berbeda ketika membaca cerpen Gus Jafar karya K.H. Mustofa Bisri yang diterbitkan oleh Kompas tahun 2002 yang kemudian dibukukan dalam antologi cerpen berjudul Lukisan Kaligrafi (2013). Pembaca awam akan bertanya-tanya bagaimana bias Gus Jafar memiliki kemampuan khusus untuk melihat kejadian yang akan terjadi. Begitu juga ketika membaca cerpen Salawat Dedaunan karya Yanusa Nugroho yang dimuat koran Kompas pada Oktober 2011 dan dibukukan dalam kumpulan cerpen berjudul Setubuh Seribu Mawar (2013). Pembaca awam akan bertanya bagaimana bisa masjid yang sepi bisa ramai kembali hanya dengan adanya tokoh Nenek yang memunguti daun? Bagaimana peran tokoh yang lain dalam meramaikan masjid lagi? Dan lain sebagainya.

Teks sastra yang dimaknai bergantung pada penerimaan pembaca, sehingga makna yang yang ada bergantung proses pembaca melakukan konkretisasi teks. Pembaca akan memaknai berbeda pada karya yang sama. Inilah yang menjadi celah dalam pendekatan pragmatic ataupun teori resepsi sastra. Pembaca yang memiliki horizon harapan atau skemata yang baik tentu akan berbeda dengan pembaca yang ‗biasa saja‘. Hal itu pula yang disampaikan Damono (1983), bahwa masing-masing kritikus akan melahirkan kritik yang berbeda meski telah membaca sajak yang sama.

Kritik Sastra Mimetik: Pendekatan Mimetik dalam Kritik Sastra

Kritik Sastra Mimetik: Pendekatan Mimetik dalam Kritik Sastra



Kritik Sastra Mimetik: Pendekatan Mimetik dalam Kritik Sastra 

Kritik sastra telah diterapkan sejak abad ketujuh belas hingga deskripsi, pembenaran, analisis, atau penilaian karya seni. Kritik di zaman modern adalah diklasifikasikan dalam berbagai cara. Abrams pada karyanya The Mirror and the Lamp berbicara tentang empat teori kritis yang berbeda, yaitu mimetik, pragmatik, ekspresif, dan objektif.

Mimetik menurut Abrams (1976:16) sebagai kajian yang paling primif dibandingkan yang lainnya. Mimesis sebagai konsep pada dasarnya merujuk pada prinsip dasar dalam seni di mana seorang seniman menciptakan karya dengan menyalin dari alam. Dengan kata lain, teori mimesis seni terutama didasarkan pada asumsi bahwa segala bentuk seni representatif adalah salinan alam. Mimetik, sebagai istilah kritis seperti lazimnya digunakan saat ini, pada awalnya muncul dari tulisan teoretis dan diskusi sumber Yunani klasik terkemuka. Mode pendekatan ini, yang pertama kali muncul di Plato dan (dalam cara yang memenuhi syarat) di Aristoteles yang tetap menjadi ciri khas teori modern tentang realisme sastra (Abrams, 1981: 8).

Plato mencoba mengaitkan mimetik dengan imitasi atau tiruan. Menurut Plato, bagaimanapun juga, imitasi yag terkiat akan berbahaya dalam pembuatan karya karena menghilangkan dari kebenaran itu sendiri. Bagi Plato, mimetic terikat dengan ide penciptanya. Ide tersebut tidak dapat menghasilkan tiruan yang sama. Melalui mimetic ini tataran yang dihasilkan dalam tataran tertinggi hanya sebatas angan-angan. Karya seni (sastra) tidak dapat berubah menjadi sempurna secara langsung. Pandangan Plato terhadap karya cukup negatif. Plato beralasan bahwa apa yang dijadikan karya sastra merupakan daya khayal yang masih jauh dari kebenaran. Sebagai contoh, wujud meja adalah suatu ide yang otentik, sementara tukang pembuat meja meniru dalam dunia ide. Hasil tiruan ini tidak dapat menyamai dengan meja yang ada di dalam ide. Meskipun meja hasil tukang kayu belum mendekati aslinya, tetapi masih lebih mendekati kebenaran bila diperbandingkan dengan hasil yang dilakukan oleh penyair (Luxemberg, dkk., 1984: 16). Plato percaya bahwa hal itu akan menyesatkan karena hanya terbatas ilusi. Bahkan Plato mengatakan seni hanya memunculkan nafsu karena menimbulkan emosi dan bukan rasio. Seniman cenderung mengumbar nafsu, padahal seharusnya menjadi manusia yang berasio dan meredakan nafsu (Teeuw, 1984). Karena itu, Plato membangun model mimetic yang tidak menguntungkan.

