Penampilan tokoh cerita, dalam teknik dramatik, artinya mirip dengan yang ditampilkan pada drama, dilakukan secara tidak langsung. Pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh. Pengarang memberikan para tokoh cerita untuk menunjukkan kediriannya melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal lewat kata maupun nonverbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa yang terjadi.
Berhubung sifat kedirian tokoh tidak dideskripsikan secara jelas dan lengkap, ia akan hadir kepada pembaca secara sepotong-potong dan tidak sekaligus. Ia baru menjadi “lengkap” setelah pembaca menyelesaikan sebagian besar cerita. Untuk memahami kedirian seorang tokoh, apalagi yang tergolong tokoh kompleks, pembaca dituntut untuk dapat menafsirkannya sendiri. Hal inilah yang dianggap orang sebagai salah satu kelebihan teknik dramatik. Pembaca tidak hanya bersifat pasif, melainkan sekaligus terdorong melibatkan diri secara aktif kreatif, dan imajinatif. Kelebihan yang lain, yaitu sifatnya yang lebih sesuai dengan kehidupan nyata. Dalam situasi kehidupan sehari-hari jika seseorang berkenalan dengan orang lain, dia tidak mungkin menanyakan sifat kedirian orang itu, apalagi kepada yang bersangkutan. Seseorang hanya akan mencoba memahami sifat-sifat orang itu melalui tingkah laku, kata-kata, sikap dan pandangan-pandangannya, dan lain-lain. Kesemuanya itulah yang akan mewartakan sifat-sifat kediriannya kepada pembaca.
Adanya kebebasan pembaca untuk menafsirkan sendiri sifat-sifat tokoh cerita, di samping merupakan kelebihannya di atas, sekaligus juga dipandang sebagai kelemahan teknik dramatik. Dengan cara itu kemungkinan adanya salah tafsir, salah paham atau tidak paham, salah penilai- an, peluangnya cukup besar. Kelemahan yang lain adalah sifatnya tidak ekonomis. Pelukisan kedirian seorang tokoh memerlukan banyak kata, di berbagai kesempatan dengan berbagai bentuk yang relatif cukup panjang.
Wujud Penggambaran Teknik Dramatik
Penampilan tokoh secara dramatik dapat dilakukan dengan se- jumlah teknik. Dalam sebuah karya fiksi, biasanya pengarang mempergunakan berbagai teknik itu secara bergantian dan saling mengisi walau ada perbedaan frekuensi penggunaan masing-masing teknik. Berbagai teknik yang dimaksud sebagian di antaranya akan dikemukakan di bawah ini.
1) Teknik Cakapan
Watak seorang tokoh dapat ditampilkan lewat percakapan-percakapan di antara tokoh dengan tokoh-tokoh lain. Apa yang dikatakan seseorang dapat mengungkapkan siapa dia sebenarnya. Namun, di pihak lain seorang dapat pula menyesatkan orang lain dengan kata-katanya. Oleh karena itu, dialog harus berlangsung dengan baik dan dalam keadaan yang wajar, tidak dibuat-buat, tanpa menyembunyikan tujuan yang sebenarnya. Sebuah dialog singkat mungkin belum cukup mencerminkan watak tokoh secara bulat dan lengkap. Namun, rangkaian dialog dari waktu ke waktu, dari suatu tempat ke tempat yang lain akan lebih memberi jaminan penafsiran yang tepat tentang watak dari si tokoh.
Contoh:
“Wah, nanti dulu Pambudi. Berbicaralah pelan-pelan, banyak orang di sekeliling kita. Rencana yang akan kulaksanakan menyangkut rencana pemerintah untuk memperlebar jalan raya yang melewati kampung ini, karena pelebaran jalan itu, kira-kira lima ratus pohon kelapa milik penduduk akan tergusur. Para pemilik pohon kelapa akan mendapat ganti rugi. Pambudi, apa kau dapat melihat rejeki? (Di Kaki Bukit Cibalak, hlm. 14).
Melalui dialog/percakapan antara Dirga dan Pambudi di atas, pengarang menggambarkan sifat Pak Dirga yang tidak jujur. Ketidakjujurannya ini terlihat, ketika pemerintah mengadakan usaha pelebaran jalan di desa tersebut, Pak Dirga justru berusaha mencari keuntungan. Selain itu terlihat watak Pak Dirga yang berusaha memengaruhi Pambudi mengambil kesempatan untuk ikut berbuat tidak baik.
