Linkkoe Jurnal

Sabtu, 02 April 2022

Pengertian, Tujuan, Fungsi dan Manfaat Bimbingan Konseling di Sekolah


Pengertian, Tujuan, Fungsi dan Manfaat Bimbingan  Konseling di Sekolah




Menurut Abu Ahmadi (1991: 1), bahwa bimbingan adalah bantuan yang diberikan kepada individu (peserta didik) agar dengan potensi yang dimiliki mampu mengembangkan diri secara optimal dengan jalan memahami diri, memahami lingkungan, mengatasi hambatan guna menentukan rencana masa depan yang lebih baik. Hal senada juga dikemukakan oleh Prayitno dan Erman Amti (2004: 99), Bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seseorang atau beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja, atau orang dewasa; agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku.

Definisi Konseling

Konseling adalah hubungan pribadi yang dilakukan secara tatap muka antarab dua orang dalam mana konselor melalui hubungan itu dengan kemampuan-kemampuan khusus yang dimilikinya, menyediakan situasi belajar. Dalam hal ini konseli dibantu untuk memahami diri sendiri, keadaannya sekarang, dan kemungkinan keadaannya masa depan yang dapat ia ciptakan dengan menggunakan potensi yang dimilikinya, demi untuk kesejahteraan pribadi maupun masyarakat. Lebih lanjut konseli dapat belajar bagaimana memecahkan masalah-masalah dan menemukan kebutuhan-kebutuhan yang akan datang. (Tolbert, dalam Prayitno 2004 : 101).


Pengertian Bimbingan Konseling

Jadi disini saya simpulkan bahwa pengertian bimbingan dan konseling yaitu suatu bantuan yang diberikan oleh konselor kepada konseli agar konseli mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya dan juga mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya


Tujuan Bimbingan Konseling

Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek pribadi-sosial konseli adalah:

  • Memiliki komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, pergaulan dengan teman sebaya, Sekolah/Madrasah, tempat kerja, maupun masyarakat pada umumnya.
  • Memiliki sikap toleransi terhadap umat beragama lain, dengansaling menghormati dan memelihara hak dan kewajibannya masing-masing.
  • Memiliki pemahaman tentang irama kehidupan yang bersifat fluktuatif antara yang menyenangkan (anugrah) dan yang tidak menyenangkan (musibah), sertadan mampu meresponnya secara positif sesuai dengan ajaran agama yang dianut.
  • Memiliki pemahaman dan penerimaan diri secara objektif dan konstruktif, baik yang terkait dengan keunggulan maupun kelemahan; baik fisik maupun psikis.
  • Memiliki sikap positif atau respek terhadap diri sendiri dan orang lain.
  • Memiliki kemampuan untuk melakukan pilihan secara sehat
  • Bersikap respek terhadap orang lain, menghormati atau menghargai orang lain, tidak melecehkan martabat atau harga dirinya. Memiliki rasa tanggung jawab, yang diwujudkan dalam bentuk komitmen terhadap tugas atau kewajibannya.
  • Memiliki kemampuan berinteraksi sosial (human relationship), yang diwujudkan dalam bentuk hubungan persahabatan, persaudaraan, atau silaturahim dengan sesama manusia.
  • Memiliki kemampuan dalam menyelesaikan konflik (masalah) baik bersifat internal (dalam diri sendiri) maupun dengan orang lain.
  • Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara efektif.




Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek akademik (belajar) adalah :

  • Memiliki kesadaran tentang potensi diri dalam aspek belajar, dan memahami berbagai hambatan yang mungkin muncul dalam proses belajar yang dialaminya.
  • Memiliki sikap dan kebiasaan belajar yang positif, seperti kebiasaan membaca buku, disiplin dalam belajar, mempunyai perhatian terhadap semua pelajaran, dan aktif mengikuti semua kegiatan belajar yang diprogramkan.
  • Memiliki motif yang tinggi untuk belajar sepanjang hayat.
  • Memiliki keterampilan atau teknik belajar yang efektif, seperti keterampilan membaca buku, mengggunakan kamus, mencatat pelajaran, dan mempersiapkan diri menghadapi ujian.
  • Memiliki keterampilan untuk menetapkan tujuan dan perencanaan pendidikan, seperti membuat jadwal belajar, mengerjakan tugas-tugas, memantapkan diri dalam memperdalam pelajaran tertentu, dan berusaha memperoleh informasi tentang berbagai hal dalam rangka mengembangkan wawasan yang lebih luas.
  • Memiliki kesiapan mental dan kemampuan untuk menghadapi ujian.


Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek karir adalah :


  • Memiliki pemahaman diri (kemampuan, minat dan kepribadian) yang terkait dengan pekerjaan.
  • Memiliki pengetahuan mengenai dunia kerja dan informasi karir yang menunjang kematangan kompetensi karir.
  • Memiliki sikap positif terhadap dunia kerja. Dalam arti mau bekerja dalam bidang pekerjaan apapun, tanpa merasa rendah diri, asal bermakna bagi dirinya, dan sesuai dengan norma agama.
  • Memahami relevansi kompetensi belajar (kemampuan menguasai pelajaran) dengan persyaratan keahlian atau keterampilan bidang pekerjaan yang menjadi cita-cita karirnya masa depan.
  • Memiliki kemampuan untuk membentuk identitas karir, dengan cara mengenali ciri-ciri pekerjaan, kemampuan (persyaratan) yang dituntut, lingkungan sosiopsikologis pekerjaan, prospek kerja, dan kesejahteraan kerja.
  • Memiliki kemampuan merencanakan masa depan, yaitu merancang kehidupan secara rasional untuk memperoleh peran-peran yang sesuai dengan minat, kemampuan, dan kondisi kehidupan sosial ekonomi.
  • Dapat membentuk pola-pola karir, yaitu kecenderungan arah karir. Apabila seorang konseli bercita-cita menjadi seorang guru, makadia senantiasa harus mengarahkan dirinya kepada kegiatan-kegiatan yang relevan dengan karir keguruan tersebut.
  • Mengenal keterampilan, kemampuan dan minat. Keberhasilan atau kenyamanan dalam suatu karir amat dipengaruhi oleh kemampuan dan minat yang dimiliki.




Fungsi Bimbingan Konseling

Fungsi Pemahaman

yaitu fungsi bimbingan dan konseling membantu konseli agar memiliki pemahaman terhadap dirinya (potensinya) dan lingkungannya (pendidikan, pekerjaan, dan norma agama). Berdasarkan pemahaman ini, konseli diharapkan mampu mengembangkan potensi dirinya secaraoptimal, dan menyesuaikan dirinya dengan lingkungan secara dinamis dan konstruktif.


Fungsi Preventif

yaitu fungsi yang berkaitan dengan upaya konselor untuk senantiasa mengantisipasi berbagai masalah yang mungkin terjadi dan berupaya untuk mencegahnya, supaya tidak dialami oleh konseli. Melalui fungsi ini, konselor memberikan bimbingan kepada konseli tentang cara menghindarkan diri dari perbuatan atau kegiatan yang membahayakan dirinya.


Fungsi Pengembangan

yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang sifatnya lebih proaktif dari fungsi-fungsi lainnya. Konselor senantiasa berupaya untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, yang memfasilitasi perkembangan konseli. Konselor dan personel Sekolah/Madrasah lainnya secara sinergi sebagai teamwork berkolaborasi atau bekerjasama merencanakan dan melaksanakan program bimbingan secara sistematis dan berkesinambungan dalam upaya membantu konseli mencapai tugas-tugas perkembangannya. Teknik bimbingan yang dapat digunakan disini adalah pelayanan informasi, tutorial, diskusi kelompok atau curah pendapat (brain storming),home room, dan karyawisata.


Fungsi Penyembuhan

yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang bersifat kuratif. Fungsi ini berkaitan erat dengan upaya pemberian bantuan kepada konseli yang telah mengalami masalah, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir. Teknik yang dapat digunakan adalah konseling, dan remedial teaching.


Fungsi Penyaluran

yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu konseli memilih kegiatan ekstrakurikuler, jurusan atau program studi, dan memantapkan penguasaan karir atau jabatan yang sesuai dengan minat, bakat, keahlian dan ciri-ciri kepribadian lainnya. Dalam melaksanakan fungsi ini, konselor perlu bekerja sama dengan pendidik lainnya di dalam maupun di luar lembaga pendidikan.


Fungsi Adaptasi

yaitu fungsi membantu para pelaksana pendidikan, kepala Sekolah/Madrasah dan staf, konselor, dan guru untuk menyesuaikan program pendidikan terhadap latar belakang pendidikan, minat, kemampuan, dan kebutuhan konseli. Dengan menggunakan informasi yang memadai mengenai konseli, pembimbing/konselor dapat membantu para guru dalam memperlakukan konseli secara tepat, baik dalam memilih dan menyusun materi Sekolah/Madrasah, memilih metode dan proses pembelajaran, maupun menyusun bahan pelajaran sesuai dengan kemampuan dan kecepatan konseli.


Fungsi Penyesuaian

yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu konseli agar dapat menyesuaikan diri dengan diri dan lingkungannya secara dinamis dan konstruktif.


Fungsi Perbaikan

yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu konseli sehingga dapat memperbaiki kekeliruan dalam berfikir, berperasaan dan bertindak (berkehendak). Konselor melakukan intervensi (memberikan perlakuan) terhadap konseli supaya memiliki pola berfikir yang sehat, rasional dan memiliki perasaan yang tepat sehingga dapat mengantarkan mereka kepada tindakan atau kehendak yang produktif dan normatif.


Fungsi Fasilitasi

memberikan kemudahan kepada konseli dalam mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, serasi, selaras dan seimbang seluruh aspek dalam diri konseli.


Fungsi Pemeliharaan

yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu konseli supaya dapat menjaga diri dan mempertahankan situasi kondusif yang telah tercipta dalam dirinya. Fungsi ini memfasilitasi konseli agar terhindar dari kondisi-kondisi yang akan menyebabkan penurunan produktivitas diri. Pelaksanaan fungsi ini diwujudkan melalui program-program yang menarik, rekreatif dan fakultatif (pilihan) sesuai dengan minat konseli.