Pandangan Plato tentang mimetik dikritik dan dikembangkan oleh muridnya, Aristoteles. Aristoteles setuju dengan pandangan Plato pada prinsip puisi dan kata sebagai bentuk seni yang representatif dari mimetic dari alam. Namun, Aristoteles mendalilkan mimetic yang menunjukkan imitasi dan menimbulkan interpretasi (Hagberg, 1984: 364). Aristoteles meyakini bagian alami manusia adalah seorang makhluk yang imitatif. Gagasan Aristoteles tentang mimetic menunjukkan cara di mana suatu tindakan yang ditimbulkan, tetapi tidak sebenarnya dilakukan menyamai fitur penting dari semua tiruan. Setiap mimetic adalah kebangkitan dari suatu tindakan yang benar-benar terjadi, yang tidak benar-benar dilakukan, yang hanya memberikan ilusi berlangsung (Murnaghan, 1995: 757; Ratna, 2011: 70).

Aristoteles membebaskan teks dari hubungannya dengan alam semesta sebagaimana pandangan Plato, sambal tetap mengakui hubungan teks yang meniru itu dengan alam semesta. Aristoteles juga menunjukkan bahwa cara peniruan dan bukan hubungan yang dengan kebenaran yang penting dalam karya seni atau sastra, dan bahwa evaluasi esetika harus didasarkan pada penilaian ―cara peniruan‖ dan efek emosional yang dihasilkan oleh penonton. Aristoteles juga memandang bahwa dunia dalam karya seni atau karya sastra lebih menguntungkan dan menarik daripada dunia nyata.

Di era postmodern, gagasan tentang tekstual dan intertekstual muncul dengan mempertanyakan kemungkinan mimetik sebagai representasi dan klaim bahwa tidak ada dokumen asli tetapi hanya salinan yang secara serius menentang otoritas mimetik. Namun demikian, pandangan sastra sebagai tiruan telah kembali bertahan. Paul Ricoeur (1976: 39) berkomentar bahwa mimetic adalah poesis (perbuatan demi suatu hasil di luar perbuatan itu), dan poisis adalah mimetik bukan hanya penegasan kembali mimetic sastra. Ricoeur mencetuskan konsep transfigurasi atau (mimesis III) yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Hal ini merupakan akibat adanya efek dari teks bacaan dan mendapat penghayatan sehingga mengubah dirinya atau membantu memahami diri dengan lebih baik.

Hans Georg Gadamer (1999) juga berusaha keras untuk mempertahankan dan mendefinisikan kembali mimetik. Gadamer mencetuskan fusion of horizons atau peleburan cakrawala untuk mengistilahkan pertemuan dua alam yang berbeda. Peleburan cakrawala terjadi akibat seorang pembaca yang tidak mungkin menangkap seluruh teks dan meninggalkan aspek aktual yang diserap dengan begitu saja. Alam pembaca akan terus mengalami transformasi. Gadamer menyebut bahwa alam tidak akan terus sama dan tidak menolak alam yang disajikan oleh teks. Kategori ini langsung berkaitan dengan keberadaan pembaca/penafsir. Mimetik sekali lagi menjadi topik penting dalam teori kritik sastra.

Kritik sastra mimetik mengasumsikan bahwa karya sastra adalah sebuah tiruan, dari dunia ide maupun manusia. Pendapat ini diilhami oleh aliran Marxis, sosiologi sastra, dan lainnya yang mengklaim bahwa karya sastra sebagai dokumen sosial. Berbagai pandangan dan pembaharuan membuat teori ini terus berkembang sejak zaman Yunani Klasik hingga postmodern saat ini.

Marx dan Engels menentukan bahwa dalam menciptakan suatu karya, kesadaran penulis bukan yang menentukan kehidupan. Namun, kehidupan itulah yang menentukan arah kesadaran. Seorang penulis yang peka terhadap kehidupan sekitar akan memiliki kesadaran dan proses berkarya yang renyah. Kehidupan sosial ini disesuaikan dengan cara pandang masyarakat dalam menciptakan kehidupan (Eagleton, 2002).

Pendekatan mimetik ini cukup mengilhami penulis-penulis sastra Indonesia dalam menuangkan suatu karya. Andrea Hirata dalam karyanya berjudul Laskar Pelangi (2005) yang menceritakan kehidupan masyarakat yang ada di Belitung. Andrea Hirata dala menuliskan ceritanya tidak terlepas dari lingkungan dan latar belakang hidupnya semasa kecil bersama orang tua, saudara, teman-temannya. Apapun yang dilakukan tidak terlepas dari tiruan yang ada dalam dunia nyata, meskipun pada beberapa bagian mengalami unsur gubahan dalam bentuk imajinatif.

Proses penuangan karya dengan melakukan tiruan berdasarkan kisah kehidupan juga dilakukan oleh Supaat I. Latif dalam karyanya Perahu Waktu (2012). Latief menceritakan kisah hidupnya dari masyarakat biasa ingin menuntut ilmu. Seorang anak kecil dari keluarga biasadari Lamongan yang berkeinginan besar untuk menuntut ilmu di Kota Malang. Perjuangan tersebut dituangkan dalam bentuk karya. Ada juga novel Iwan Setiawan berjudul Ibuk (2012) dan Summers 10 Autumns (Dari Kota Apel ke The Big Apple) (2011) yang melakukan imitasi dari kehidupannya. Beberapa penulis lainnya seperti tokoh Minke dalam tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer yang terinspirasi atau meniru tokoh Tirto Adi Soerjo. Tentu masih banyak lagi karya-karya sastra yang terilhami dengan proses mimetic atau imitasi dari segala hal, baik kisah hidup penulis, orang lain, atau lain sebagainya. Pendekatan mimetik yang menjadi salah satu pendekatan dalam sastra yang paling kuno dan bertahan lama, tetapi ada kelemahan didalamnya. Pendekatan mimetik menurut Siswanto (2013: 175) terlalu menekankan pada hal-hal nonsastra. Sehingga bila hendak melakukan kajian dengan pendekatan ini perlu meramu analisis sastra dengan aspek di luar sastra.