2) Teknik Tingkah Laku
Jika teknik cakapan dimaksudkan untuk menunjuk tingkah laku verbal yang berwujud kata-kata para tokoh, teknik tingkah laku menyaran pada tindakan yang bersifat nonverbal, fisik. Apa yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku, dalam banyak hal dapat dipandang sebagai penunjukan reaksi, tanggapan, sifat, dan sikap yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya. Namun, dalam sebuah karya fiksi, kadang-kadang tampak ada tindakan dan tingkah laku tokoh yang bersifat netral, kurang menggambarkan sifat kediriannya. Kalaupun ada, itu merupakan penggambaran sifat-sifat tokoh juga, ia terlihat tersamar.
Contoh:
Dia tampak amat canggung dan gamang. Gerak geriknya serba kikuk sehingga mengundang rasa kasihan. Kepada Komandan, Karman membungkuk berlebihan. Kemudian dia mundur beberapa langkah, lalu berbalik. Kertas-kertas itu dipegangnya dengan hati-hati, tetapi tangannya bergetar. Karman merasa yakin seluruh dirinya ikut terlipat bersama surat-surat tanda pembebasannya itu. Bahkan pada saat itu Karman merasa totalitas di- rinya tidak semahal apa yang kini berada dalam genggamannya (Kubah, hlm.7).
Melalui kutipan di atas tampak tingkah laku Karman setelah keluar dari tahanan. Dia merasa canggung setelah sekian tahun hidup di dalam tahanan. Karman sudah dibebaskan, tetapi dia merasa dirinya tidak berharga lagi. Dia merasa asing dengan lingkungan yang baru, yaitu lingkungan yang membuat dirinya bebas bergerak. Walaupun Karman sudah memegang surat pembebasannya dari Pulau B, ia masih belum bisa secara cepat untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya.
3) Teknik Pikiran dan Perasaan
Bagaimana keadaan dan jalan pikiran serta perasaan, apa yang melintas di dalam pikiran dan perasaan, serta apa yang dipikir dan dirasakan oleh tokoh, dalam banyak hal akan mencerminkan sifat-sifat kedirian tokoh. Bahkan, pada hakikatnya,”tingkah laku” pikiran dan perasaanlah yang kemudian diwujudkan menjadi tingkah laku verbal dan nonverbal. Dari kata-kata yang diucapkan seorang tokoh, pembaca dapat mengetahui sifat, perasaan, pikiran, dan keinginannya. Melalui ucapan tokoh dapat diketahui pula suku, umur ataupun pendidikannya.
Contoh:
Lama sekali Karman merenungkan kunjungan Kapten Somad siang itu. Mula-mula ia merasa bimbang terhadap dirinya sendiri; haruskah anjuran Kapten Somad dituruti? Atau, biarlah aku ikuti keputusan sampai diriku hancur dan dengan demikian kepedihan ini cepat berakhir?
Karman kembali menarik napas panjang. Tetapi kemudian ada titik-titik bening muncul pada akal budinya yang semula hampir mati. “Seorang kapten dengan ikhlas menunjukkan pengertian dan simpatinya padaku. Kebenaran yang disampaikan padaku sukar dibantah. Ah, setidaknya telah ada satu orang yang mau memahami diriku pikir Karman. Tetapi betulkah penderitaanku telah terbagi? Bisakah aku memastikan aku telah mempunyai seorang teman di dunia ini? (Kubah, hlm. 22)
4) Teknik Arus Kesadaran
Teknik arus kesadaran (stream of consciouness) berkaitan erat dengan teknik pikiran dan perasaan. Keduanya tidak dapat dibedakan secara pilah, bahkan mungkin dianggap sama karena memang sama-sama menggambarkan tingkah laku batin tokoh. Dewasa ini dalam fiksi modern teknik arus kesadaran banyak dipergunakan untuk melukiskan sifat-sifat kedirian tokoh. Arus kesadaran merupakan sebuah teknik narasi yang berusaha menangkap dan mengungkapkan proses kehidupan batin, yang memang hanya terjadi di batin, baik yang berada di ambang kesadaran maupun ketaksadaran, termasuk kehidupan bawah sadar. Apa yang hanya ada di bawah sadar, atau minimal yang ada di pikiran dan perasaan manusia. Jauh lebih banyak dan kompleks daripada yang dimanisfestasikan ke dalam perbuatan dan kata-kata.
Arus kesadaran sering disamakan dengan interior monologue (monolog batin). Monolog batin adalah percakapan yang hanya terjadi dalam diri sendiri, yang pada umumnya ditampilkan dengan gaya “aku”. Dengan kata lain, teknik ini berusaha menang- kap kehidupan batin, urutan suasana kehidupan batin, pikiran, perasaan, emosi, tanggapan, kenangan, nafsu, dan sebagainya. Penggunaan teknik ini dalam penokohan dapat dianggap sebagai usaha untuk mengungkapkan informasi yang “sebenarnya” tentang kedirian tokoh karena tidak sekadar menunjukkan tingkah laku yang dapat diindera saja.