Manfaat Bimbingan Konseling

  • Bimbingan konseling akan membuat diri kita merasa lebih baik, merasa lebih bahagia, tenang dan nyaman karena bimbingan konseling tersebut membantu kita untuk menerima setiap sisi yang ada di dalam diri kita.
  • Bimbingan konseling juga membantu menurunkan bahkan menghilangkan tingkat tingkat stress dan depresi yang kita alami karena kita dibantu untuk mencari sumber stress tersebut serta dibantu pula mencari cara penyelesaian terbaik dari permasalahan yang belum terselesaikan itu.
  • Bimbingan konseling membantu kita untuk dapat memahami dan menerima diri sendiri dan orang lain sehingga akan meningkatkan hubungan yang efektif dengan orang lain serta dapat berdamai dengan diri sendiri.
  • Perkembangan personal akan meningkat secara positif karena adanya bimbinga konseling.


Asas Bimbingan Konseling

Asas Kerahasiaan (confidential);

yaitu asas yang menuntut dirahasiakannya segenap data dan keterangan peserta didik (klien) yang menjadi sasaran layanan, yaitu data atau keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui orang lain. Dalam hal ini, guru pembimbing (konselor) berkewajiban memelihara dan menjaga semua data dan keterangan itu sehingga kerahasiaanya benar-benar terjamin,

Asas Kesukarelaan;

yaitu asas yang menghendaki adanya kesukaan dan kerelaan peserta didik (klien) mengikuti/ menjalani layanan/kegiatan yang diperuntukkan baginya. Guru Pembimbing (konselor) berkewajiban membina dan mengembangkan kesukarelaan seperti itu.

Asas Keterbukaan;

yaitu asas yang menghendaki agar peserta didik (klien) yang menjadi sasaran layanan/kegiatan bersikap terbuka dan tidak berpura-pura, baik dalam memberikan keterangan tentang dirinya sendiri maupun dalam menerima berbagai informasi dan materi dari luar yang berguna bagi pengembangan dirinya. Guru pembimbing (konselor) berkewajiban mengembangkan keterbukaan peserta didik (klien). Agar peserta didik (klien) mau terbuka, guru pembimbing (konselor) terlebih dahulu bersikap terbuka dan tidak berpura-pura. Asas keterbukaan ini bertalian erat dengan asas kerahasiaan dan dan kekarelaan.

Asas Kegiatan;

yaitu asas yang menghendaki agar peserta didik (klien) yang menjadi sasaran layanan dapat berpartisipasi aktif di dalam penyelenggaraan/kegiatan bimbingan. Guru Pembimbing (konselor) perlu mendorong dan memotivasi peserta didik untuk dapat aktif dalam setiap layanan/kegiatan yang diberikan kepadanya.

Asas Kemandirian;

yaitu asas yang menunjukkan pada tujuan umum bimbingan dan konseling; yaitu peserta didik (klien) sebagai sasaran layanan/kegiatan bimbingan dan konseling diharapkan menjadi individu-individu yang mandiri, dengan ciri-ciri mengenal diri sendiri dan lingkungannya, mampu mengambil keputusan, mengarahkan, serta mewujudkan diri sendiri. Guru Pembimbing (konselor) hendaknya mampu mengarahkan segenap layanan bimbingan dan konseling bagi berkembangnya kemandirian peserta didik.

Asas Kekinian;

yaitu asas yang menghendaki agar obyek sasaran layanan bimbingan dan konseling yakni permasalahan yang dihadapi peserta didik/klien dalam kondisi sekarang. Kondisi masa lampau dan masa depan dilihat sebagai dampak dan memiliki keterkaitan dengan apa yang ada dan diperbuat peserta didik (klien) pada saat sekarang.

Asas Kedinamisan;

yaitu asas yang menghendaki agar isi layanan terhadap sasaran layanan (peserta didik/klien) hendaknya selalu bergerak maju, tidak monoton, dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangannya dari waktu ke waktu.

Asas Keterpaduan;

yaitu asas yang menghendaki agar berbagai layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan oleh guru pembimbing maupun pihak lain, saling menunjang, harmonis dan terpadukan. Dalam hal ini, kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak yang terkait dengan bimbingan dan konseling menjadi amat penting dan harus dilaksanakan sebaik-baiknya.

Asas Kenormatifan;

yaitu asas yang menghendaki agar segenap layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada norma-norma, baik norma agama, hukum, peraturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan, dan kebiasaan – kebiasaan yang berlaku. Bahkan lebih jauh lagi, melalui segenap layanan/kegiatan bimbingan dan konseling ini harus dapat meningkatkan kemampuan peserta didik (klien) dalam memahami, menghayati dan mengamalkan norma-norma tersebut.

Asas Keahlian;

yaitu asas yang menghendaki agar layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling diselnggarakan atas dasar kaidah-kaidah profesional. Dalam hal ini, para pelaksana layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling lainnya hendaknya tenaga yang benar-benar ahli dalam bimbingan dan konseling. Profesionalitas guru pembimbing (konselor) harus terwujud baik dalam penyelenggaraaan jenis-jenis layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling dan dalam penegakan kode etik bimbingan dan konseling.

Asas Alih Tangan Kasus;

yaitu asas yang menghendaki agar pihak-pihak yang tidak mampu menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling secara tepat dan tuntas atas suatu permasalahan peserta didik (klien) kiranya dapat mengalih-tangankan kepada pihak yang lebih ahli. Guru pembimbing (konselor)dapat menerima alih tangan kasus dari orang tua, guru-guru lain, atau ahli lain. Demikian pula, sebaliknya guru pembimbing (konselor), dapat mengalih-tangankan kasus kepada pihak yang lebih kompeten, baik yang berada di dalam lembaga sekolah maupun di luar sekolah.

Asas Tut Wuri Handayani;

yaitu asas yang menghendaki agar pelayanan bimbingan dan konseling secara keseluruhan dapat menciptakan suasana mengayomi (memberikan rasa aman), mengembangkan keteladanan, dan memberikan rangsangan dan dorongan, serta kesempatan yang seluas-luasnya kepada peserta didik (klien) untuk maju.


Prinsip Bimbingan Konseling

Bimbingan dan konseling diperuntukkan bagi semua konseli.

Prinsip ini berarti bahwa bimbingan diberikan kepada semua konseli atau konseli, baik yang tidak bermasalah maupun yang bermasalah; baik pria maupun wanita; baik anak-anak, remaja, maupun dewasa. Dalam hal ini pendekatan yang digunakan dalam bimbingan lebih bersifat preventif dan pengembangan dari pada penyembuhan (kuratif); dan lebih diutamakan teknik kelompok dari pada perseorangan (individual).


Bimbingan dan konseling sebagai proses individuasi. Setiap konseli bersifat unik (berbeda satu sama lainnya), dan melalui bimbingan konseli dibantu untuk memaksimalkan perkembangan keunikannya tersebut. Prinsip ini juga berarti bahwa yang menjadi fokus sasaran bantuan adalah konseli, meskipun pelayanan bimbingannya menggunakan teknik kelompok.

Bimbingan menekankan hal yang positif. Dalam kenyataan masih ada konseli yang memiliki persepsi yang negatif terhadap bimbingan, karena bimbingan dipandang sebagai satu cara yang menekan aspirasi. Sangat berbeda dengan pandangan tersebut, bimbingan sebenarnya merupakan proses bantuan yang menekankan kekuatan dan kesuksesan, karena bimbingan merupakan cara untuk membangun pandangan yang positif terhadap diri sendiri, memberikan dorongan, dan peluang untuk berkembang.


Bimbingan dan konseling Merupakan Usaha Bersama. Bimbingan bukan hanya tugas atau tanggung jawab konselor, tetapi juga tugas guru-guru dan kepala Sekolah/Madrasah sesuai dengan tugas dan peran masing-masing. Mereka bekerja sebagai teamwork.

Pengambilan Keputusan Merupakan Hal yang Esensial dalam Bimbingan dan konseling. Bimbingan diarahkan untuk membantu konseli agar dapat melakukan pilihan dan mengambil keputusan. Bimbingan mempunyai peranan untuk memberikan informasi dan nasihat kepada konseli, yang itu semua sangat penting baginya dalam mengambil keputusan.

Kehidupan konseli diarahkan oleh tujuannya, dan bimbingan memfasilitasi konseli untuk mempertimbangkan, menyesuaikan diri, dan menyempurnakan tujuan melalui pengambilan keputusan yang tepat. Kemampuan untuk membuat pilihan secara tepat bukan kemampuan bawaan, tetapi kemampuan yang harus dikembangkan. Tujuan utama bimbingan adalah mengembangkan kemampuan konseli untuk memecahkan masalahnya dan mengambil keputusan.


Bimbingan dan konseling Berlangsung dalam Berbagai Setting (Adegan) Kehidupan. Pemberian pelayanan bimbingan tidak hanya berlangsung di Sekolah/Madrasah, tetapi juga di lingkungan keluarga, perusahaan/industri, lembaga-lembaga pemerintah/swasta, dan masyarakat pada umumnya. Bidang pelayanan bimbingan pun bersifat multi aspek, yaitu meliputi aspek pribadi, sosial, pendidikan, dan pekerjaan.



Selasa, 08 Maret 2022

Pengertian Latar dalam Karya Fiksi

Pengertian Latar dalam Karya Fiksi


Latar dalam Karya Fiksi


1. Pengertian Latar dalam Karya Fiksi

Latar dapat dikatakan sebagai segala hal yang melingkungi atau melatarbelakangi tokoh cerita. Stanton (2007:36) mengatakan latar ada- lah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Dikatakan oleh Abrams (1979:284-285) bahwa latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa- peristiwa yang diceritakan. Latar pun bukanlah hanya sekadar pelukisan waktu dan tempat. Suatu adegan sedih akan lebih terasa bila didukung oleh lukisan suasana seperti awan mendung, kesunyian dan sebagainya.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa latar adalah segala sesuatu yang melingkungi diri para tokoh, seperti tempat, waktu, dan lingkungan sosial/suasana. Latar tempat berkaitan dengan lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu berkaitan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-per- istiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar sosial berkaitan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Latar dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain.