Kritik Sastra Ekpresif: Pendekatan Ekspresif dalam Kritik Sastra

Kritik Sastra Ekpresif: Pendekatan Ekspresif dalam Kritik Sastra





Kritik Sastra Ekpresif: Pendekatan Ekspresif dalam Kritik Sastra

Pada abad kesembilan belas penekanan bergeser ke penyair, dan puisi menjadi 'luapan spontan perasaan kuat' si penyair. Dalam hal ini karya seni atau sastra pada dasarnya adalah internal yang dibuat eksternal. Karena itu, ketika seorang kritikus melihat seni dalam hal kecemerlangan, dia menggunakan teori ekspresif. Kehadiran penyair dalam karya sastra memiliki kedudukan yang sangat penting. Tanpa adanya pengarang, tentu karya sastra tidak akan lahir (Junus, 1985: 2). Di balik sebuah teks sastra yang ditulis oleh sastrawan tentu akan terdapat tujuan didalamnya. Di situlah pengarang menentukan teks yang ditulisnya sebagai suatu karya yang mengandung nilai atau bukan, bahkan ideologi yang ditanamkan (Zoest, 1990: 51). Ini didefinisikan sebagaiekspresi, atau meluap, atau ucapan perasaan, atau sebagai produk dari imajinasi penyairyang bekerja pada persepsi, pikiran, dan perasaannya.Penyair cenderung menilai pekerjaan berdasarkan haknyaketulusan, atau kecukupannya terhadap visi atau kondisi pikiran si penyair; dan sering mencari bukti dari temperamen dan pengalaman khusus dari penulis yang secara sadar atautanpa sadar telah mengungkapkan dirinya di dalamnya. Pandangan tersebut dikembangkan terutama olehkritikus romantis di awal abad kesembilan belas dan tetap terkini di zaman kita sekarang, terutama di Indonesia tulisan-tulisan para kritikus Psikologis dan Psikoanalitik.

Pada tahun 1800, kita mulai memandang perpindahan mimetik dan pragmatik menjadi pandangan seni yang ekspresi. Fenomena ini disebabkan oleh sebagian tulisan romantic radikal tahun 1830-an oleh Longinus, Bacon, Wordsworth. Dengan pandangan ekspresif baru tentang seni atau sastra, tugas utama seniman atau penulis tidak lagi berfungsi sebagai cermin yang mencerminkan hal-hal luar, tetapi mengeksternalisasikan hal-hal yang ada di internal, serta menjadikan kehidupan batin seseorang sebagai subjek utama penciptaan karya. Ibaratnya, peran sastrawan atau seniman tidak lagi sebagai 'cermin‘, tetapi telah berubah menjadi 'lampu‘.

Abrams memberikan gambaran tentang evolusi estetika Barat yang terjadi hingga saat ini. Di zaman Plato dan Aristoteles, penyair adalah penyair 'mimesis', dan peran dan instruksi pribadi mereka dihalangi seminimal mungkin. Pada era Hellenistik dan Romawi, penyair memiliki tipikal pragmatis yang berusaha untuk memuaskan public, mematuh aturan kesopanan, dan menyesuaikan dengan 'permintaan pasar'. Dari tahun 1800 hingga 1900, penyair, khususnya di Inggris dan Jerman adalah tokoh yang menang dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa tugasnya adalah mengekspresikan kepada dunia kejeniusan batin mereka sendiri.

Dalam perkembangan sastra Indonesia, pendekatan ekspresif dapat dikatakan 'kurang laku' atau kurang diminati bila dibandingkan dengan pendekatan sastra lainnya. Tidak banyak para ahli kesusastraan Indonesia yang menggunakan pendekatan dan jenis kajian ekspresif ini. Faktor ketekunan, jarak dengan penulis, dan kemampuan menyelami setiap bentuk karya menjadi penyebab kurangnya minat ahli sastra dalam menggunakan pendekatan ini. Di Indonesia, hanya beberapa saja yang dapat dijumpai dalam menggunakan kajian ini, misalnya disertasi Memahami Budi Darma dan Karya Sastranya karya Wahyudi Siswanto (2003). Dalam tulisan tersebut, Wahyudi mencermati sosok Budi Darma melalui proses-prosesnya dalam meluapkan ekspresi ke dalam bentuk tulisan.