Contoh:
Keperawanan Srintil disayembarakan. Bajingan! Bajul buntung! pikirku. Aku bukan hanya cemburu. Bukan pula hanya sakit hati karena aku tidak mungkin memenangkan sayembara akibat kemelaratanku serta usiaku yang baru empat belas tahun. Lebih dari itu. Memang Srintil telah dilahirkan untuk menjadi ronggeng, perempuan milik semua laki-laki. Tetapi mendengar keperawanan disayembarakan, hatiku panas bukan main. Celakanya lagi, bukak klambu yang harus dialami oleh Srintil sudah merupakan hukum pasti di Dukuh Paruk. Siapa pun tak bisa mengubahnya, apa pula aku yang bernama Rasus, Jadi dengan perasaan perihaku hanya bisa menunggu apa yang terjadi (Ronggeng Dukuh Paruk, hlm. 51)
Kutipan di atas merupakan gambaran monolog batin tokoh Rasus pada novel “Ronggeng Dukuh Paruk”. Tokoh Rasus sangat marah ketika Srintil harus menjalani upacara bukak klambu untuk menjadi seorang ronggeng. Rasus tidak bisa menerima hal itu. Ia mengumpat karena tidak bisa melakukan hal apa pun terhadap Srintil. Hukum yang berlaku untuk seorang ronggeng di “Dukuh Paruk” tidak bisa ia ubah karena ia hanya bocah miskin yang masih berumur empat belas tahun.
5) Teknik Reaksi Tokoh
Teknik reaksi tokoh dimaksudkan sebagai reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, masalah, keadaan, kata, dan sikap tingkah laku orang lain, dan sebagainya yang berupa “rangsangan” dari luar diri tokoh yang bersangkutan. Bagaimana reaksi tokoh terhadap hal-hal tersebut dapat dipandang sebagai suatu bentuk penampi- lan yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya. Untuk mengetahui watak tokoh utama dapat pula diketahui melalui reaksi yang diberikan oleh tokoh lain yang berupa pandangan, pendapat, sikap, komentar, dan sebagainya. Reaksi tokoh juga merupakan teknik penokohan untuk menginformasikan kedirian tokoh kepada pembaca. Tokoh lain itu pada hakikatnya melakukan penilaian atas tokoh utama untuk pembaca.
Contoh:
Begini Dik Kabul. Saya datang kemari dengan sebuah keputusan. Maka kita tidak akan bicara banyak-banyak.
“Maksud Bapak?”
“Ya. Keputusan itu saya ambil tadi malam setelah saya berbicara dengan pihak pemilik proyek, tokoh-tokoh partai dan khusunya jajaran GLM. Mereka telah setuju kebijakan yang saya ambil. Dan itu pula keputusan yang saya bawa saat ini.”
“Artinya besi bekas, pasir yang kurang bermutu tetap akan di- pakai?”
“Ya. Dan peresmian jembatan ini tetap akan dilaksanakan tepat pada HUT GLM. Itulah keputusan yang ada dan Dik Kabul saya minta menerimanya.”
“Maaf, saya pun tetap berada pada keputusan saya. Saya tidak bisa …”
“Tunggu, Dik Kabul. Saya tidak akan lupa Dik Kabul dan saya sama-sama insinyur, lulus dari perguruan tinggi yang sama, hanya beda angkatan. Kita sudah sekian lama bekerja sama. Dan terus terang, saya menganggap Dik Kabul adalah adik kandung saya. Maka laksanakan keputusan itu.”
“Maaf, Pak Dalkijo. Kalau keputusan Anda sudah final, saya pun tak mungkin berubah. Saya tetap mengundurkan diri (Orang- orang Proyek, hlm 203—204).
Melalui kutipan di atas terlihat bagaimana reaksi tokoh Kabul terhadap Dalkijo. Kabul tetap pada pendiriannya. Ia tidak mau menggunakan material yang mutunya sangat kurang baik untuk pembangunan jembatan. Meskipun diintimidasi oleh atasannya, Dalkijo, pendirian Kabul tidak tergoyahkan. Dari gambaran tersebut terlihat watak Kabul yang lebih mementingkan kepentingan umum daripada kepentingan sendiri. Ia tidak mau berbuat curang ketika melaksanakan proyek pembangunan jembatan.
6) Teknik Pelukisan Latar
Suasana latar (tempat) sekitar tokoh juga sering dipakai untuk melukiskan kediriannya. Pelukisan suasana latar dapat lebih mengintesifkan sifat kedirian tokoh seperti yang telah diungkapkan dengan berbagai teknik yang lain. Keadaan latar tertentu dapat menimbulkan kesan yang tertentu pula di pihak pembaca. Misalnya, suasana rumah yang bersih, teratur, rapi akan menimbulkan kesan bahwa pemilik rumah itu sebagai orang yang cinta kebersihan. Sebaliknya, suasana rumah yang kotor, jorok akan menimbulkan kesan kepada pemiliknya yang kurang lebih sama dengan keadaan itu. Pelukisan keadaan latar sekitar tokoh secara tepat akan mampu mendukung teknik penokohan secara kuat walau latar itu sendiri sebenarnya berada di luar kedirian tokoh.