Latar sebagai dasar berpijaknya sebuah cerita kadang-kadang da- pat memengaruhi alur, penokohan, dan tema. Latar dapat membentuk suasana emosional tokoh cerita, misalnya cuaca yang ada di lingkungan tokoh memberi pengaruh terhadap perasaan tokoh cerita tersebut.

2. Unsur-unsur Latar

Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tem- pat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur ini walau masing-masing menawar- kan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling memengaruhi satu dengan yang lainnya.

Nurgiyantoro (2010:218) mengatakan bahwa ketika membaca sebuah cerkan, akan ditemukan lokasi tertentu, seperti nama kota, desa, jalan, di samping itu juga ditemukan waktu seperti tahun, tanggal, pagi, siang, pukul, saat hujan gerimis. Latar tempat, berhubung secara jelas menyaran pada lokasi tertentu dapat disebut sebagai latar fisik. Latar yang berhubungan dengan waktu tampaknya juga dapat dikategorikan sebagai latar fisik sebab ia juga dapat menyaran pada saat tertentu secara jelas. Latar dalam cerkan tidak terbatas pada penempatan lokasi-lokasi tertentu, atau suatu yang bersifat fisik saja, melainkan juga yang ber- wujud tata cara, adat istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berlaku di tempat yang bersangkutan. Hal-hal yang disebut terakhir inilah yang disebut sebagai latar spiritual. Jadi, latar spiritual adalah nilai-nilai yang melingkup dan dimiliki oleh latar fisik. Berikut contoh hal tersebut.

Hari ini aku (Siti Walidah/Nyai Ahmad Dahlan) diajak Ibu melihat suasana padusan yang biasa dilakukan warga men- jelang masuknya bulan puasa. Aku sudah ikut puasa Rama- dhan dari tahun-tahun sebelumnya, tapi tidak pernah ikut padusan. Baru setelah berumur 11 tahun inilah aku melihat langsung (Sang Pencerah, hlm. 93).

Kutipan di atas diambil dari novel “Sang Pencerah” karya Ak- mal Nasery Basral. Melalui kutipan di atas terlihat salah satu adat-istia- dat yang ada pada masyarakat Jawa, yaitu ‘padusan’ yang dilaksanakan menjelang puasa Ramadhan. Padusan adalah mandi suci yang merupa- kan bagian dari ‘ruwatan’ (upacara membebaskan orang dari nasib buruk yang akan menimpa).

Latar sebuah karya fiksi barangkali hanya latar yang sekadar latar. Misalnya, sebuah nama tempat hanya sekadar sebagai tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan, tidak lebih dari itu jika disebutkan sebuah kota, misalnya Yogyakarta, ia sekadar sebagai kota yang mungkin diser- tai dengan sifat umum sebuah kota. Latar sebuah karya yang hanya bersi- fat demikian disebut sebagai latar netral. Latar netral tidak memiliki dan tidak mendeskripsikan sifat khas tertentu yang terdapat dalam sebuah latar, sesuatu yang justru dapat membedakannya dengan latar-latar lain. Contoh latar netral:

Tiga tahun lalu, di tahun 1945, ketika kami mulai bergerak dari timur untuk menempati wilayah segitiga Gunung Slamet-Gunung Ceremai-Muara Citandui, kukira jumlah kami lebih dari seribu orang. Dan satuan kecil yang mendapat perintah menempati sek- tor hutan di wilayah utara Cilacap sampai ke perbatasan Jawa Tengah-Jawa Barat, ada dua ratus orang lebih.……

Ada yang tertangkap atau mati dalam pertempuran, atau, minta bergabung dengan induk pasukan yang lebih kuat, yang berop- erasi di sebelah barat Sungai Citandui. Lainnya, dan inilah jum- lah yang terbesar, diam-diam meloloskan diri dan meyerang ke Sumatra lewat Pelabuhan Cirebon (Lingkar anah Lingkar Air, hlm.15).

Kutipan di atas diambil dari novel “Lingkar Tanah Lingkar Air” karya Ahmad Tohari. Melalui kutipan di atas terlihat bahwa penyebutan gunung, sungai, pelabuhan, dan beberapa daerah seperti Cilacap, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatra merupakan nama beberapa tempat yang hanya sekadar sebagai tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan. La- tar tersebut tidak mendeskripsikan sifat khas tertentu dari sebuah latar.

Latar tipikal di pihak lain, memiliki dan menonjolkan sifat khas tertentu, baik yang menyangkut unsur tempat, waktu, maupun sosial. Jika membaca “Para Priyayi” karya Umar Khayam, misalnya, akan dirasa- kan dominannya lingkungan sosial masyarakat Jawa, hanya masyarakat Jawa tidak dapat untuk masyarakat lain. Contoh:

Wanagalih adalah sebuah ibu kota kabupaten. Meskipun kota itu suatu ibu kota lama yang hadir sejak pertengahan abad ke- 19, kota itu tampak kecil dan begitu-begitu saja (Para Priyayi, hlm. 1).

Nama saya Lantip. Ah, tidak. Nama saya yang asli sangatlah dusun, ndeso. Wage. Nama itu diberikan, menurut embok saya karena saya dilahirkan pada hari Sabtu Wage. Nama Lantip itu saya dapat kemudian waktu saya mulai tinggal di rumah keluarga Sastrodarsono. Di Jalan Satenan, di kota Wanagalih (Para Priyayi, hlm.10)

Desa-desa di sekitar Wanagalih memang terkenal akan tem- penya yang enak. Hingga sekarang pun tempe Wanagalih me- mang terkenal di seluruh Jawa Timur (Para Priyayi, hlm.12).

Tiga kutipan di atas diambil dari novel “Para Priyayi”. Kutipan tersebut menunjukkan adanya latar tipikal. Dikatakan tipikal karena ka- lau dilihat dari latar waktu, tempat maupun sosial yang tergambar pada novel tersebut menunjukkan ciri khas daerah Jawa (Jawa Timur). Dilihat dari latar sosial, misalnya, pemilihan nama seorang anak yang berasal dari kelas bawah (wong cilik) biasanya dikaitkan dengan hari kelahiran. Dalam budaya Jawa ada dua kelas masyarakat, yaitu ‘wong cilik’ dan ‘priyayi’. Oleh karena itu, nama seseorang dapat menjelaskan status kelasnya. Nama tokoh Wage menunjukkan asal tokoh yang berasal dari kelas bawah (wong cilik), sedangkan Sastrodarsono menunjukkan status tokoh yang berasal dari masyarakat kelas menengah-atas (priyayi). Latar tipikal sosial dalam novel “Para Priyayi” juga tampak dari bahasa yang digunakan. Istilah bahasa Jawa banyak dijumpai dalam novel tersebut, misalnya: abdi dalem, memayu hayuning bawana, wedang cemoe, tem- puran, kungkum, anggarakasih, bedol, misuh, gempi, wedok, somah. Selain itu, latar tempat Wanagalih merupakan sebuah ibu kota kabupaten yang hadir sejak pertengahan abad ke-19. Wanagalih memiliki kekhasan, yaitu penghasil tempe yang enak dan terkenal di seluruh Jawa Timur.

Sabtu, 05 Maret 2022

Pembedaan Alur Berdasarkan Kriteria Kepadatan/Kualitas dalam Karya Fiksi

Pembedaan Alur Berdasarkan Kriteria Kepadatan/Kualitas dalam Karya Fiksi



Pembedaan Alur Berdasarkan Kriteria Kepadatan/Kualitas dalam Karya Fiksi

Dengan kriteria kepadatan dimaksudkan sebagai padat atau tidaknya pengembangan dan perkembangan cerita pada sebuah karya fiksi. Peristiwa demi peristiwa yang dikisahkan mungkin berlangsung susul-menyusul secara cepat, tetapi mungkin sebaliknya. Keadaan pertama digolongkan sebagai karya yang beralur padat, rapat, sedangkan yang kedua beralur longgar, renggang.

Pada cerkan yang beralur padat, cerita disajikan secara tepat, peristiwa-peristiwa fungsional terjadi susul-menyusul dengan cepat, hubungan antarperistiwa juga terjalin secara erat, dan pembaca seolah-olah selalu dipaksa untuk terus-menerus mengikutinya. Antara peristiwa yang satu dengan yang lain—yang berkadar fungsional tinggi—tidak dapat dipisahkan atau dihilangkan salah satunya. 

Sebaliknya, pada cerkan yang beralur longgar, pergantian peristiwa demi peristiwa penting berlangsung lambat di samping hubungan antar peristiwa tersebut pun tidaklah erat benar. Artinya, antara peristiwa penting yang satu dengan yang lain diselai oleh berbagai peristiwa “tambahan”, atau berbagai pelukisan tertentu seperti penyituasian latar dan suasana, yang kesemuanya itu dapat memperlambat ketegangan cerita. Dalam kaitan ini pengarang sengaja memanfaatkan apa yang disebut digresi.

Digresi (lanturan) menyaran pada pengertian penyimpangan dari tema pokok sekadar untuk mempercantik cerita dengan unsur-unsur yang tidak langsung berkaitan dengan tema. Contoh: di dalam novel Royan Revolusi karya Ramadhan K.H. terdapat digresi yang cukup banyak. Digresi tersebut berupa peristiwa-peristiwa yang kurang memiliki keterkaitan dengan cerita uta- ma.

Peristiwa tersebut antara lain, yaitu peristiwa kematian ibu Idrus saat Idrus berada di luar negeri (hlm.118—121). Peristiwa berikutnya adalah perjalanan Idrus ke beberapa tempat di Eropa dan pertemuannya dengan beberapa orang di dalam kereta (hlm. 122—124). Peristiwa pertemuan Idrus dengan seorang gadis Ero- pa bernama Eya Kuusela. Selama di Eropa, gadis tersebut sempat mengisi kekosongan hati Idrus. Namun, hal itu tidak berlangsung lama karena hubungan kasih di antara keduanya terputus. Hubungan mereka putus karena Eya Kuusela tidak mau diajak ke Indonesia. 

Peristiwa-peristiwa yang merupakan degresi tersebut seandainya dilepas dari alur cerita sebenarnya tidak menggangu jalan cerita. Dalam arti, jalan cerita tidak akan rusak dan tetap berjalan dengan baik.