Kritik sastra dengan pendekatan ekspresif ini dapat dikatakan memiliki keterkaitan dengan sosial dan psikologi penulis. Seorang Ahmad Tohari yang menulis Bekisar Merah, Ronggeng Dukuh Paruk tentu mengekspresikan nuansa Jawa berdasarkan unsur sosial yang melekat pada dirinya. Begitu pula ketika membaca puisi-puisi Zawawi Imron, kita akan menemukan suasana laut yang merupakan asal tempak kelahirannya di Madura. Latar sosial inilah yang mempengaruhi Zawawi Imron hingga mampu meluapkan ekspresi ke- Madura-an yang begitu mendalam.

Kritik sastra dengan pendekatan ekspresif yang menekankan pada peran penulis mendapatkan kritikan dari kaum formalis, strukturalis, dan pragmatis. Mereka menganggap bahwa karya yang dihasilkan bukan dari unsur otonom didalamnya, tetapi pada diri penulis. Pendekatan ini digunakan pada peran penulis.

Kritik Sastra Objektif: Pendekatan Objektif dalam Kritik Sastra

Kritik Sastra Objektif: Pendekatan Objektif dalam Kritik Sastra




Kritik Sastra Objektif: Pendekatan Objektif dalam Kritik Sastra

Pada abad ke-20, penekanannya bergeser ke karya seni, terutama di bawah pengaruh Kritik Baru. Ketika kritik melihat seni pada dasarnya diistilahnya sendiri, melihat pekerjaan sebagai entitas mandiri, ia menggunakan pendekatan objektif. Kritik Sastra dengan menggunakan pendekatan objektif (kritik sastra objektif) ini melihat karya sastra secara terpisah. Abrams (1976: 26) mengungkapkan bahwa kritik sastra dengan pendekatan objektif memandang karya sastra terlepas dari semua titik acuan eksternal, menganalisisnya sebagai entitas mandiri yang dibentuk oleh bagian-bagiannya dalam hubungan internal mereka, dan berangkat ke menilainya semata-mata dengan kriteria intrinsik dengan mode keberadaannya sendiri. Menurut Junus (1985: 2) tanpa ada karya sastra, pembicaraan mengenai sastra tidak akan pernah ada.

Mode kritik sastra pendekatan objektif ini cukup dominan bagi penggemar sastra atau kritikus paling tidak selama setengah abad kedua puluh. Beberapa tokoh yang menggeluti pendekatan ini melacak asal-usul hingga pada pandangan Aristoteles pada karya Poetics. Mereka memandang bahwa objek yang ada di dalam karya seperti plot, karakter, tokoh adalah elemen yang bekerja sama untuk menghasilkan katarsis diantara penonton. Para ahli memandang kritik sastra dengan pendekatan objektif dalam konsep Aristoteles sebagai inheren dalam pekerjaan mereka. Karya mereka akan dipuji sejauh elemen-elemen internal bekerja secara kohesif. Namun, beberapa orang membantah dengan argumen bahwa Poetics Aristoteles bila diperhatika lebih cermat lagi, lebih sesuai dengan kriteria teori pragmatis daripada objektif Abrams (1976: 26—28).

Kritik objektif berkaitan dengan karya sastra berdiri bebas dari hubungan "ekstrinsik" penyair, atau dengan audiens, atau dengan dunia lingkungan. Sebaliknya itu menggambarkan produk sastra sebagai objek mandiri dan otonom, atau yang lain sebagai dunia-dalam-dirinya sendiri, yang harus direnungkan sebagai tujuannya sendiri, dan untuk dianalisis dan dinilai semata-mata oleh "intrinsik" kriteria seperti kompleksitas, koherensi, keseimbangan, integritas, danketerkaitan unsur-unsur komponennya. Konsepsi swasembada estetika objek diusulkan dalam Kant's Critique of Aesthetic Judgment (1790) diambil oleh pendukung seni demi seni di bagian akhir abad kesembilan belas, dan telahdijabarkan dalam mode terperinci dari kritik terapan oleh sejumlah kritik penting sejak 1920-an, termasuk Kritik Baru pendukung formalisme Eropa.

Karya sastra merupakan suatu bentuk utuh dari berbagai sifat dan tanda didalamnya. Untuk menemukan aspek tersebut perlu mengupas struktur karya yang komplek. Kaum formalis meletakkan landasan bahwa konsep yang unggul dari karya sastra terdapat pada unsur didalam karya sastra tersebut, seperti penggunaan rima, irama, aliterasi, asonansi, dan sebagainya. Hal demikian membuat kesusastraan sebagai suatu bagian dari pemakaian bahasa yang khas (Culler, 1977:127; Wellek, 1965: 24; Teeuw, 1984: 130-131).

Kritik sastra objektif atau kritik sastra dengan pendekatan objektif menjadi aspek yang utuh terhadap suatu karya. Hal ini memberi dua pandangan yang menarik dari segi heteroskosmik dan kontemplasi. Heteroskosmik menilai setiap karya merupakan dunia yang unik, koheren, dan otonom. Melalui sudut pandang kontemplasi, setiap karya adalah objek mandiri yang direnungkan tanpa adanya keterkaitan dengan mimetic dan pragmatik demi kepentingannya sendiri.