Contoh:
Mandor yang mencatat penerimaan material pun pandai bermain. Dia bisa bermain dengan menambah angka jumlah pasir atau batu kali yang masuk. Truk yang masuk sepuluh kali bisa dicatat menjadi lima belas kali dan untuk kecurangan itu dia menerima suap dari para sopir.
Namun menghadapi semua tingkat kebocoran itu Insinyur Dalkijo—atasan Kabul, seperti tak menanggung beban apa pun Suatu saat ketika bersama-sama berada di rumah makan, Kabul mengeluh atas tingginya angka kebocoranyang berarti beban tambahan cukup besar yang harus dipikul oleh anggaran proyek.
“Ah, Dik Kabul ini seperti hidup di awang-awang. Pijaklah bumi dan lihat sekeliling. Seperti sudah kukatakan, orang proyek seperti kita harus pandai-pandai bermain (Orang-Orang Proyek, hlm. 26—27).
Kutipan di atas diambil dari novel karya Ahmad Tohari yang berjudul “Orang-orang Proyek”. Melalui latar suatu proyek, dapat dilihat watak Dalkijo dan Kabul. Dua tokoh tersebut memiliki watak yang berbeda. Dalkijo memiliki watak yang curang, yaitu memanfaatkan proyek untuk mencari keuntungan, sedangkan Kabul sebaliknya. Ia sangat sedih dan kecewa melihat perilaku atasannya yang berlaku curang.
7) Teknik Pelukisan Fisik
Keadaan fisik seorang berkaitan dengan keadaan kejiwaannya, atau paling tidak, pengarang sengaja mencari memperhubungkan adanya keterkaitan itu. Misalnya, bibir tipis menyaran pada sifat ceriwis dan bawel, rambut halus menyaran pada sifat tidak mau mengalah, pandangan mata tajam, hidung agak mendongak, bibir yang bagaimana, dan lain-lain yang dapat menyaran pada sifat tertentu. Hal tersebut tentunya berkaitan dengan pandangan (budaya) masyarakat yang bersangkutan.
Pelukisan keadaan fisik tokoh, kadang-kadang memang terasa penting. Keadaan fisik tokoh perlu dilukiskan, terutama jika tokoh memiliki bentuk fisik khas. Dengan demikian, pembaca dapat menggambarkan tokoh secara imajinatif. Di samping itu, pelukisan juga dibutuhkan untuk mengidentifikasikan dan men- gonkretkan ciri-ciri kedirian tokoh yang telah digambarkan dengan teknik yang lain. Jadi, sama halnya dengan latar, pelukisan wujud fisik tokoh berfungsi lebih mengintensifikasikan kedirian tokoh.
Contoh:
Tentang Sardupi, orang sekampung sudah mengerti semuanya. Lelaki bertubuh kecil dan berkulit hitam itu memang lain. Dia tidak menikah. Selain itu, dia gemar bemain bersama anak-anak, padahal rambut Sardupi sudah mulai beruban. Dan cirinya yang paling khas adalah kebiasaannya merendahkan mata bila diajak bicara. Sardupi juga suka tersenyum atau tertawa sendiri. Hal terakhir ini membuat banyak orang menganggap Sardupi tidak waras. Apalagi penampilan fisiknya memang mendukung angga- pan itu; bentuk kepalanya seperti buah salak, tinggi mengerucut ke atas dan wajahnya memperlihatkan kesan orang terbelakang (Nyanyian Malam, hlm. 37).
Kutipan di atas diambil dari cerpen karya Ahmad Tohari yang berjudul “Pemandangan Perut” yang berasal dari kumpulan cerpen “Nyanyian Malam”. Melalui kutipan di atas, pembaca dapat mengetahui bentuk fisik tokoh Sardupi yang kecil, hitam, rambut mulai memutih, bentuk kepala seperti salak dengan wajah sep- erti orang terbelakang. Selain itu, ia digambarkan sebagai tokoh yang suka tertawa sendiri sehingga ia sering dianggap tidak waras. Meskipun tokoh ini sering dianggap tidak waras, ia mampu melihat sesuatu yang ada di rongga perut seseorang. Rongga perut tersebut ibarat layar tancap. Melalui rongga perut, Sardupi dapat menonton bermacam-macam hal yang kadang-kadang bagus dan menarik, tetapi lebih banyak yang mengerikan.