Jumat, 04 Maret 2022

Pembedaan Alur Berdasarkan Kriteria Jumlah/Kuantitas dalam Karya Fiksi

Pembedaan Alur Berdasarkan Kriteria Jumlah/Kuantitas dalam Karya Fiksi




Pembedaan Alur Berdasarkan Kriteria Jumlah/Kuantitas dalam Karya Fiksi,  Dengan kriteria jumlah dimaksudkan sebagai banyaknya alur cerita yang terdapat dalam sebuah karya fiksi. Sebuah novel mungkin hanya menampilkan sebuah alur, tetapi mungkin pula berisi lebih dari satu alur. Kemungkinan pertama adalah untuk novel yang beralur tunggal, sedangkan yang kedua adalah yang menampilkan sub-subalur.

Karya fiksi yang beralur tunggal biasanya hanya mengembangkan sebuah cerita dengan menampilkan seorang tokoh utama protagonis sebagai hero. Cerita pada umumnya hanya mengikuti perjalanan hidup tokoh tersebut, lengkap dengan permasalahan dan konflik yang dialaminya. Alur tunggal, dengan demikian, sering dipergunakan jika pengarang ingin memfokuskan “dominasi” seseorang tokoh tertentu sebagai hero atau permasalahan tertentu yang ditokohutamai seorang yang tertentu pula. 

Sebuah karya fiksi dapat saja memiliki lebih dari satu alur cerita yang dikisahkan, atau terdapat lebih dari seorang tokoh yang dikisahkan perjalanan hidup, permasalahan, dan konflik yang dihadapi. Struktur alur yang demikian dalam sebuah karya barangkali berupa adanya sebuah alur utama (main plot) dan alur-alur tambahan (sub-subplot).

Sub-alur hanya merupakan bagian dari alur utama. Sub-alur berisi cerita “kedua” yang ditambahkan dan bersifat memperjelas dan memperluas pandangan seseorang terhadap alur utama dan mendukung efek keseluruhan cerita. Sub-alur hanya menjadi penting dan berarti dalam kaitannya dengan alur utama. 

Namun, perlu diingat bahwa tidak jarang terdapat sub-alur yang kadar keutamaannya juga tinggi sehingga “bersaing” dengan alur utama. Sub-alur yang demikian berkembang bersama dengan alur utama sehingga terlihat seperti terdapat dua alur pararel. Sub-alur ini biasanya ditokohi oleh tokoh utama lain (protagonis ataupun antagonis) dan cukup tinggi kadar pentingnya dalam membangun alur secara keseluruhan.

Hal-Hal yang Termasuk Tabarruj

Hal-Hal yang Termasuk Tabarruj



Hal-Hal yang Termasuk Tabarruj

Tabarruj ada dan terjadi sejak manusia ada dalam sejarah. Tabar­ruj merupakan gambaran dan hasil budaya manusia yang pada setiap zaman memiliki perkembangan sendiri bahkan cenderung bergeser dari waktu ke waktu.

Islam menjelaskan tabarruj secara normatif dalam AI-Qur'an dan juga secara realitas yang terjadi pada zaman Rasulullah saw., dan masa-masa sebelumnya. Dari realitas itulah kemu­ dian diangkat dalam hadis untuk menjelaskan bagaimana prak­tik tabarruj yang dimaksud, meskipun mungkin jenis tabarruj akan berbeda dari masa ke masa atau mungkin juga banyak yang sama dan mirip.

1. Memamerkan aurat

Anggota tubuh perempuan seluruhnya tidak boleh diperli­ hatkan kepada yang bukan mahramnya, kecuali dua hal saja yakni wajah dan telapak tangan saja. Seperti yang tercantum dalam AI-Qur'an, "Dan janganlah mereka menampakkan per­ hiasannya kecuali yang biasa tampak daripadanya." {QS. An­ Nur: 31)

"Sesungguhnya Asma binti Abu Bakar masuk ke rumah Rasulullah dengan memakai pakaian tipis. Lalu Rasulullah berpaling darinya dan bersabda, 'Hai Asma, sesungguhnya seorang wanita yang sud ah balig tidak boleh terlihat auratnya kecuali ini dan ini.' Nabi saw., berisyarat menunjuk ke wajah dan telapak tangannya." (HR. Abu Dawud)

Dalil  di  atas  menjelaskan  bolehnya  tabarruj  kha/qi­ yah  yakni  memperlihatkan  dua jenis  anggota  tubuh  (wajah dan telapak tangan),  dan juga  sekaligus  menjelaskan  boleh­ nya  tabarruj  muktasabah  yakni  memperlihatkan diri dengan merias wajah serta  memakai dan memperlihatkan perhiasan (misalnya  cincin)  sebagaimana  dijelaskan  dalam  hadis  Nabi saw., berikut. "Dari lbnu Abbas berkata, 'Perhiasan yang tam­ pak itu adalah: muka, celak mata, bekas pacar di pergelangan tangan, dan cincin."'


2. Meliuk-liukkan tubuh, menggoyang-goyangkan kepala, me­ ngenakan pakaian tipis dan ketat

Meliuk-liukkan dan menggoyang-goyangkan tubuh merupakan bagian dari tabarruj meski tubuhnya terbungkus dengan pa­kaian, misalnya menari atau berjalan berlenggok-lenggok de­ngan tujuan mencari perhatian, terutama dari lawan jenisnya. Untuk zaman sekarang mungkin seperti acara-acara pemilihan putri yang sering kita lihat di televisi. Karena di sana sudah jelas memperlihatkan keindahan bentuk tubuh, cara berjalan, ber­bicara di depan umum baik laki-laki maupun wanita.

Selain itu, mengenakan pakaian tipis, atau memakai busa­ na ketat dan merangsang termasuk dalam kategori tabar­ruj. Untuk kedua jenis perbuatan ini Nabi saw., bersabda. "Dari Abu Hurairah ra., ia berkata, Rasulullah bersabda, 'Dua golongan dari ahli neraka yang aku belum pernah melihatnya yaitu; orang-orang yang membawa cambuk seperti ekor sapi, mereka memukul manusia dengannya dan perempuan yang memakai pakaian hampir telanjang dengan menggoyang­ goyangkan pinggulnya, berlenggok-lenggok, kepalanya se­perti punuk unta. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan memperoleh harumnya. Dan sesungguhnya harumnya surga dapat dicium dari jarak sekian dan sekian (jarak yang sangat jauh)." (HR. Muslim)

Imam lbnu Al-'Arabiy menyatakan, "Termasuk tabarruj, se­orang wanita yang mengenakan pakaian tipis yang menam­ pakkan warna kulitnya. lnilah yang dimaksud dengan sabda Rasulullah saw., yang terdapat di dalam hadis sahih di atas, sebab yang menjadikan seorang wanita telanjang adalah ka­rena pakaiannya dan ia disebut telanjang karena pakaian tipis yang ia kenakan. Jika pakaiannya tipis, maka ia bisa menying­ kap dirinya dan ini adalah haram."


3. Mengenakan wewangian mencolok

Rasulullah saw., bersabda, "Siapa pun wanita yang memakai wewangian kemudian melewati suatu kaum agar mereka mencium baunya, berarti ia telah berzina." (HR. Nasa'i)

Imam Muslim juga meriwayatkan sebuah hadis dari Abu Hurairah ra., bahwa Nabi saw., bersabda, "siapa saja wanita yang mengenakan bakhur (wewangian), janganlah dia meng­ hadiri shalat Jsya yang terakhir bersama kami." (HR. Mus­ lim)

Menurut lbnu Abi Najih, wanita yang keluar rumah dengan memakai wangi-wangian termasuk dalam kategori tabar­ruj. Oleh karena itu, seorang wanita mukmin dilarang keluar rumah atau berada di antara laki-laki dengan mengenakan wewangian yang dominan baunya.

Ada pun sifat wewangian bagi wanita mukmin adalah tidak kentara baunya dan mencolok warnanya. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw., "Ketahuilah, par­fum pria adalah yang tercium baunya, dan tidak terlihat warnanya. Sedangkan parfum wanita adalah yang tampak warnanya dan tidak tercium baunya." (HR. Imam Ahmad dan Abu Dawud)

4. Menyambung rambut

Menyambung rambut dapat dilakukan dengan cara memasang sanggul buatan atau memakai rambut palsu atau cara lainnya dengan tujuan menarik perhatian juga termasuk tabarruj. Dan Allah mengingatkan perbuatan tersebut dengan laknat­ nya. Dalam sebuah hadis tersebut adalah, "Dari Abu Hurairah ra., dari Nabi saw., bersabda, Allah te/ah me/aknat wanita yang memakai cemara (rambut palsu) dan wanita yang minta dipakaikan cemara dan wanita yang menato (mencacah) dan yang minta ditato." (HR. Bukhari)

Dan  di  dalam  sabda  beliau,  "Rambut  mereka  seperti punuk  unta  yang  miring"  yaitu  mereka  memamerkan  per­hiasan  rambut  mereka,  yaitu  menghias  rambut  mereka dan  menonjolkannya  menggunakan  gulungan  sorban  atau kain  atau  semisalnya  sehingga  menjadi  mirip  punuk  unta. Kata al-bukhtu adalah unta Khursaniyah, maksudnya: mereka menyisir  rambut  mereka  sehingga  menyerupai  punuk  unta Khursaniyah. 

Hati-hati loh, bagi Sista yang suka mengenakan ciput dengan cepol sampai menonjol di atas kepala itu termasuk menggunakan gulungan sorban atau kain yang mengakibat­ kan mirip punuk unta.