Jumat, 17 September 2021

Artis x Artis: Saat Bekerja Sama Menghasilkan Jenis Seni Baru

Artis x Artis: Saat Bekerja Sama Menghasilkan Jenis Seni Baru





Artis x Artis: Saat Bekerja Sama Menghasilkan Jenis Seni Baru


Carmelita Tropicana x Ela Troyano

Saudara kandung sering berbagi bahasa pribadi yang mengacu pada sejarah keluarga yang sama dan lelucon dan sindiran yang tak terhitung jumlahnya, tetapi jarang jalur komunikasi seperti itu menonjol seperti dengan saudara perempuan Ela Troyano (seorang pembuat film avant-garde) dan Alina Troyano (seniman pertunjukan lebih dikenal sebagai karakternya, Carmelita Tropicana). Meskipun masing-masing memiliki praktik seni yang berbeda, keduanya telah berkolaborasi beberapa kali selama bertahun-tahun. Dalam pertunjukan tertentu, Tropicana dengan kecut bercanda bahwa Troyano-lah yang pertama kali tertarik padanya pada seni pertunjukan—dengan menyarankan agar dia mengajukan hibah.

Kolaborasi mereka yang paling menonjol adalah Carmelita Tropicana: Your Kunst Is Your Waffen , sebuah film pendek dari tahun 1994 yang awalnya diajukan ke PBS sebagai seri dua bagian. Film ini adalah kejar-kejaran yang melihat kehidupan Tropicana — baik yang dibayangkan maupun yang nyata — dan tiga wanita lain di Lower East Side, diakhiri dengan nomor musik yang diatur di penjara wanita. Sepanjang jalan, ia mengeksplorasi stereotip tentang perempuan, Latina, lesbian, dan, yang paling penting, lesbian Latina.

Elemen yang berulang dari kolaborasi mereka adalah buah tropis yang terkadang dijahit Troyano ke dalam kostum Tropicana—dengan ketidaksetujuan beberapa pengamat. “Ketika kami pertama kali mulai membuat buah-buahan, orang-orang berkata, 'Ya Tuhan, betapa mengerikannya—Anda menjadi stereotip seorang Latina,'” kenang Tropicana. “Ya, kami melakukan itu sehingga kami bisa melampaui itu. Dan kami melakukannya dengan mengedipkan mata sehingga kami bisa menertawakannya. Ini sangat spesifik.”

Kolaborasi terbaru mereka adalah podcast berjudul That's Not What Happened, ditulis dan dibawakan oleh Tropicana, dan menampilkan Troyano sebagai dramaturg dan sutradara. Proyek ini dimulai September lalu ketika teater Soho Rep di New York mengundang Tropicana ke program residensi, dan sejak pertama kali ditayangkan Juni lalu, podcast 12 episode telah menawarkan adaptasi dari memoar Tropicana yang memadukan monolog dengan narasi impresionistik untuk diceritakan. bagian dari kisah hidup artis. Musim pertama berfokus pada hari-hari awalnya di Kuba dan cerita tentang nenek dan ayahnya, serta pengaruh seperti yang dia kutip sebagai penyair Kuba abad ke-19 José Martí dan mendiang ahli teori queer Kuba-Amerika José Esteban Muñoz. Kedua saudara perempuan ini juga berkolaborasi dengan musisi terkenal Marc Ribot dan bandnya Los Cubanos Postizos untuk menciptakan suara pengiring untuk pertunjukan tersebut.

Podcast mengacu pada cerita yang dibagikan di antara anggota keluarga, “tetapi ada perbedaan dalam cara kita semua memahami apa yang terjadi dalam ingatan kita,” kata Tropicana. “Ini sangat intim.” Dan melalui tulisan mereka sendiri, kedua saudari itu telah menemukan bahasa untuk dibagikan kepada orang lain. “Yang saya suka dari bekerja dengan Ela adalah dia sangat visual, tetapi juga sangat analitis,” kata Tropicana. “Bukan begitu cara kerja pikiranku. Anda ingin bekerja dengan orang-orang yang akan memberi Anda sesuatu yang tidak Anda miliki. Itu mengilhami saya ketika kami berdua terjalin dalam pekerjaan. ” — Maximilíano Duron

Ruangrupa x Dunia

Penyelenggara Documenta, festival seni yang sangat berpengaruh yang mengambil alih Kassel, Jerman, setiap lima tahun, biasanya harus berjuang jutaan dolar dalam pendanaan, berkoordinasi dengan ratusan seniman, dan berinteraksi dengan administrator dan politisi yang tak terhitung jumlahnya. Pada dasarnya, tugas itu membutuhkan kemauan, kesopanan, dan kontrol. Namun para kurator untuk edisi berikutnya—sebuah kolektif sembilan seniman Indonesia bernama ruangrupa—sejauh ini telah diberi kelonggaran untuk pendekatan perencanaan yang lebih bebas.

“Banyak rapat yang tidak produktif—atau tidak seproduktif mungkin,” kata anggota ruangrupa yang lebih suka dikutip sebagai satu kesatuan. “Sangat sulit bagi kami untuk mengadakan pertemuan yang layak. Dan kemudian membuat frustrasi juga bagi orang-orang untuk hadir dalam pertemuan kami.”

Alih-alih duduk dengan agenda yang ditetapkan untuk Documenta 15, yang dijadwalkan dibuka pada Juni 2022, para anggota mengatakan bahwa mereka memiliki percakapan berliku-liku dari mana mereka jarang muncul dengan ide-ide yang terbentuk sepenuhnya. Sebaliknya, pencerahan biasanya menyerang selama obrolan WhatsApp dan jeda merokok—ruang di antara tempat obrolan ringan dapat menghasilkan terobosan besar.

Ketika diumumkan pada tahun 2019 bahwa ruangrupa akan memimpin Documenta, menjadi kolektif pertama yang melakukannya, hal itu mengejutkan banyak orang di dunia seni Barat, di mana karya kelompok itu sebagian besar tidak terlihat. Namun di Asia Tenggara, ruangrupa telah muncul sebagai salah satu kelompok seniman paling mutakhir di kawasan ini, sebagian berkat penekanannya pada kebersamaan dan pertukaran pengetahuan. Dibentuk pada tahun 2000, ruangrupa bersatu setelah jatuhnya Suharto, diktator Indonesia yang rezim otoriternya selama beberapa dekade dituduh melakukan korupsi yang meluas. Mengingat asal-usul mereka, ruangrupa mengatakan bahwa pada saat itu, mereka mengalami “euforia bergerombol, berkumpul”, sesuatu yang mereka coba lanjutkan dalam pekerjaan mereka sejak saat itu.

Banyak dari inisiatif mereka melibatkan pengumpulan orang di satu ruang dan melihat apa yang terjadi. Di antara proyek mereka yang paling signifikan adalah Gudskul, sebuah platform pendidikan yang mereka buat bersama dua kolektif Indonesia lainnya, Serrum dan Grafis Huru Hara. Berbasis di Jakarta, Gudskul telah mengadakan program di luar negeri, termasuk salah satunya di Sharjah Biennial edisi 2019, di mana mereka menawarkan “toolkit,” sistem untuk merekam dan menyimpan percakapan tentang konsep pengetahuan. Semangat serupa juga mewarnai presentasi mereka di Bienal de São Paulo 2014, yang diadakan dalam struktur yang memadukan arsitektur dan seni pahat.

Menghidupkan usaha koperasi tersebut adalah konsep “lumbung,” yang diterjemahkan dari bahasa Indonesia sebagai semacam milik bersama di mana semua dibagi. Dan karena perencanaan untuk Documenta masih berlangsung, ada kemungkinan bahwa di tangan ruangrupa, itu akan tetap tidak pasti sampai akhir. Masukan dari rekan-rekan seniman sangat penting untuk karya ruangrupa yang agak spontan, sehingga semua aktivitasnya selalu berubah-ubah. “Kita tidak bisa berpura-pura bahwa kita tahu segalanya. Ada banyak hal yang tidak kami ketahui,” kata kelompok itu. “Berkolaborasi dengan orang lain—seperti mendapatkan teman baru yang darinya kita bisa belajar lebih banyak, lebih banyak lagi.” — Alex Greenberger

Mary Reid Kelley x Patrick Kelley

Bagi seniman yang melakukan praktik kolaborasi, terkadang dibutuhkan satu proyek saja untuk mengubah cara mereka bekerja sama. Mary Reid Kelley dan Patrick Kelley telah menjadi pasangan hidup sejak 2002, dan kolaborator artistik sejak 2008. Film surealistik mereka, kaya akan permainan kata dan referensi sejarah, memadukan kinerja dan animasi; mereka membintangi Reid Kelley sebagai semua karakter, dan sejak awal, pasangan itu menghubungkan karya seni itu semata-mata padanya. Namun, karena keterlibatan Kelley menjadi lebih penting, mereka mulai menandatangani karya tersebut. Proyek terbaru mereka, sebuah komisi untuk Museum Isabella Stewart Gardner di Boston, lebih mengandalkan peran Kelley sebagai sutradara, dan membuat kedua seniman itu berpikir secara berbeda tentang proses mereka.

Gardner memberi dua seniman residensi selama sebulan pada musim gugur 2019, dan meminta mereka untuk membuat karya seni sebagai tanggapan atas lukisan Titian The Rape of Europa untuk ditampilkan dalam retrospektif mendatang. Lukisan Titian menunjukkan Zeus, sebagai banteng, menculik Europa, yang berbaring di punggungnya. “Ini hanya salah satu dari karya luar biasa itu,” kata Reid Kelley, “di mana semakin Anda melihatnya, semakin terungkap, semakin banyak perspektif Anda berkembang.”

Film yang mereka buat bergantian antara dua setting. Salah satunya tampak seperti panggung untuk aktor amatir, di mana karakter wanita dari sepanjang sejarah (semua dimainkan oleh Reid Kelley) meniru aksi sementara sulih suara berbicara pantun yang menggambarkan karakter tersebut. Pengaturan lainnya adalah penciptaan kembali animasi halaman Gardner, di mana Europa (juga Reid Kelley) menanggapi pantun dengan semacam permainan kata yang disebut Tom Swifty.