5. Tato, mencabut rambut dahi, dan menjarangkan gigi

Membuat tato, mencabut bulu dahi (termasuk bulu alis), dan menjarangkan atau meratakan gigi yang semuanya ber­ tujuan untuk mempercantik diri dan sekaligus menarik per­ hatian, terutama lawan jenis. Perbuatan-perbuatan di atas termasuk tabarruj yang juga mendapat laknat Allah Swt., se­ bagaimana Nabi saw., bersabda. "Dari Abdullah, 'Allah telah melaknat wanita yang minta ditato dan wanita yang minta dicabut rambut dahinya dan yang menjarangkan giginya su­ paya cantik." (HR. Bukhari)

6. lsraf atau berlebihan dalam berpakaian atau berdandan

Berpakaian merupakan salah satu upaya agar dapat tam­ pil cantik, dan menawan. karena salah satu fungsi pa­ kaian adalah sebagai perhiasan, sesuai dengan firman Allah dalam AI-Qur'an. "Wahai anak cucu Adam. Sesungguh­ nya Kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi aurat­ mu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi pakaian takwa, itulah yang /ebih baik. Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka ingot." (QS. AI-A'raf: 26)

Berpakaian merupakan salah satu upaya agar dapat tam­ pil cantik, dan menawan. karena salah satu fungsi pa­ kaian adalah sebagai perhiasan, sesuai dengan firman Allah dalam AI-Qur'an. "Wahai anak cucu Adam. Sesungguh­ nya Kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi aurat­ mu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi pakaian takwa, itulah yang /ebih baik. Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka ingot." (QS. AI-A'raf: 26)

Berpakaian secara berlebihan misalnya menjulurkan/me­ manjangkan pakaian sampai menyapu lantai atau mode pakaian yang dianggap berlebih menurut pertimbangan akal dan nurani manusia atau melebihi ukuran biasa (tradisi setempat), dan ber­ dandan atau merias wajah secara berlebihan (menor) itu juga termasuk bagian tabarruj.

"Hai anak Adam! Pakailah pakaianmu yang indah di setiap kali shalat, makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih­ an." (QS. AI-A'raf: 31}

Ayat lain dalam AI-Qur'an juga menjelaskan. "Janganlah me­ reka memukul-mukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan." (QS. An-Nur: 31}

Oleh karena itu, meski menutup aurat, tetapi berlebihan atau busananya ketat, tipis, menerawang dengan tujuan menarik perhatian seperti yang dijelaskan di atas, adalah tabarruj dan di­ larang (haram).

Berdasarkan pemahaman tabarrujyangdisertai dalil-dalil di atas, maka tindakan tabarruj seorang wanita dalam Islam adalah setiap upaya mengenakan perhiasan atau menampakkan perhiasan dan kecantikannya yang dapat mengundang pandangan laki-laki non­ mahram untuk memperhatikan dirinya. Sementara berhiasnya se­ orang istri di hadapan suaminya atau berdandannya seorang istri ketika ada di rumah, adalah tindakan yang diperbolehkan tanpa ada khilaf (perbedaan pendapat).

Berhias diri itu tidak selalu harus dengan make up. Namun, cu­ kup dengan merawat tubuh agar tetap bersih, wajah tidak kusam, kulit segar dan cerah, area kewanitaan supaya terhindar dari ber­bagai gangguan bakteri adalah suatu keharusan. Apalagi jika su­ dah bersuami, kasihan sekali jika suami harus berhadapan dengan istrinya di rumah setiap hari dengan kondisi seadanya alias tidak pernah dirawat. Jangan nangis jika akhirnya sang suami tidak mau lagi mendekat.

Tubuh kita perlu istirahat, perlu penyegaran, dan regenerasi sel karena setiap hari kita gunakan untuk beraktivitas yang me­ lelahkan. Seperti halnya mesin motor dan mobil yang perlu pe­ rawatan rutin supaya tetap bagus.

Perawatan rutin sangat diperlukan untuk tubuh kita, supaya tubuh kita selalu fit. Terutama untuk para ibu rumah tangga, dengan segala aktivitasnya yang menggunung tentu sangat me­ lelahkan. Perawatan tubuh merupakan salah satu cara untuk re­ freshing, walaupun dengan cara yang sangat sederhana dijamin akan sangat membantu menyegarkan tubuh.

Perawatan rutin yang paling sederhana bisa dilakukan mini­mal seminggu sekali atau bisa juga 2 minggu sekali. Perawatan muka misalnya dengan menggunakan masker bisa dilakukan 2 minggu sekali karena terlalu sering pun tidak boleh, karena akan membuat lapisan kulit kita menipis. Perawatan tersebut bisa menggunakan bahan-bahan tradisional yang kita miliki di rumah, misalnya madu, telur, kopi, timun, tomat, dan lainnya. Begitu pula dengan creambath, perawatan rambut ini cukup dilakukan 2 minggu sekali supaya rambut kita sehat.

Perempuan Harus Tahu Apa Itu Tabarruj

Perempuan Harus Tahu Apa Itu Tabarruj



Perempuan Harus Tahu Apa Itu Tabarruj


Apa sih tabarruj itu?

Banyak definisi yang menjabarkan apa itu tabarruj. Menurut buku Fiqih Wanita karangan Syekh Kamil Muhammad Uwaidah, tabarruj itu artinya berhias dengan memperlihatkan kecantikan dan menampakkan keindahan tubuh dan kecantikan wajah.

Masih mengutip dari buku Fiqih Wanita, Qatadah mengatakan tabarruj "Yaitu wanita yang jalannya dibuat-buat dan genit."

"Tabarruj adalah tindakan yang dilakukan seorang wanita dengan melepaskan jilbabnya sehingga tampak darinya gelang dan kalungnya," papar Muqatil.

Sedangkan lbnu Katsir mengatakan tabarruj adalah "Wanita yang keluar rumah dengan berjalan di hadapan laki-laki. Yang demikian itu disebut sebagai tabarruj jahiliah."

Sedangkan lbnu Katsir mengatakan tabarruj adalah "Wanita yang keluar rumah dengan berjalan di hadapan laki-laki. Yang demikian itu disebut sebagai tabarruj jahiliah."

Banyakkah wanita-wanita yang seperti di atas? Seperti yang dijelaskan dalam definisi-definisi itu? Tentu saja banyak, tetapi buku ini bukan untuk menuntun para wanita muslimah menjadi seperti wanita jahiliah di atas, naudzubillahi min dzaliik. Mela­ lui buku ini, saya hanya ingin berbagi dan mengingatkan bahwa seorang muslimah itu harus menjaga dan merawat lahiriahnya, karena kita sudah diberi titipan bentuk wajah, rupa, dan badan yang sedemikian sempurnanya.

Mari kita simak kutipan yang saya ambil dari berbagai sumber yang membahas tentang tabarruj. Dalam surah An-Nur ayat 60, Allah berfirman, "Janganlah mereka menghentakkan kaki-kaki mereka agar diketahui perhiasan mereka yang tersembunyi." (QS. An-Nur: 60)

Arti tabarruj menurut bahasa adalah memamerkan perhiasan (ibdaa'uz ziinah). Menurut AI-Fairuz di dalam Kamus AI-Muhith bertabarruj adalah menampakkan perhiasannya kepada kaum lelaki, dan ini juga merupakan makna syari dari kata tabar­ ruj. Maka dari itu, yang dimaksud tabarruj bukanlah berhias (tazayyun). Tabarruj dan berhias (tazayyun) adalah dua hal yang berbeda.

Kadang kala, seorang wanita bisa mengenakan perhiasan, tetapi tidak termasuk bertabarruj. ltu terjadi jika perhiasan­ nya tergolong biasa atau umum, tidak mengundang perhatian. Dengan demikian, larangan tabarruj bukan berarti larangan berhias secara mutlak. Akan tetapi, larangan tabarruj ber­ arti larangan bagi kaum wanita untuk berhias dengan cara yang dapat menarik perhatian kaum laki-laki. Sebab, tabarruj adalah menampakkan perhiasan dan keindahan kepada lelaki non-mahram.

Secara umum pengertian tabarruj adalah tindakan seorang wanita menampakkan hal-hal yang seharusnya tertutup di depan laki-laki lain yang bukan mahramnya.


Kamis, 03 Maret 2022

Pembedaan Alur Berdasarkan Kriteria Urutan Waktu/Pengisahan dalam Karya Fiksi



Pembedaan Alur Berdasarkan Kriteria Urutan Waktu/Pengisahan dalam Karya Fiksi






Pembedaan Alur Berdasarkan Kriteria Urutan Waktu/Pengisahan dalam Karya Fiksi



Urutan waktu yang dimaksud adalah waktu terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi. Dengan kata lain, urutan penceritaan peristiwa-peristiwa yang ditampilkan. Urutan waktu, da- lam hal ini berkaitan dengan logika cerita. Dengan mendasarkan diri pada logika cerita itu, pembaca akan dapat menentukan per- istiwa mana yang terjadi lebih dahulu dan mana yang lebih kemudian, terlepas dari penempatannya yang mungkin berada di awal, tengah, atau akhir teks. Dengan demikian, urutan waktu kejadian ini ada kaitannya dengan tahap-tahap alur di atas. Oleh karena pengarang memiliki kebebasan kreativitas, ia dapat memanipulasi urutan waktu kejadian sekreatif mungkin, tidak harus bersi- fat linear-kronologis. Dari sinilah secara teoretis dapat dibedakan alur ke dalam dua kategori, yaitu kronologis dan tidak kronologis. Yang kedua, yaitu sorot-balik, mundur, flash-back, atau dapat juga disebut regresif

Alur sebuah cerkan dikatakan progresif jika peristiwa- peristiwa yang ditampilkan bersifat kronologis, peristiwa yang pertama diikuti oleh peristiwa yang kemudian. Jika dituliskan dalam bentuk skema, alur progresif tersebut akan berwujud sebagai berikut.



A....................B.................. C.......................D....................E


Simbol A melambangkan tahap awal cerita, B-C-D melambangkan kejadian-kejadian berikutnya dan E merupakan tahap penyelesaian. Alur progesif biasanya menunjukkan kesederhanaan cara penceritaan, tidak berbelit-belit dan mudah dii- kuti. Novel “Laskar Pelangi” dapat dikatakan sebagai novel yang memiliki alur progresif.

Sebaliknya pada alur sorot balik, flash-back, urutan kejadian tidak bersifat kronologis. Cerita tidak dimulai dari tahap awal, melainkan mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan. Karya yang beralur jenis ini, dengan demikian, langsung menyuguhkan ad- egan-adegan konflik, bahkan barangkali konflik yang telah mer- uncing. Padahal, pembaca belum lagi dibawa masuk mengetahui situasi dan permasalahan yang menyebabkan terjadinya konflik dan pertentangan itu, yang semuanya itu dikisahkan justru sesu- dah peristiwa-peristiwa yang secara kronologis terjadi sesudah- nya. Alur sebuah karya yang langsung menghadapkan pembaca pada adegan-adegan konflik yang telah meninggi, langsung menerjunkan pembaca ke tengah pusaran pertentangan disebut seba- gai alur in median res jika digambarkan dalam bentuk skema, alur sorot balik tersebut, misalnya untuk novel “Keluarga Permana” sebagai berikut:


D1...............A.................B.................C.................D2................E

D1 berupa awal penceritaan yang berintikan meninggalnya Farida. Kemudian A, B, C adalah peristiwa-peristiwa yang disorot balik yang berintikan kemelut pada rumah tangga Permana sampai Farida dikawinkan dengan Sumarto. D2 dan E berupa kelanjutan langsung peristiwa-peristiwa awal D1 yang berintikan kegoncangan jiwa Permama akibat meninggalnya Farida, anak semata wayangnya.

Kemudian dalam novel “Perempuan Berkalung Sorban”, pengarang juga menggunakan alur sorot balik. Di awal cerita pengarang menampilkan tokoh Annisa yang sudah memiliki anak, tetapi tidak dijelaskan ayah dari sang anak. Cerita selanjutnya, pengarang menggiring pembaca untuk masuk dalam kehidupan Annisa di waktu kecil ketika ia masih hidup dengan kedua orang tuanya maupun kedua kakak laki-lakinya. Digambarkan juga kehidupan ketika dewasa, pernikahannya serta perceraian dengan Samsudin. Setelah cerai dengan Samsudin menikah dengan Khu- dori dan mendapat anak satu sampai Khudori mendapat kecela- kaan dan meninggal. Adapun skema alur “Perempuan Berkalung Sorban”, dapat digambarkan sebagai berikut:


E…………A…………B…………… C……………D

Teknik pembalikan cerita ke tahap sebelumnya dapat dilakukan melalui beberapa cara. Mungkin pengarang “menyuruh” tokoh merenung kembali ke masa lalunya, menuturkannya kepada tokoh lain baik secara lisan maupun tertulis, tokoh lain yang menceritakan masa lalu tokoh lain, atau pengarang sendiri yang menceritakannya. Teknik flash-back lebih sering menarik karena sejak awal membaca buku, pembaca langsung ditenangkan, lang- sung “terjerat” suspens, dengan tidak terlebih dahulu melewati tahap perkenalan seperti pada cerkan beralur progesif.

Barangkali tidak ada cerkan yang secara mutlak beralur lurus-kronologis atau sebaliknya sorok-balik. Secara garis besar alur sebuah cerkan mungkin progresif, tetapi di dalamnya beta- papun kadar kejadiannya, sering terdapat adegan-adegan sorok- balik, begitu pula sebaliknya. Bahkan, sebenarnya boleh dikatakan tidak mungkin ada sebuah cerita pun yang mutlak flash back. Hal ini disebabkan jika yang demikian terjadi, pembaca akan sangat sulit, untuk tidak dikatakan tidak bisa mengikuti cerita yang diberikankan secara terus-menerus secara mundar.

Pengategorian alur sebuah cerkan ke dalam progesif atau flash-back sebenarnya lebih didasarkan pada yang lebih menonol. Hal ini disebabkan pada kenyataannya sebuah cerkan umumnya akan berisikan keduanya, atau beralur campuran: progresif-regresif. Bahkan, kadang kala sulit untuk menggolongkan alur sebuah cerkan ke dalam salah satu jenis tertentu berhubung ka- dang keduanya hampir berimbang.

Tahapan Alur dan Kaidah Alur dalam Karya atau Cerita Fiksi

Tahapan Alur dan Kaidah Alur dalam Karya atau Cerita Fiksi



Tahapan Alur dan Kaidah Alur dalam Karya atau Cerita Fiksi  


A. Tahapan Alur


Tahapan alur menurut S. Tasrif sebagai berikut.

  • Tahap Situation (tahap penyituasian). Tahap ini berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain yang, terutama, berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya.
  • Tahap Generating Circumstances (tahap pemunculan konflik). Pada tahap ini masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan. Jadi, tahap ini merupakan tahap awalnya munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konf- lik-konflik pada tahap berikutnya.
  • Tahap Rising Action (tahap peningkatan konflik). Konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dra- matik yang menjadi inti cerita bersifat semakin mencekam dan menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi, internal, eksternal, ataupun keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-benturan antarkepentingan, masalah, dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tidak dapat dihindari.
  • Tahapan Climax (tahap klimaks). Konfliks dan atau pertentangan- pertentangan yang terjadi dan ditimpakan kepada tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dia- lami oleh tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan pender- ita terjadinya konflik utama. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu klimaks.
  • Tahap Denouement (tahap penyelesaian). Konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik yang lain, sub-subkonflik, atau konflik-konflik tambahan, jika ada, juga diberi jalan keluar, cerita diakhiri.


B. Kaidah Alur


Alur dalam cerita biasanya memunyai kaidah-kaidahnya sendiri. Nurgiyantoro (2010:130—138) menyatakan bahwa alur memiliki kaidah sebagai berikut.

  • Adanya kemasukakalan (plausibilitas). Sebuah cerita dika- takan masuk akal jika memiliki kebenaran, yaitu benar bagi cerita itu sendiri. Namun, tidak menutup kemungkinan jika benar juga sesuai dengan kehidupan faktual, sekalipun pada bagian tersebut tidak mutlak.
  • Adanya suspen. Suspen merupakan perasaan semacam kurang pasti terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi, khususnya yang menimpa tokoh yang diberi simpati oleh pembaca. Suspen memiliki fungsi untuk mendorong dan memotivasi pembaca untuk setia mengikuti cerita dan men- cari jawaban rasa ingin tahu terhadap kelanjutan cerita.
  • Adanya kejutan (surprise). Kejutan merupakan peristiwa- peristiwa yang terjadi di luar dugaan pembaca. Kejutan hadir sebagai warna untuk membuat pembaca semakin me- nyukai cerita. Dengan kejutan-kejutan maka cerita menjadi tidak monoton dan membosankan. Oleh karena itu, kejutan merupakan hal yang penting keberadaannya dalam sebuah cerita dan biasanya dinanti-nanti pembaca.
  • Adanya kepaduan (unity). Kepaduan menyarankan bahwa berbagai unsur yang ditampilkan dalam alur haruslah memi- liki kepaduan. Artinya, mempunyai hubungan antara satu dengan yang lainnya sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh. Dengan demikian, keberadaan antarunsurnya menentukan keberadaan unsur-unsur yang lainnya.


Rabu, 02 Maret 2022

Pengertian Alur dalam Penulisan Cerita atau Karya Fiksi

Pengertian Alur dalam Penulisan Cerita atau Karya Fiksi



 

alur adalah rangkaian peristiwa yang memiliki hubungan sebab-akibat

Pengertian Alur dalam Penulisan Cerita atau Karya Fiksi

Alur menurut Stanton (2007:26) adalah cerita yang berisi urutan kejadian, tetapi, tiap kejadian itu yang hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Priyatni (2010:112) mengatakan bahwa alur adalah rangkaian peristiwa yang memiliki hubungan sebab-akibat. Dengan demikian, penampilan peristiwa demi peristiwa yang hanya mendasarkan diri pada urutan waktu saja belum merupakan alur. Agar menjadi sebuah alur, peristiwa-peristiwa itu haruslah diolah dan disiasati secara kreatif.

Pendapat-pendapat di atas memiliki kesamaannya, yaitu kesemuanya menekankan adanya hubungan sebab-akibat pada rentetan peristiwa di dalam karya sastra (novel). Peristiwa-peristiwa tersebut di dalam cerita dimanisfestasikan melalui perbuatan, tingkah laku, dan sikap tokoh (utama) cerita. Dikatakan oleh Priyatni bahwa peristiwa yang ditampilkan dalam cerita tidak lain dari perbuatan dan tingkah laku para tokoh, baik yang bersifat verbal maupun fisik, baik yang bersifat fisik maupun batin.

Peristiwa-peristiwa cerita (alur) dimanifestasikan lewat perbuatan, tingkah laku, dan sikap tokoh-tokoh (utama) cerita. Bahkan, pada umumnya peristiwa yang ditampilkan dalam cerita tidak lain dari perbuatan dari tingkah laku para tokoh, baik yang bersifat verbal maupun perjalanan tingkah laku para tokoh dalam bertindak, berpikir, berasa, dan bersikap dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan. Namun, tidak dengan sendirinya semua tingkah laku kehidupan manusia boleh disebut (berisi) alur.

Alur sebuah karya fiksi memiliki sifat misterius karena menampil- kan kejadian-kejadian yang mengandung konflik yang mampu menarik atau bahkan mencekam pembaca. Hal itu mendorong pembaca untuk mengetahui kejadian-kejadian berikutnya. Sifat misterius alur tersebut tampaknya tidak berbeda halnya dengan pengertian suspens, rasa ingin tahu pembaca. Unsur suspens merupakan suatu hal yang sangat penting dalam alur sebuah karya naratif. Unsur inilah, antara lain, yang menjadi pendorong pembaca untuk mau menyelesaikan novel yang dibacanya.

Salah satu cara untuk membangkitkan suspens sebuah cerita adalah dengan menampilkan apa yang disebut foreshadowing. Foreshadowing merupakan penampilan peristiwa tertentu yang bersifat mendahului. Foreshadowing biasanya ditampilkan secara tidak langsung terhadap peristiwa penting yang akan dikemukakan kemudian. Foreshadowing dapat dipandang sebagai pertanda akan terjadinya peristiwa atau konflik yang lebih besar atau lebih serius. Pertanda, pembayangan atau barang- kali semacam isyarat (firasat) itu dalam cerita tradisional sering berupa mimpi-mimpi tertentu, kejadian-kejadian tertentu, atau tanda-tanda lain yang dipandang orang (dari kelompok sosial tertentu) sebagai suatu isyarat, firasat, tentang bakal terjadinya suatu bencana. Berikut contoh foreshadowing yang terdapat di dalam novel “Ronggeng Dukuh Paruk“ karya Ahmad Tohari:

Tak seorang pun di Dukuh Paruk tahu. Segumpal cahaya kemerahan datang dari langit menuju Dukuh Paruk. Sampai di atas pedukuhan cahaya itu pecah, menyebar ke segala arah. Seandainya ada manusia Dukuh Paruk yang melihatnya, dia akan berteriak sekeras-kerasnya. “Antu tawa. Antu tawa. Awas, ada antu tawa! Tutup semua tempayan! Tutup semua makanan!” (Ronggeng Du- kuh Paruk, hlm. 22).