Biasanya, proses mereka dalam membuat film dimulai dengan Reid Kelley merumuskan subjek dan naskah; Kelley kemudian menggunakannya sebagai dasar untuk konsep sinematik. Karena pekerjaan baru ini adalah sebuah komisi, bagaimanapun, "kami berdua sangat terlibat di lantai dasar kolaborasi," kata Reid Kelley. Kelley menciptakan "set tipe basement gereja" untuk para wanita bersejarah, tetapi menciptakan kembali halaman Gardner memiliki tingkat kerumitan yang berbeda. Mengatur film di halaman sangat penting, kata Reid Kelley, karena mereka ingin "tidak hanya menanggapi karya agung yang terisolasi ini, tetapi juga gagasan tentang apa itu museum." Lukisan Titian, katanya, “adalah tentang fondasi peradaban yang sebenarnya: pencurian, kekerasan, pemaksaan, dan pemindahan. Dan ada kesadaran yang berkembang bahwa itulah yang ditunjukkan museum kepada kita.”

Untuk menciptakan resonansi semacam itu, untuk pertama kalinya Kelley beralih ke kamera genggam. “Ketika Anda melihat jenis pengambilan gambar seperti itu,” katanya, “ini memiliki landasan dalam cuplikan berita dan naturalisme.” Sementara itu, peran Kelley berubah lebih signifikan. Dengan Reid Kelley memainkan lebih banyak karakter daripada biasanya, dia mulai mengarahkannya lebih aktif. “Kami sadar bahwa kami harus mengambil keuntungan lebih baik dari perspektif yang dia miliki sebagai sutradara,” kata Reid Kelley.

Kelley menambahkan, “Setiap kali kami berkolaborasi, ada elemen evolusi dalam proses kami.”

Reid Kelley mengatakan pasangan itu masih menghadapi masalah orang-orang yang ingin mengaitkan film-film itu dengan dirinya sendiri. “Orang-orang secara ideologis menginginkan dan lebih menyukai seorang penulis tunggal. Orang-orang dengan tepat mengidentifikasi karya tersebut sebagai feminis dan menginginkan seorang penulis wanita tunggal.” — Sarah Douglas


Polly Apfelbaum x Madeline Hollander x Zak Kitnick

“Downtown 2021,” sebuah pertunjukan Januari lalu di La MaMa Galleria di New York, mengambil namanya dari film Downtown 81 , sebuah kapsul waktu dari kota ultrahip Lower East Side tahun 1980-an. Film ini menggabungkan cuplikan nyata dan fiksi dari lingkungan yang dibuat terkenal oleh Jean-Michel Basquiat, Keith Haring, dan banyak lainnya yang bekerja keras dan bergolak di jalan-jalan kota, studio, dan klub. Dan pameran tersebut menjadi semacam aksi kedua, dengan fokus pada galeri independen dan ruang seni (dan para seniman yang mengisinya), termasuk koperasi feminis AIR, yang telah beroperasi sejak 1972, dan tujuan baru penjaga Brooklyn Pioneer Works .

Bersama-sama, karya seni menyoroti bagaimana gagasan "pusat kota"—sebagai kurang geografis daripada lokus generatif—telah berkembang sejak saat itu dari Manhattan hingga jauh di luar; mereka mengilustrasikan sebuah cerita tentang konstelasi galeri akar rumput, seniman, dan kurator yang selaras dalam pikiran yang sama.

One piece menonjol sebagai contoh semangat kolaboratif acara: DROP CITY oleh Polly Apfelbaum, Madeline Hollander, dan Zak Kitnick. Dibuat khusus untuk pertunjukan, karya seluas 10 kaki persegi ini terdiri dari empat kotak kain drop yang diwarnai secara individual merah muda, emas, biru tua, dan hijau limau, di mana pemutih digerimis dalam pola, dan yang kemudian distensil dengan segitiga hitam kecil. Sepertinya semacam selimut atau jubah upacara yang disediakan untuk ritus yang tidak diketahui.

Para seniman menyusun dan mengeksekusinya sepenuhnya melalui video, teks, dan telepon saat bekerja dalam isolasi selama penguncian Covid. “Itu adalah pengalaman paling sosial dan antisosial,” kata Kitnick. “Itu adalah alasan untuk melakukan percakapan yang menarik tentang apa pun selain pandemi.” Apfelbaum, yang praktiknya mencakup tekstil, patung, dan menggambar, memilih kain drop dari kumpulan bahannya yang kaya dan mengirimkannya ke Kitnick, bersama dengan rencana skema warnanya. Hollander, mantan balerina dan koreografer (dia menyutradarai tarian menakutkan yang terinspirasi dari Nutcracker dalam film Jordan Peele tahun 2019 Us), membuat serangkaian gambar gestur. Dan Kitnick, seorang pematung, pelukis, dan seniman instalasi yang menggoda makna dari objek-objek quotidian, menyatukan bagian-bagian itu di studionya dalam satu sesi yang hanya disela oleh pemecahan masalah yang kreatif. Satu wawasan: Kitnick menyemprotkan pemutih melalui botol peras untuk menerapkan desain yang diinginkan.