Kutipan di atas merupakan contoh adanya isyarat/pertanda bahwa akan terjadi sesuatu hal di Dukuh Paruk. Petanda itu berupa segumpal cahaya kemerahan yang dikatakan sebagai ‘antu tawa’. Petanda tersebut mengantarkan pembaca pada malapetaka tempe bongkrek yang terjadi di Dukuh Paruk. Malapetaka tersebut mengakibatkan sebagian masyarakat Dukuh Paruk meninggal karena keracunan tempe bongkrek.

Teknik Pelukisan Tokoh dalam Cerita Fiksi: Teknik Dramatik


Teknik Pelukisan Tokoh dalam Cerita Fiksi, Teknik Dramatik


Adanya kebebasan pembaca untuk menafsirkan sendiri sifat-sifat tokoh cerita, di samping merupakan kelebihannya di atas, sekaligus juga dipandang sebagai kelemahan teknik dramatik. 


Teknik Pelukisan Tokoh dalam Cerita Fiksi: Teknik Dramatik

Penampilan tokoh cerita, dalam teknik dramatik, artinya mirip dengan yang ditampilkan pada drama, dilakukan secara tidak langsung. Pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh. Pengarang memberikan para tokoh cerita untuk menunjukkan kediriannya melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal lewat kata maupun nonverbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa yang terjadi.

Berhubung sifat kedirian tokoh tidak dideskripsikan secara jelas dan lengkap, ia akan hadir kepada pembaca secara sepotong-potong dan tidak sekaligus. Ia baru menjadi “lengkap” setelah pembaca menyelesaikan sebagian besar cerita. Untuk memahami kedirian seorang tokoh, apalagi yang tergolong tokoh kompleks, pembaca dituntut untuk dapat menafsirkannya sendiri. Hal inilah yang dianggap orang sebagai salah satu kelebihan teknik dramatik. Pembaca tidak hanya bersifat pasif, melainkan sekaligus terdorong melibatkan diri secara aktif kreatif, dan imajinatif. Kelebihan yang lain, yaitu sifatnya yang lebih sesuai dengan kehidupan nyata. Dalam situasi kehidupan sehari-hari jika seseorang berkenalan dengan orang lain, dia tidak mungkin menanyakan sifat kedirian orang itu, apalagi kepada yang bersangkutan. Seseorang hanya akan mencoba memahami sifat-sifat orang itu melalui tingkah laku, kata-kata, sikap dan pandangan-pandangannya, dan lain-lain. Kesemuanya itulah yang akan mewartakan sifat-sifat kediriannya kepada pembaca.

Adanya kebebasan pembaca untuk menafsirkan sendiri sifat-sifat tokoh cerita, di samping merupakan kelebihannya di atas, sekaligus juga dipandang sebagai kelemahan teknik dramatik. Dengan cara itu kemungkinan adanya salah tafsir, salah paham atau tidak paham, salah penilai- an, peluangnya cukup besar. Kelemahan yang lain adalah sifatnya tidak ekonomis. Pelukisan kedirian seorang tokoh memerlukan banyak kata, di berbagai kesempatan dengan berbagai bentuk yang relatif cukup panjang.

Wujud Penggambaran Teknik Dramatik

Penampilan tokoh secara dramatik dapat dilakukan dengan se- jumlah teknik. Dalam sebuah karya fiksi, biasanya pengarang mempergunakan berbagai teknik itu secara bergantian dan saling mengisi walau ada perbedaan frekuensi penggunaan masing-masing teknik. Berbagai teknik yang dimaksud sebagian di antaranya akan dikemukakan di bawah ini.

1) Teknik Cakapan

Watak seorang tokoh dapat ditampilkan lewat percakapan-percakapan di antara tokoh dengan tokoh-tokoh lain. Apa yang dikatakan seseorang dapat mengungkapkan siapa dia sebenarnya. Namun, di pihak lain seorang dapat pula menyesatkan orang lain dengan kata-katanya. Oleh karena itu, dialog harus berlangsung dengan baik dan dalam keadaan yang wajar, tidak dibuat-buat, tanpa menyembunyikan tujuan yang sebenarnya. Sebuah dialog singkat mungkin belum cukup mencerminkan watak tokoh secara bulat dan lengkap. Namun, rangkaian dialog dari waktu ke waktu, dari suatu tempat ke tempat yang lain akan lebih memberi jaminan penafsiran yang tepat tentang watak dari si tokoh. 

Contoh:

Wah, nanti dulu Pambudi. Berbicaralah pelan-pelan, banyak orang di sekeliling kita. Rencana yang akan kulaksanakan menyangkut rencana pemerintah untuk memperlebar jalan raya yang melewati kampung ini, karena pelebaran jalan itu, kira-kira lima ratus pohon kelapa milik penduduk akan tergusur. Para pemilik pohon kelapa akan mendapat ganti rugi. Pambudi, apa kau dapat melihat rejeki? (Di Kaki Bukit Cibalak, hlm. 14).

Melalui dialog/percakapan antara Dirga dan Pambudi di atas, pengarang menggambarkan sifat Pak Dirga yang tidak jujur. Ketidakjujurannya ini terlihat, ketika pemerintah mengadakan usaha pelebaran jalan di desa tersebut, Pak Dirga justru berusaha mencari keuntungan. Selain itu terlihat watak Pak Dirga yang berusaha memengaruhi Pambudi mengambil kesempatan untuk ikut berbuat tidak baik.


2) Teknik Tingkah Laku

Jika teknik cakapan dimaksudkan untuk menunjuk tingkah laku verbal yang berwujud kata-kata para tokoh, teknik tingkah laku menyaran pada tindakan yang bersifat nonverbal, fisik. Apa yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku, dalam banyak hal dapat dipandang sebagai penunjukan reaksi, tanggapan, sifat, dan sikap yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya. Namun, dalam sebuah karya fiksi, kadang-kadang tampak ada tindakan dan tingkah laku tokoh yang bersifat netral, kurang menggambarkan sifat kediriannya. Kalaupun ada, itu merupakan penggambaran sifat-sifat tokoh juga, ia terlihat tersamar. 

Contoh:

Dia tampak amat canggung dan gamang. Gerak geriknya serba kikuk sehingga mengundang rasa kasihan. Kepada Komandan, Karman membungkuk berlebihan. Kemudian dia mundur beberapa langkah, lalu berbalik. Kertas-kertas itu dipegangnya dengan hati-hati, tetapi tangannya bergetar. Karman merasa yakin seluruh dirinya ikut terlipat bersama surat-surat tanda pembebasannya itu. Bahkan pada saat itu Karman merasa totalitas di- rinya tidak semahal apa yang kini berada dalam genggamannya (Kubah, hlm.7).

Melalui kutipan di atas tampak tingkah laku Karman setelah keluar dari tahanan. Dia merasa canggung setelah sekian tahun hidup di dalam tahanan. Karman sudah dibebaskan, tetapi dia merasa dirinya tidak berharga lagi. Dia merasa asing dengan lingkungan yang baru, yaitu lingkungan yang membuat dirinya bebas bergerak. Walaupun Karman sudah memegang surat pembebasannya dari Pulau B, ia masih belum bisa secara cepat untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya.


3) Teknik Pikiran dan Perasaan

Bagaimana keadaan dan jalan pikiran serta perasaan, apa yang melintas di dalam pikiran dan perasaan, serta apa yang dipikir dan dirasakan oleh tokoh, dalam banyak hal akan mencerminkan sifat-sifat kedirian tokoh. Bahkan, pada hakikatnya,”tingkah laku” pikiran dan perasaanlah yang kemudian diwujudkan menjadi tingkah laku verbal dan nonverbal. Dari kata-kata yang diucapkan seorang tokoh, pembaca dapat mengetahui sifat, perasaan, pikiran, dan keinginannya. Melalui ucapan tokoh dapat diketahui pula suku, umur ataupun pendidikannya. 

Contoh:

Lama sekali Karman merenungkan kunjungan Kapten Somad siang itu. Mula-mula ia merasa bimbang terhadap dirinya sendiri; haruskah anjuran Kapten Somad dituruti? Atau, biarlah aku ikuti keputusan sampai diriku hancur dan dengan demikian kepedihan ini cepat berakhir?

Karman kembali menarik napas panjang. Tetapi kemudian ada titik-titik bening muncul pada akal budinya yang semula hampir mati. “Seorang kapten dengan ikhlas menunjukkan pengertian dan simpatinya padaku. Kebenaran yang disampaikan padaku sukar dibantah. Ah, setidaknya telah ada satu orang yang mau memahami diriku pikir Karman. Tetapi betulkah penderitaanku telah terbagi? Bisakah aku memastikan aku telah mempunyai seorang teman di dunia ini? (Kubah, hlm. 22)

4) Teknik Arus Kesadaran

Teknik arus kesadaran (stream of consciouness) berkaitan erat dengan teknik pikiran dan perasaan. Keduanya tidak dapat dibedakan secara pilah, bahkan mungkin dianggap sama karena memang sama-sama menggambarkan tingkah laku batin tokoh. Dewasa ini dalam fiksi modern teknik arus kesadaran banyak dipergunakan untuk melukiskan sifat-sifat kedirian tokoh. Arus kesadaran merupakan sebuah teknik narasi yang berusaha menangkap dan mengungkapkan proses kehidupan batin, yang memang hanya terjadi di batin, baik yang berada di ambang kesadaran maupun ketaksadaran, termasuk kehidupan bawah sadar. Apa yang hanya ada di bawah sadar, atau minimal yang ada di pikiran dan perasaan manusia. Jauh lebih banyak dan kompleks daripada yang dimanisfestasikan ke dalam perbuatan dan kata-kata.