“Tiga bagian itu menjadi satu kesatuan,” kata Apfelbaum. “Ini seperti, tangan mereka menjadi tanganmu. Ide dan perbuatan semuanya sama.”

Apfelbaum datang dengan judul, membayangkan Drop City sebagai komunitas utopis atau ruang untuk pemikiran alternatif, yang tampaknya cocok untuk La MaMa. Dan aksi kolaborasi itu sangat bermanfaat bagi ketiga artis tersebut. “Ini memberi kami latihan dalam berkomunikasi dan membuat keseluruhan yang kohesif dari bagian-bagian, memastikan semua orang senang,” kata Kitnick. “Dengan potongan seperti ini Anda mengantisipasi kemungkinan kegagalan atau miskomunikasi, dan kami berhak untuk itu terjadi.”

Nasib seperti itu untungnya dihindari, sebagian berkat fakta bahwa ketiganya adalah teman lama. (Apfelbaum dan Hollander sebenarnya adalah sepupu kedua, meskipun mereka bertemu hanya sebagai orang dewasa.) “Sudah ada begitu banyak kekaguman di antara kita semua,” kata Apfelbaum. "Saya tidak tahu apakah kita bisa melakukan ini tanpanya." — Tessa Solomon

Artis Kuba x 27N

Sejak 2018, Kuba telah membatasi apa yang dapat digambarkan seniman dalam karya seni mereka dan bagaimana mereka menjualnya melalui undang-undang kontroversial yang dikenal sebagai Dekrit 349. Dalam aksi kolektif terbesar selama bertahun-tahun, sekitar 300 pengunjuk rasa berkumpul di luar Kementerian Kebudayaan Kuba di Havana pada 27 November 2020, untuk mengecam tindakan keras negara terhadap seniman. Setelah pejabat Kuba mengatakan mereka akan mendengarkan para demonstran dan kemudian mengingkari, dengan Presiden Kuba Miguel Díaz-Canel menyebut tuntutan mereka sebagai "lelucon", sebuah gerakan yang dipimpin seniman lahir: 27N, dinamai untuk hari protes awal.

Dalam beberapa bulan sejak itu, 27N telah menjadi berita utama internasional. Reuters, South China Morning Post , dan New York Times semuanya menerbitkan laporan tentang protes 27 November, memastikan bahwa ketakutan akan penyensoran di Kuba tidak akan terbatas pada pulau-pulau tersebut. Tokoh-tokoh terkenal telah terlibat: Tania Bruguera, seorang seniman Kuba yang karyanya secara teratur muncul di dua tahunan besar dan museum di seluruh dunia, ditahan oleh polisi saat protes berkecamuk; Luis Manuel Otero Alcantara, saat ini di antara seniman paling terkenal di Kuba, telah ditangkap beberapa kali sehubungan dengan 27N dan Gerakan San Isidro terkait. Ketika dia dibawa oleh pejabat keamanan pada Mei 2021, Amnesty International melabelinya sebagai “tahanan hati nurani.”

Sifat protes yang meluas dan eksplosif ini menyebabkan sejarawan Rafael Rojas mengatakan kepada Radio Bonita Kuba, “ini adalah pertama kalinya para seniman dan intelektual di Kuba menentang konstitusi.” Seniman dan jurnalis independen di negara ini telah mengaitkan keberhasilan gerakan ini dengan kolaborasi yang meluas di antara para seniman. Dalam sebuah wawancara, seniman Kuba-Amerika yang berbasis di New York, Coco Fusco mengatakan, "Bersama-sama, ada lebih banyak kekuatan daripada [di antara] orang yang bekerja secara individu."

Tidak seperti saudara 27N yang lebih tua, Gerakan San Isidro, yang dibentuk pada tahun 2018 untuk memprotes penangkapan seorang rapper muda dan mencakup banyak seniman otodidak dan non-kulit putih, gerakan ini terutama terdiri dari orang-orang yang “berkulit putih dan kelas atas, dan bagian dari pembentukan seni, ”kata Fusco. Dengan demikian, mereka dapat memanfaatkan kekuatan mereka dengan cara yang lebih menghadap publik. Mei lalu, sekelompok seniman—di antaranya Bruguera, Tomás Sánchez, Sandra Ceballos, dan Marco Castillo, mantan anggota Los Carpinteros—meminta Museo Nacional de Bellas Artes di Havana untuk menghapus karya mereka dari pandangan sampai Otero Alcantara selesai. dibebaskan dari rumah sakit tempat dia ditahan saat itu. (Dia kemudian dibebaskan.) Museum menolak untuk melakukannya, meskipun laporan surat terbuka 27N dibuat oleh pers internasional.

Fusco mengatakan bahwa pencapaian terbesar 27N sejauh ini adalah membentuk kembali liputan jurnalis asing tentang dunia seni Kuba. “Perhatian media bukan pada kemegahan Kementerian Kebudayaan Kuba atau betapa indahnya sekolah seni itu,” katanya. “Semuanya tentang represi, dan itu membuat orang di luar negeri berpikir dua kali tentang bagaimana rasanya ketika mereka mendapat undangan ke Kuba.” — Alex Greenberger



Copyright

Review

Food

pendidikan