Arus kesadaran sering disamakan dengan interior monologue (monolog batin). Monolog batin adalah percakapan yang hanya terjadi dalam diri sendiri, yang pada umumnya ditampilkan dengan gaya “aku”. Dengan kata lain, teknik ini berusaha menang- kap kehidupan batin, urutan suasana kehidupan batin, pikiran, perasaan, emosi, tanggapan, kenangan, nafsu, dan sebagainya. Penggunaan teknik ini dalam penokohan dapat dianggap sebagai usaha untuk mengungkapkan informasi yang “sebenarnya” tentang kedirian tokoh karena tidak sekadar menunjukkan tingkah laku yang dapat diindera saja. 

Contoh:

Keperawanan Srintil disayembarakan. Bajingan! Bajul buntung! pikirku. Aku bukan hanya cemburu. Bukan pula hanya sakit hati karena aku tidak mungkin memenangkan sayembara akibat kemelaratanku serta usiaku yang baru empat belas tahun. Lebih dari itu. Memang Srintil telah dilahirkan untuk menjadi ronggeng, perempuan milik semua laki-laki. Tetapi mendengar keperawanan disayembarakan, hatiku panas bukan main. Celakanya lagi, bukak klambu yang harus dialami oleh Srintil sudah merupakan hukum pasti di Dukuh Paruk. Siapa pun tak bisa mengubahnya, apa pula aku yang bernama Rasus, Jadi dengan perasaan perihaku hanya bisa menunggu apa yang terjadi (Ronggeng Dukuh Paruk, hlm. 51)


Kutipan di atas merupakan gambaran monolog batin tokoh Rasus pada novel “Ronggeng Dukuh Paruk”. Tokoh Rasus sangat marah ketika Srintil harus menjalani upacara bukak klambu untuk menjadi seorang ronggeng. Rasus tidak bisa menerima hal itu. Ia mengumpat karena tidak bisa melakukan hal apa pun terhadap Srintil. Hukum yang berlaku untuk seorang ronggeng di “Dukuh Paruk” tidak bisa ia ubah karena ia hanya bocah miskin yang masih berumur empat belas tahun.

5) Teknik Reaksi Tokoh

Teknik reaksi tokoh dimaksudkan sebagai reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, masalah, keadaan, kata, dan sikap tingkah laku orang lain, dan sebagainya yang berupa “rangsangan” dari luar diri tokoh yang bersangkutan. Bagaimana reaksi tokoh terhadap hal-hal tersebut dapat dipandang sebagai suatu bentuk penampi- lan yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya. Untuk mengetahui watak tokoh utama dapat pula diketahui melalui reaksi yang diberikan oleh tokoh lain yang berupa pandangan, pendapat, sikap, komentar, dan sebagainya. Reaksi tokoh juga merupakan teknik penokohan untuk menginformasikan kedirian tokoh kepada pembaca. Tokoh lain itu pada hakikatnya melakukan penilaian atas tokoh utama untuk pembaca. 


Contoh:

Begini Dik Kabul. Saya datang kemari dengan sebuah keputusan. Maka kita tidak akan bicara banyak-banyak.

“Maksud Bapak?”

“Ya. Keputusan itu saya ambil tadi malam setelah saya berbicara dengan pihak pemilik proyek, tokoh-tokoh partai dan khusunya jajaran GLM. Mereka telah setuju kebijakan yang saya ambil. Dan itu pula keputusan yang saya bawa saat ini.”

“Artinya besi bekas, pasir yang kurang bermutu tetap akan di- pakai?”

“Ya. Dan peresmian jembatan ini tetap akan dilaksanakan tepat pada HUT GLM. Itulah keputusan yang ada dan Dik Kabul saya minta menerimanya.”

“Maaf, saya pun tetap berada pada keputusan saya. Saya tidak bisa …”

“Tunggu, Dik Kabul. Saya tidak akan lupa Dik Kabul dan saya sama-sama insinyur, lulus dari perguruan tinggi yang sama, hanya beda angkatan. Kita sudah sekian lama bekerja sama. Dan terus terang, saya menganggap Dik Kabul adalah adik kandung saya. Maka laksanakan keputusan itu.”

“Maaf, Pak Dalkijo. Kalau keputusan Anda sudah final, saya pun tak mungkin berubah. Saya tetap mengundurkan diri (Orang- orang Proyek, hlm 203—204).

Melalui kutipan di atas terlihat bagaimana reaksi tokoh Kabul terhadap Dalkijo. Kabul tetap pada pendiriannya. Ia tidak mau menggunakan material yang mutunya sangat kurang baik untuk pembangunan jembatan. Meskipun diintimidasi oleh atasannya, Dalkijo, pendirian Kabul tidak tergoyahkan. Dari gambaran tersebut terlihat watak Kabul yang lebih mementingkan kepentingan umum daripada kepentingan sendiri. Ia tidak mau berbuat curang ketika melaksanakan proyek pembangunan jembatan.


6) Teknik Pelukisan Latar

Suasana latar (tempat) sekitar tokoh juga sering dipakai untuk melukiskan kediriannya. Pelukisan suasana latar dapat lebih mengintesifkan sifat kedirian tokoh seperti yang telah diungkapkan dengan berbagai teknik yang lain. Keadaan latar tertentu dapat menimbulkan kesan yang tertentu pula di pihak pembaca. Misalnya, suasana rumah yang bersih, teratur, rapi akan menimbulkan kesan bahwa pemilik rumah itu sebagai orang yang cinta kebersihan. Sebaliknya, suasana rumah yang kotor, jorok akan menimbulkan kesan kepada pemiliknya yang kurang lebih sama dengan keadaan itu. Pelukisan keadaan latar sekitar tokoh secara tepat akan mampu mendukung teknik penokohan secara kuat walau latar itu sendiri sebenarnya berada di luar kedirian tokoh. 

Contoh:

Mandor yang mencatat penerimaan material pun pandai bermain. Dia bisa bermain dengan menambah angka jumlah pasir atau batu kali yang masuk. Truk yang masuk sepuluh kali bisa dicatat menjadi lima belas kali dan untuk kecurangan itu dia menerima suap dari para sopir.

Namun menghadapi semua tingkat kebocoran itu Insinyur Dalkijo—atasan Kabul, seperti tak menanggung beban apa pun Suatu saat ketika bersama-sama berada di rumah makan, Kabul mengeluh atas tingginya angka kebocoranyang berarti beban tambahan cukup besar yang harus dipikul oleh anggaran proyek.

“Ah, Dik Kabul ini seperti hidup di awang-awang. Pijaklah bumi dan lihat sekeliling. Seperti sudah kukatakan, orang proyek seperti kita harus pandai-pandai bermain (Orang-Orang Proyek, hlm. 26—27).

Kutipan di atas diambil dari novel karya Ahmad Tohari yang berjudul “Orang-orang Proyek”. Melalui latar suatu proyek, dapat dilihat watak Dalkijo dan Kabul. Dua tokoh tersebut memiliki watak yang berbeda. Dalkijo memiliki watak yang curang, yaitu memanfaatkan proyek untuk mencari keuntungan, sedangkan Kabul sebaliknya. Ia sangat sedih dan kecewa melihat perilaku atasannya yang berlaku curang.


7) Teknik Pelukisan Fisik

Keadaan fisik seorang berkaitan dengan keadaan kejiwaannya, atau paling tidak, pengarang sengaja mencari memperhubungkan adanya keterkaitan itu. Misalnya, bibir tipis menyaran pada sifat ceriwis dan bawel, rambut halus menyaran pada sifat tidak mau mengalah, pandangan mata tajam, hidung agak mendongak, bibir yang bagaimana, dan lain-lain yang dapat menyaran pada sifat tertentu. Hal tersebut tentunya berkaitan dengan pandangan (budaya) masyarakat yang bersangkutan.

Pelukisan keadaan fisik tokoh, kadang-kadang memang terasa penting. Keadaan fisik tokoh perlu dilukiskan, terutama jika tokoh memiliki bentuk fisik khas. Dengan demikian, pembaca dapat menggambarkan tokoh secara imajinatif. Di samping itu, pelukisan juga dibutuhkan untuk mengidentifikasikan dan men- gonkretkan ciri-ciri kedirian tokoh yang telah digambarkan dengan teknik yang lain. Jadi, sama halnya dengan latar, pelukisan wujud fisik tokoh berfungsi lebih mengintensifikasikan kedirian tokoh. 


Contoh:

Tentang Sardupi, orang sekampung sudah mengerti semuanya. Lelaki bertubuh kecil dan berkulit hitam itu memang lain. Dia tidak menikah. Selain itu, dia gemar bemain bersama anak-anak, padahal rambut Sardupi sudah mulai beruban. Dan cirinya yang paling khas adalah kebiasaannya merendahkan mata bila diajak bicara. Sardupi juga suka tersenyum atau tertawa sendiri. Hal terakhir ini membuat banyak orang menganggap Sardupi tidak waras. Apalagi penampilan fisiknya memang mendukung angga- pan itu; bentuk kepalanya seperti buah salak, tinggi mengerucut ke atas dan wajahnya memperlihatkan kesan orang terbelakang (Nyanyian Malam, hlm. 37).

Kutipan di atas diambil dari cerpen karya Ahmad Tohari yang berjudul “Pemandangan Perut” yang berasal dari kumpulan cerpen “Nyanyian Malam”. Melalui kutipan di atas, pembaca dapat mengetahui bentuk fisik tokoh Sardupi yang kecil, hitam, rambut mulai memutih, bentuk kepala seperti salak dengan wajah sep- erti orang terbelakang. Selain itu, ia digambarkan sebagai tokoh yang suka tertawa sendiri sehingga ia sering dianggap tidak waras. Meskipun tokoh ini sering dianggap tidak waras, ia mampu melihat sesuatu yang ada di rongga perut seseorang. Rongga perut tersebut ibarat layar tancap. Melalui rongga perut, Sardupi dapat menonton bermacam-macam hal yang kadang-kadang bagus dan menarik, tetapi lebih banyak yang mengerikan.

Copyright

Review

Food

pendidikan